CakNun.com

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Beridentitas Dengan Sikap Di Tengah Kompleksitas Identitas

Maka ketika kita membahas altruis, konsep altruis macam apa yang sesungguhnya kita angkat ini? Dari situlah kaitannya kemudian dengan konsep identitas yang dibangun di berbagai majelis Maiyah. Saya teringat ketika dalam satu obrolan dengan Pak Ian L Betts beliau sempat mengatakan bahwa di Maiyah ada konsep identitas yang unik. Bahwa orang Maiyah beridentitas dengan sikap. Ini temuan yang rasanya agak mengejutkan tapi sulit untuk tidak menyepakatinya. Maiyah tidak mengenal uniformitas alias penyeragaman bentuk (Uni= satu, penyatuan. Form= bentuk)

Kalau kita sesekali berjalan-jalan ke majelis Maiyah. Berkeliling, dan orang kurang kerjaan seperti saya memang senangnya keliling-keliling saat Maiyahan yang saya namai dengan asal sebagai “thawaf pribadi” kita akan dengan mudah menemukan keragaman bentuk dan spesies. Saat Sinau Bareng di Condong Catur juga saya sempat meninggalkan tempat duduk (karena cold brew gula aren juga sudah habis) sempat berjalan-jalan bersama seorang sahabat yang datang dari Jawa Timur. Kami terus makan burger. Saya dapati adegan, seorang gadis sedang menterjemahkan beberapa istilah bahasa Jawa yang Mbah Nun pakai di atas panggung ke kawan di sebelahnya. Setelah mengerti, Mbak itu manggut-manggut dan tertawa. Ada perbedaan budaya-bahasa di sini.

Saya rasa saya tidak perlu menjelaskan berbagai ragam beda bentuk yang ada di berbagai majelis Maiyah. Mungkin itu tampak sederhana, tapi tanpa terasa bahkan mungkin tanpa disadari di Maiyah orang terlatih untuk melihat keanekaragaman hayati makhluk Tuhan hasil evolusi bernama manusia ini. Pentingkah?

Maka kita masuk kepada bahasan mengenai kompleksitas identitas yang sedang terjadi. Manusia bergerak dari kesadaran konkret menuju abstrak. Kemudian yang abstrak akan dianggap konkret lalu diabstrakkan kembali. Semoga ini tidak terlalu njelimet penjelasannya, konsepnya sederhana kok. Hanya kata-kata yang saya susun mungkin yang bikin ribet. Dasar ya namanya juga tukang nulis, pengennya banjir kata-kata. Ini mendasar saja. Contoh paling mudah adalah konsep ekonomi dari yang paling purba, manusia mengalami era barter di mana sebuah barang ditukar dengan barang tertentu. Itu konkret sekali. Kemudian manusia menemukan konsep uang, nilai dari barang diabstrakkan menjadi beberapa keping atau lembar. Tapi seiring waktu, pada manusia yang lahir ketika mata uang sudah berlaku umum, uang menjadi hal yang konkret juga.

Waktu berjalan dan nilai uang menjadi rentetan angka di rekening. Kemudian menjadi semakin abstrak pada era ini, era cash-less di mana mata uang digantikan nominal-nominal digital di layar telepon pintar. Sistem berevolusi sebagaimana manusia juga berevolusi. Setiap zaman ada tantangannya, ada persoalannya. Mari kita tidak jadi pengeluh zaman, masa lalu tidak selalu lebih baik dan masa sekarang juga biasa saja. Tahap perkembangan manusia juga seperti itu, pada tahap perkembangan awal manusia masih belajar dari hal-hal yang konkret, sesuatu yang ada bentuknya, padat, dan empiris. Baru masuk tahap abstrak baru kemudian tahap dekonstruksi. Kalau orang beragama hanya berhenti pada tataran hukum empiris fiqh, kemungkinan besar ada masalah pada tahap awal perkembangan hidupnya alias masa kecilnya kurang bermain sepertinya, alias kasihan yah.

Identitas pun mengalami evolusi kesadaran macam itu. Kita mengenal era di mana manusia sangat rasis, ketika kesempatan untuk mengenal, silaturrohim lintas ras belum begitu terjalin dengan baik. Manusia hanya mengidentifikasi berdasarkan kesamaan bentuk, warna kulit, rambut dan sebagainya. Dan kita berevolusi, tolok ukur menjadi semakin abstrak. Lahirnya nation-state dengan ideologi nasionalisme sebenarnya adalah usaha untuk mempersatukan berbagai hal-hal yang pada masa itu dianggap konkret itu kedalam satu abstraksi besar bernama negara. Karenanya, dia perlu legitimasi memori sejarah bersama.

Tahap Dekonstruksi Identitas Menuju Gen Iman

Tapi manusia sekarang masuk pada tahap perkembangan dekonstruksi, pertanyaan mencuat bahwa “Memangnya ada pengalaman bersama?” Betul kita sama-sama mengalami kolonialisme, tapi dinamika detil-detil di dalamnya jelas berbeda. Era ini adalah era di mana manusia tampaknya sedang mencari kembali konsep identitas. Pertanyaan atau pernyataan yang sama juga mencuat dalam buku “Identitas dan Kenikmatan” karya Prof Ariel Heryanto. Tidak heran kalau belakangan buku ini seperti menjadi buku yang sangat penting, kenapa? Karena kita berhadapan pada masa di mana manusia sedang mencari identitasnya masing-masing.

