Air Kawah di Akhir Zaman
Allah kasih rumus atau panduan dasar kepada manusia dalam menjalani hidupnya di tahap dunia: “Wabtaghi fiima atakallahud-darol akhirah, wala tansa nashibaka minad-dunya”. Dalam Kitab terjemahan Al-Qur`an diartikan: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi”.
Terjemahan ini berangkat dari mental dan rasa “kemaruk ndunyo”, sehingga mengartikan “janganlah kamu melupakan bahagianmu dari kenikmatan dunia”. “Nasib” diartikan bagian atau jatah, yang konotasinya adalah materialisme keduniaan. Mana kata “kenikmatan” di ayat itu, sehingga dituliskan kata kenikmatan dunia? Kenapa kata ad-darul akhirah disentimentalkan dengan terjemahan “kebahagiaan negeri akherat”? Manusia penuh nafsu dan pamrih keduniaan, sehingga mengatur-atur keluasan Allah menjadi kesempitan nafsu manusia atas yang ia sangka kenikmatan.
Dari terjemahan-terjemahan semacam itu, manusia memahaminya: meskipun tujuan hidupmu adalah akhirat, tak apa bernikmat-nikmat di dunia, tak apa menikmati kemewahan dunia. Maka lahirlah materialisme dan kapitalisme hingga liberal. Liberalisme manusia adalah pengabaian terhadap regulasi Allah dan atas keterbatasan manusia sendiri. Maka dilangsungkanlah “dengan modal sekecil-kecilnya mencari keuntungan sebesar-besarnya”. Berlangsunglah monopoli, penggumpalan, ketimpangan, pusat dan pinggiran, persaingan, perebutan, peperangan abadi antar nafsu kelompok-kelompok manusia.
Filosofi dan kebudayaan manusia Jawa merumuskan “ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh”. Abad-abad modern manusia di dunia adalah pemandangan luas tentang manusia yang terlau mudah terpesona oleh dunia dan terkejut kepada dirinya sendiri. Juga “peradaban mentang-mentang”: dumeh hidup maka ia berfoya-foya. Dan demikianlah landasan pembangunan seluruh Negara dan Kerajaan di muka bumi.
Tidak ada Kabinet Menteri-Menteri dengan Presidennya, juga semua perusahaan dan badan-badan usaha apapun di setiap petak bumi yang percaya kepada pernyataan Allah bahwa — “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”
Kenapa idiom “minad-dunya”, yang bukan “fid-dunya” tidak direnungi? Bukan “di dunia” melainkan “dari dunia”. Maka Jamaah Maiyah menemukan kehidupan dunia adalah keberangkatan awal dari kehidupan abadi sampai kelak di akherat. Manusia belajar agar tidak salah cita-cita, salah tujuan, salah memilih pintu dan jalan, salah manajemen, salah sasaran, salah regulasi, salah cara berjalan, salah menempuh jalur. Di tengah kehidupan ummat manusia yang selama 7 (tujuh) abad belakangan memuncaki kesalahan itu. Jamaah Maiyah menemukan rangkuman dan komprehensi semua itu dalam pemahaman baru tentang “Haqq, Sabil, Syari’, Thariq dan Shirath”. Jamaah Maiyah memulai perjalanan hidupnya kembali dari pintu utama “Manusia nilai, Manusia Pasar dan Manusia Istana”.
Mulai hari kesadarannya, Jamaah Maiyah harus memastikan keadaan husnul khatimah hidupnya masing-masing, karena tak satu makhlukpun punya pengetahuan bahwa “saya masih hidup sekian ribu hari lagi”, “hari kematian saya adalah tanggal sekian bulan anu tahun sekian”. Jadi, hari kesadaran Jamaah Maiyah adalah hari ini juga, atau sekarang juga, detik saat ini juga.
Tetapi Jamaah Maiyah tetap berjuang agar ummat manusia di sekitarnya dan di seluruh permukaan bumi berhusnul khatimah juga, meskipun “la yukallifullahu nafsan illa wus’aha”. “Sekitarnya” itu berdasarkan gradasi dan lapis-lapis aura gelombangnya, tidak hanya engkau, keluargamu dan tetangga sekitarmu. Pun tidak sekadar saudara sebangsa di tanah airmu.
Sekitarmu adalah ummat manusia. Semua dan seluruh ummat manusia. Konteks ilmu Maiyah adalah kehidupan manusia di seluruh dunia, abad-abad kekhilafan pandangan yang melahirkan dan membesarkan mereka. “Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
Jamaah Maiyah tidak bisa memahami apalagi menyepakati tradisi tafsir 14 abad yang mengartikan “man yartaddu minkum” menjadi “kamu yang murtad dari agamanya”. Kata universal “riddah” dengan kata kerja “irtadda” dipersempit dengan memformalkannya atau melembagakannya atau menginstitusionalisasikannya. Jamaah Maiyah meraba makna kata itu dengan idiom sederhana “yang melakukan apa yang seharusnya menurut Allah tidak dilakukan”, atau “tidak melakukan apa yang menurut Allah seharusnya dilakukan”, dalam hal apapun saja dalam kehidupan. Tidak dibatasi pada aqidah, teologi, tapi juga akhlak, budaya, interaksi sosial dan semuanya.
Jamaah Maiyah digerakkan dan dikumpulkan oleh Allah di titik-titik bumi milik-Nya, karena Allah mencintai mereka, dan mereka belajar mencintainya. Belajar berhimpun bersama Kanjeng Nabi Muhammad saw sebagai Al-Mutahabbina Fillah, bersaudara sema-mata karena Allah. Mereka “sinau bareng”, berlatih dan melaksanakan “adzillah ‘alal mu`minin wa a’izzah ‘alal kafirin” dengan pemahaman dan tadabbur yang berbeda bahkan sebagian bertentangan sama sekali yang berlaku 14 abad hingga sekarang, yang menjadikan ummat manusia di seluruh dunia berperang dalam jiwa kekanak-kanakan, ilmu pubertas dan nafsu-nafsu dewasa.
Jamaah Maiyah dengan jangkauan ilmu pengetahuannya tentang manusia dan kehidupan sebatas perkenan Allah, adalah semacam air kawah di akhir zaman. Mereka masing-masing dan semua adalah Khalifah Allah. “Inni ja’ilun fil ardli khalifah”. Jamaah Maiyah adalah pelaku Khilafah melalui tadabbur Maiyah, yang sangat berbeda bahkan banyak bertentangan dengan tafsir-tafsir tentang Khilafah pasca Perang Salib di mana Kaum Muslimin sangat terkontaminasi alam pikirannya oleh Eropa, utamanya sesudah “agama” Renaissance.
Jamaah Maiyah menyiapkan diri mulai detik ini juga. Bergembira bersama menyanyikan “thala’al badru ‘alaina, min tsaniyyatil wada” untuk menyongsong hadirnya kembali Kanjeng Nabi Muhammad saw di ujung waktu, sesudah dikawal dan diawali tahap-tahapnya oleh Imam Mahdi dan Nabi Suci Isa Al-Masih.
Jamaah Maiyah belajar patuh kepada “rundown” dari Allah swt.
17 Agustus 2019
(Mbah Nun)