Bangbang Wetan Sinau Hakikat Kependekaran
Sejumlah pesilat Pagar Nusa dari Yayasan Pendidikan Ibnu Husain Surabaya hadir di Bangbang Wetan tadi malam. Selain tampil di hadapan para jamaah, para pesilat ini melakukan penyambutan kepada Mbah Nun saat memasuki lokasi BBW di Gedung Taman Budaya Jawa Timur Cak Durasim di kawasan Jalan Genteng Kali Surabaya.
Sebagaimana dalam tradisi Sinau Bareng, kehadiran mereka bukan sekadar exhibition yang selesai tampil ya sudah selesai lalu geser ke mata acara berikutnya, melainkan menjadi salah satu jalan untuk memperoleh pembelajaran hidup. Tak boleh ada yang berlalu tanpa pemaknaan dan proyeksi ke lapangan kehidupan lebih luas.
Rekan Hari Telo dan Hariadi mengirimkan kepada saya foto-foto acara dan petikan-petikan pemaparan Mbah Nun. Di antaranya, dalam pandangan Mbah Nun, pencak silat itu memiliki tujuan utama menggapai keluhuran budi dan kematangan jiwa. Aspek dasar inilah yang membedakannya dengan dimensinya sebagai cabang olahraga, di mana di dalam pertandingan olahraga masih terdapat konteks menang dan kalah.
Output pencak silat yang bertujuan menggapai keluhuran dan kematangan jiwa ini mewujud dalam pribadi pesilat yang Mbah Nun menyebutnya pendekar. Jauh dari citra bahwa pendekar adalah orang selalu menang dan tak bisa dikalahkan musuh, atau apalagi suka cari orang untuk dikalahkan, di mata Mbah Nun pendekar justru diliputi oleh sifat-sifat baik seperti tidak tegaan kepada orang lain, tidak gampang memperlihatkan kehebatannya, memiliki bekal nilai dan bukan kemampuan fisik belaka, memiliki kedaulatan diri, dan terutama kependekaraan itu tercermin pada bagaimana ia mampu menjadi pendekar bagi problem dirinya sendiri, serta mampu turut mengatasi persoalan dalam lingkungan di mana ia berada: keluarga, masyarakat, dan negara.
Ketika pencak silat menjadi cabang olahraga, para pesilat memahami itu sebagai lapisan terluar saja, pun ketika mereka sebagai pesilat atau pendekar tak bisa dikalahkan oleh orang lain atau tak mudah kalah oleh keadaan-keadaan hidip yang menyodorkan tantangan kepadanya, itu semua karena memang berkat dia telah kokoh menancapkan kuda-kuda nilainya dalam hidup ini berikut tujuannya yang lurus dan darma baktinya yang maksimal pada hidup ini.
Tentu saja selain hakikat pencak silat sebagai jalan menuju keluhuran budi dan kematangan jiwa, serta sebagai bagian dari olahraga, pencak silat juga memiliki satu dimensi lagi, yaitu seni atau estetika atau keindahan. Itulah pula yang tadi malam para jamaah dapat menikmatinya, melalui gerakan-gerakan para pesilat itu. Tak ubahnya kita menikmati keindahan koreografis tari, di mana rekan-rekan di Mocopat Syafaat kemarin mendapatkannya lewat persembahan tari Bu Nanik Sawitri dan Pak Jujuk Prabowo.
Nah, berbicara pencak silat itu berarti pula akan sampai pada pembicaraan mengenai kekuatan. Atau, energi. Agar kita mampu menjadi pendekar atau pawang bagi diri kita sendiri, Mbah Nun berpesan supaya kita terus-menerus memperkuat tiga jenis energi ini: energi ilahiyah, energi rububiyyah, dan energi nubuwwah. Kemudian, dalam menjalani kehidupan sehari-hari hendaknya kita berpegangan pada tiga jenis eling (dzikr) ini: eling lan waspodo, eling tur waspodo, dan eling ben waspodo.
Tambahan lagi, setiap kali datang kepada kita suatu masalah, Mbah Nun mengingatkan, terdapat tiga jalan untuk menghadapi masalah itu: menghadapi dengan kekuatan, menghadapi dengan ilmu, dan menghadapi dengan batin. Dalam hal menghadapi masalah ini, Mbah Nun juga mengingatkan bahwa langkah untuk menjadi pendekar adalah terlebih dahulu mampu mengalahkan diri sendiri. Sementara itu, tingkat tertinggi dari seorang pendekar adalah tidak memiliki musuh, tidak perlu bertikai, dan diterima oleh sebanyak mungkin orang, dikarenakan sikapnya yang lembut dan tidak tega kepada siapa saja.
Bila ditarik lebih mendasar lagi ke dalam perspektif sosial, Mbah Nun mengajak para jamaah dan para pesilat untuk melihat bahwa bisa saja saat ini pencak silat atau bela diri malah menyeret mereka untuk hanya membela golongannya sendiri, membela kebenaran menurut dirinya sendiri, berperilaku congkak kepada kelompok lain, dan pada akhirnya dapat memicu perpecahan di dalam masyarakat. Yang demikian itu hendaknya tidak terjadi pada para pesilat dan kita semua. Terlebih jika diingat bahwa tujuan pencak silat adalah menggapai keluhuran budi dan kematangan jiwa. Untuk pendalaman atas kehadiran teman-teman pesilat Pagar Nusa ini, Mbah Nun memperkenalkan kepada para jamaah satu kata (kerja aktif) yang bagus yang merangkum paparan di atas: mempendekari.
Dari foto tampak suasana pelataran Gedung Cak Durasim, pendoponya maupun area kanan-kirinya, dipenuhi para jamaah yang duduk lesehan setia dari awal hingga akhir mengikuti majelis ilmu Bangbang Wetan Surabaya.
Segaris dengan karakter historis Surabaya, yang egaliter, lugas, nekad, mewarisi nilai kepahlawanan, dan pemberani, Bangbang Wetan sesungguhnya menjelma sebagai suatu ajang yang secara konsisten turut mewariskan nilai-nilai budaya Surabaya itu kepada generasi masa kini. Apalagi malam tadi, pembahasan banyak berkisar soal kependekaran. Sangat klop.
Para jamaah Maiyah yang muda-muda milenial yang hadir di situ pulang membawa semangat juang yang membaja terhadap kehidupan ini. Mereka pantang cengeng dan manja, sehingga apalagi untuk persoalan pribadi mereka pasti akan berjuang mengatasi sendiri, tidak sedikit-sedikit gampang mengeluh. Telah banyak pesan-pesan motivasional dari Mbah Nun yang bisa segera mereka praktikkan. Mereka pastinya berusaha sekuat tenaga untuk tidak merepotkan siapa saja.
Demikianlah, dari BBW untuk kita semua jamaah Maiyah di mana saja, kita mendapatkan asupan semangat baru: mari mampu mempendekari diri sendiri, untuk kemudian turut bisa mempendekari pada skala yang lebih luas.