Dan seperti yang kita bahas tadi, konsep identitas akan sangat mempengaruhi seberapa luas daya jangkau altruisme kita. Kalau kita masih meyakini identitas sempit berdasarkan kesamaan bentuk, uniformitas, seragam-seragaman maka kita hanya akan mengulangi kembali kesalahan yang sama pada tahap-tahap evolusi sebelum kita. Kita akan sangat altruis, bahkan militan pada kawanan kita tapi justru sangat galak pada yang di luar. Jangan seperti itu.

Evolusi selalu efektif saja, dia tidak suka pada hal-hal yang mubazir. Jenis ikan yang hidup di kedalaman ribuan kaki di bawah laut tidak berevolusi mengembangkan mata pada tubuhnya karena di dalam sana tidak ada cahaya. Kita kembali pada hukum awal, ekosistem adalah salah satu faktor penting yang menentukan evolusi. Dan kita tidak bisa tahu ke mana arah ujungnya evolusi, yang jelas manusia yang ada sekarang pasti bukan final.

Dan apalagi bentuk nation-state dengan ideologi nasionalismenya. Persoalan Papua, Uyghur, Tibet, Rohingya, Kurdi dan banyak lagi kasus-kasus serupa adalah persolan mendasar dalam konsep nation-state. Bahwa gagasan identitas dengan kesamaan memori, pengalaman sejarah bersama tidak bisa dipertahankan. Dan kita tahu, memori manusia adalah hal yang sangat rapuh. Sejarah adalah rangkaian interpretasi data dan interpretasi semestinya berkembang.

Pertanyaan ringan pada beberapa dekade lalu seperti “Anda asli orang mana?” sekarang ini, menurut pengalam saya pribadi tidak semudah itu dijawab. Tidak jarang saya bertemu dengan sosok-sosok yang merasa secara data kelahiran lahir pada satu wilayah geografi tapi tidak berminat menjadi “orang situ”. Bukankah tidak salah apabila saya, seorang yang lahir dari ayah bersuku Bugis (itu pun campuran dari luar jauh sana) yang berreproduksi dengan ibu saya yang berasal dari suku Tolaki (yang juga sudah bercampur Ternate yang juga sudah bercampur ke timur jauh sana) sekarang ini menetap di Yogya tapi lebih senang dengan kebudayaan dan mitologi-mitologi Nordik? Masa ini, semua itu sangat memungkinkan karena lajur informasi, pertukaran budaya, sharing kesadaran dan bahasa sangat mudah terjalin hanya dalam hitungan detik. Kita bahkan belum membahas identitas gender, pilihan orientasi seksual dan lain sebagainya.

Mas Duta Sheila On Seven yang “ketahuan” hadir pada Sinau Bareng di desa Condongcatur malam ini naik panggung dengan senyum malu-malunya yang menawan dan menyapa “Selamat malam, tonggo!” nah itu dia yang konkret, tetangga. Tapi tetangga pun sekarang bisa bermacam ragamnya. Apakah tetangga fisik pasti bertetangga secara digital di media sosial? Belum tentu. Apakah kita sedang melangkah dari masyarakat komunal pada masyarakat individual? Saya rasa tidak. Manusia tetap merindukan perjumpaan-perjumpaan, hanya mungkin bentuknya menjadi berbeda sekarang ini.

Pembaca yang budiman boleh setuju dan wajar bila tidak, tapi saya rasa manusia mengarah pada komunalitas digital. Bentuknya sedang meraba-raba, tapi kejenuhan pada struktur lama sudah jelas terasa. Saya sendiri tipe yang akan susah diajak srawung dengan tetangga fisik, karena memang kurang nyaman berada pada bentuk pertemuan semacam rapat RT (yang membuat saya merasa seperti bapak-bapak, tolong) atau yasinan, kenduren dan sebagainya. Tapi bisa sangat akrab dengan kawan-kawan yang baru kenal di media sosial. Ada bentuk baru yang sedang menyapa manusia, minimal saya. Kalau saya beneran manusia.

Entah bagaimana seorang yang socially awkward seperti saya bisa nyaman di kumpulan bernama Maiyah ini? Dan ketika mendapati kenalan dari media sosial yang juga aktif ber-Maiyah saya baru tahu bahwa saya tidak sendiri. Banyak sekali, terutama sedulur-sedulur yang kelahiran 1995 ke atas, yang mengalami kesulitan bersosial di lingkungannya tapi nyaman saja ke majelis Maiyah. Pada Mocopat Syafaat beberapa bulan lalu, seorang sahabat saya merasa cukup nyaman saja, sambil wiridan tengah berlangsung di panggung, dia coming-out sebagai seorang gay di angkringan sambil beberapa orang di sekeliling kami yang kami tidak kenal, turut mendengarkan. Kita tidak sedang membahas kesetujuan atau ketidaksetujuan, tapi kita bisa melihat bagaimana seorang merasa aman ada di sini siapapun dia.

Tampaknya ada keseimbangan lumbung gen yang terjaga di sini. Lumbung gen itu, kalau saya boleh sebut bernama gen iman, gen yang membuat manusia dengan perbedaan macam apapun, merasa aman dari ancaman, tuduhan bahkan prejudice. Semoga saya tidak sedang membesar-besarkan Maiyah dengan keterlaluan, semoga saya masih punya tolok ukur yang jelas untuk bekata bahwa apabila proses evolusi tauhid yang kita lakukan di Maiyah ini terus berjalan bukan tidak mungkin apa yang Mbah Nun sampaikan bahwa “Maiyah adalah blue-print peradaban dunia” memang sedang berjalan. Tugas kita adalah untuk terus belajar, memantapkan logika, perhitungan, rasio, kehati-hatian pikiran serta menegakkan kewaspadaan ilmiah.

Lainnya

Exit mobile version