CakNun.com

Ambengan Bersih Desa di Depan Mbah Nun

Liputan Sinau Bareng Bersih Desa Bedingin Kecamatan Sambit Ponorogo, 19 Agustus 2019
Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit

Mbah Nun dipanggil Mbah dikarenakan fungsinya sebagai orang tua yang dituakan. Malam ini saya merasakan hal itu. Pak Lurah Marzuki dengan tawadhu’ berbicara dan menyampaikan penghormatan dan rasa terima kasih kepada Mbah Nun, dan disampaikan pula hajat yang beliau miliki mewakili warga desa Bedingin. Semuanya dalam bahasa Jawa yang halus dan sopan saat menjelang prosesi Ambengan dimulai. Pak Lurah dan segenap penyelenggara ingin prosesi Ambengan ini disaksikan oleh Mbah Nun, dan Mbah Nun memenuhinya dengan penuh kasih sayang.

Desa Bedingin sedang memuncaki rangkaian kegiatan Bersih Desa dengan menggelar Sinau Bareng bersama Mbah Nun dan KiaiKanjeng dan acara berlangsung di kompleks situs purbakala Beji Sirah Keteng. Hari sebelumnya sudah diadakan khataman Al-Qur`an. Juga ada gelar wayang.

Prosesi Ambengan meliputi pembacaan doa, pembacaan serat Ambiyo, dan pembacaan satu tembang Mocopat yang berisi permohonan agar semua warga dijauhkan dari sengkolo, fisik maupun rohani. Seorang Bapak sepuh, bernama Mbah Parno, membacakan beberapa bagian Serat Ambiyo dengan suara yang agung. Demikian pula saat tembang Mocopat dilantunkan oleh Mas Roki. Sakral suasana yang terbangun selama kurang lebih 15-an menit. Mbah Nun duduk menyimak dan menyaksikan prosesi ruwatan Ambengan ini.

Tentu saja semua hadirin dan jamaah juga turut menyaksikan. Bersih desa ini adalah agenda tahunan demi menjaga kontinuasi sejarah dari para leluhur desa. Selain itu, di rumah transit, Pak Lurah menceritakan bahwa di tempat ini terdapat situs purbakala berupa Arca yang sekarang sudah di-rumah-i sehingga terawat dan terjaga.

Di tempat itu pula, ada situ/mata air yang masih mengalirkan air di musim penghujan, dan satu area tanah yang ceruk dan tak pernah bisa di-urug rata. Setiap di-urug segera dekok lagi. Situs ini merupakan peninggalan dari masa Jenggala yang berarti eranya lebih tua dari Majapahit. Pak Lurah ingin semua situs ini terjaga dan terawat. Tapi Pak Lurah agak gelisah, karena ada sebagian orang yang memusyrikkan tindak menjaga atau merawat peninggalan itu.

Di rumah transit itu pula, Mbah Nun berpesan tidak perlu gelisah dan bingung hanya karena klaim seperti itu. Kalau bingung, ya di situ malahan masalahnya. Kemudian Mbah Nun mengatakan, jangan gampang tertekan oleh orang-orang yang mungkin belum atau tidak paham. Mundur ke belakang, dijelaskan oleh Mbah Nun tentang sejarah panjang ketidakmatangan kita umat Islam dalam berpikir sedari beberapa abad silam. Sekali lagi jangan gampang tertekan. Begitu pesan Mbah Nun.

Alternatifnya, pahami dan sinauni bersama mengenai situs ini dalam kerangka mikul dhuwur jasa dan peran para leluhur. Ibarat orang di tegalan milik kita yang temurun dari orang tua dan kakek nenek, kita menemukan pisau di situ, lalu tidaklah ada di pikiran untuk membuang begitu saja pisau itu. Pisau kita simpan, kita bersihkan, kita rawat dengan ditaruh di lemari, sambil kemudian kita pelajari pisau itu. Seperti itulah analoginya.

Lokasi Sinau Bareng ini terletak di daerah Ponorogo selatan. KiaiKanjeng sampai ke sini usai maghrib tadi dengan menempuh rute Trenggalek dari Tulungagung. Mampir sejenak di perbatasan Trenggalek-Ponorogo yang menghamparkan pemandangan bukit-bukit yang tampak setengah tandus. Sebuah warung kecil menjadi lantaran bagi hadirnya secangkir kopi, susu putih, kelapa muda, indomie rebus, gorengan. Pemiliknya, sepasang suami-istri, terlihat senang. Laris manis menghampirinya.

Tiba di lokasi, KiaiKanjeng perlu berjalan sekitar 100 meter. Tepat masuk lapangan Beji ini, arca Sirah Keteng terlihat berikut rumah yang menaunginya. Sebuah tulisan pengingat, yang diambil dari tulisan di Makam Sentono Arum keluarga Mbah Nun di Menturo Jombang terpajang jelas: “Meminta, Memohon, dan Berdoa hanya kepada Allah.” Satu kebijaksanaan telah dipilih oleh Pak Lurah beserta warga, seraya tetap menjaga peninggalan leluhur. Mbah Nun nanti akan menguraikan hal-hal tentang bersih desa dalam konteks yang dialami desa ini sebagaimana diharapkan penyelenggara.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version