CakNun.com

Altruis Di Tengah Kompleksitas Identitas

Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Evolusi Altruis

Belakangan ini di beberapa majelis Maiyah saya rasa bahasan altruisme sedang mencuat. Sebelumnya bahasan mengenai identitas juga pernah jadi topik hangat. Rasanya dua topik ini tidak bisa terpisah. Konsep altruis adalah bahasan yang sangat menarik bagi para peminat teori evolusi, dan satu pertanyaan yang pernah diajukan, dikutip dalam buku “Selfish Gene” karya Richard Dawkins adalah pada seberapa luas sikap altruistik itu bisa diberikan oleh suatu bentuk makhluk? Dan spekulasi yang cukup kuat mengatakan bahwa semakin satu makhluk altruis pada kawanannya maka dia akan cenderung semakin destruktif pada kawanan lain, yang asing.

Mudah membayangkan kita akan bersikap altruis pada sesiapa saja dan pada apa saja, bila kita tidak mensimulasikan persoalan. Simulasi adalah kemampuan otak khas manusia yang mulai berkembang sejak tahap primata. Ingat juga malam di Condongcatur ini pula, Mbah Nun menekankan pentingnya kita berpikir simulatif agar mampu mencapai titik tengah dalam kehidupan. Maka mari kita mulai simulasi permasalahan dalam altruisme, katakanlah sosok ibu adalah perwakilan sikap altruis pada anaknya. Tolong jangan bayangkan ibunya Malin Kundang yang mengutuk anaknya jadi batu, bukan ibu yang seperti itu. Kita bayangkan induk atau ibu yang impresinya biasa saja tanpa kemampuan superhero kutuk-mengutuk.

Katakanlah satu ibu memiliki satu orang anak, dan ibu lainnya memiliki satu orang anak. Dua anak dari dua ibu yang berbeda, bayangkan sedang berada pada situasi di mana satu yang hidup berarti satu akan mati. Maka dengan altruisme masing-masing si ibu, cukup mudah untuk kita bayangkan bahwa setiap mereka akan memilih kehidupan anaknya sendiri tanpa mempedulikan kalau anak yang sana akan mati. Dan ini adalah bahasan di luar kebaikan dan kejahatan, sebab begitulah genetik makhluk hidup bekerja.

Pada tataran evolusi kita yang sekarang, kita mengidentifikasi kelompok atau kawanan sebagai yang punya kode genetik paling mirip dengan kita. Seorang ibu akan memilih kelangsungan anaknya sendiri, daripada anak dari ibu lain, kenapa? Karena salinan gennya ada di situ. Adapun persoalan kasih sayang dan hal-hal selainnya rasanya bukan bahasan favorit pada tataran genetika.

Identifikasi Gen Sampai Identitas

Cara para makhluk mengenal atau mengidentifikasi makhluk yang salinan gennya paling mirip dengan dirinya itulah yang pada tahapan manusia kelak dikenal dengan sebutan identitas (to identify, mengidentifikasi, mencari yang identik dengan dirinya). Pada konsep paling awal, otak makhluk akan mencari mengidentifikasi persamaan bentuk dan (sekaligus) perbedaan mendasar dirinya dengan yang di luar dirinya.

Karena itu kita jarang (atau tidak pernah) menemukan seekor ayam jantan mengawini anak gajah betina. Iya mungkin soal ukuran juga. Tapi itu bukan karena standard moral bahwa si anak gajah masih di bawah umur (Atau entah, coba tanya ayamnya). Tapi otak sang ayam sudah terprogram untuk tidak menikahi bentuk yang jauh berbeda dari dirinya, karena andai terjadi proses reproduksi terlarang antar spesies yang berlainan itu, kemungkinan gagalnya salinan gen sangat besar. Dengan itulah lumbung gen ayam (dan syukurlah, gajah juga dan semua makhluk lainnya) tetap terjaga. Maka tidak pernah sekalipun sang ayam jantan gagah berani tergoda menyeret gajah betina ke KUA (apalagi-tanpa-restu-orang-tuanya… Gajah). Yang benar saja?

Bagi penggemar “selfish-gene” ala Dawkins, semua tindakan makhluk adalah untuk kepentingan genetis semacam itu. Ratu lebah di sarangnya mungkin tampak seolah menikmati privilege karena dia melahirkan para laskar budak yang mempersiapkan makanannya, merawat anak-anaknya dan membangun koloni. Tapi itu kalau kita pakai sudut pandang nilai manusia. Yang terjadi sesungguhnya adalah Sang Ratu “dipaksa” oleh para budaknya untuk seumur hidup hanya makan, kawin dan melahirkan. Sang ratu juga kan mau bebas ke alam liar dan bernyanyi-nyanyi riang di taman bunga kan? Tapi tidak boleh. Itu akan mengganggu keseimbangan lumbung gen.

Bedakan Altruis Dengan Meyakini Diri Sebagai Altruis

Maka begitulah pula altruisme bekerja. Altruisme diberikan pada sekawanan yang paling teridentifikasi menyerupai dirinya sementara yang paling berbeda akan rentan dianggap sebagai ancaman dan pada beberapa bentuk kehidupan, akan dihancurkan. Ini menjelaskan pada kita, mengapa pada tahap evolusi kita yang sekarang ini kita mudah menemukan komunitas yang meyakini ajaran kasih sayang, cinta yang luhur, orang yang mengimani Tuhan Maha Pengasih tapi justru sangat bertindak menghancurkan yang liyan. Singkatnya, jebakan identitas. Mengasihi sesama dimaknai hanya pada yang bentuk tampilan jasadiahnya paling mendekati dirinya. Artinya otak evolusinya belum beranjak dari proses evolusi primata. Dan memang, semakin satu kawanan terdiri dari individu yang altruis kawanaan itu akan sangat kuat tapi juga cenderung membinasakan kawanan selainnya.

Bahkan pada kawanan manusia, kelompok yang meyakini dirinya adalah kelompok (yang terdiri dari para) altruis bisa justru sangat berbahaya bila tidak punya patokan tolok ukur yang logis. Dia bisa merasa sebagai perwakilan yang sah dari sebuah nilai kebaikan dan merasa punya legitimasi untuk membinasakan yang tidak sependapat dengan dirinya dengan dasar pikir bahwa tidak mengakui golongannya adalah tidak setuju pada nilai kebaikan yang diperjuangkannya. Kita bisa lihat bagaimana kelompok ‘toleran’, ‘Islam moderat’ dan atau kelompok ‘pelestari tradisi luhur’ menjadi sama galaknya dengan kelompok yang diyakini radikal.

Lainnya

Topik