Agama Sebagai Jalan untuk Menjadi Manusia Lebih Baik
Seorang remaja laki-laki, telah menunggu Mbah Nun di ruang tamu. Dini hari, sebelum subuh menjelang. Acara rutin itu baru saja selesai, dan para jamaah masih berjejer untuk mendapatkan giliran salaman dengan Mbah Nun. Saya ada di dalam ruang tamu, menemani remaja itu.
Remaja ini ingin masuk Islam dan ingin diislamkan oleh Mbah Nun. Selama menunggu, wajahnya tampak tegang, mungkin menahan luapan perasaan di dalamnya, yang saya tentu tak bisa menerangkannya. Beberapa menit kemudian, sosok yang ditunggu itu masuk ke dalam rumah, dan segera saya pertemukan dengan beliau. Saya sampaikan hajatnya.
Setelah menyimak dengan baik maksud itu, Mbah Nun menanyakan bagaimana dengan keluarganya; apa nanti tidak menimbulkan masalah. Mbah Nun sadar proses konversi agama kadang bukan hal yang mudah dalam kaitannya dengan lingkungan keluarga. Tentang hal ini, dia mengatakan orangtuanya tidak masalah.
Namun, terhadap permintaan mengislamkan seperti ini Mbah Nun merasa dirinya kurang pas. Sebagai gantinya, Kyai Muzammil, yang saat itu ada juga di ruangan itu, yang diminta Mbah Nun untuk membantu proses syahadat yang akan diucapkannya sebagai tanda dia mengawali memeluk agama Islam. Mbah Nun, Saya, dan beberapa orang di situ turut menyaksikan proses sederhana itu. Kyai Muzammil menuntunnya membaca syahadat hingga tiga kali.
Selepas membaca syahadat itu, Mbah Nun menyampaikan kepada dia, “Masuk Islam itu tolong jadikan sebagai jalan bagi kamu untuk menjadi manusia yang lebih baik di hadapan Allah, dan setelah itu (setelah bersyahadat) syukur Anda mau belajar menikmati shalat.”
***
Seingat saya ada beberapa kali saya menyaksikan orang ingin masuk Islam dan ingin diislamkan oleh Mbah Nun. Tetapi hampir selalu Mbah Nun mengelak dan meminta yang lain yang ada di dekat beliau untuk membantu mensyahadatkan mereka, dan kali ini saya merasa apa yang tadi dipesankan kepada remaja itu cukup mengesankan bagi saya, dan ingin saya catat.
Sebagaimana diajarkan kepada kita, sesudah sampai pada waktunya, maka seseorang yang beragama Islam akan terbebani oleh sejumlah kewajiban syariat yang harus dijalankan. Itulah yang biasa dikenal dengan istilah taklif. Orang yang baru saja masuk Islam, biasanya juga langsung diperkenalkan kepada apa saja kewajiban yang mesti dijalani dan dipelajarinya terlebih dahulu.
Mbah Nun mengambil pendekatan yang berbeda. Belajar menikmati ibadah, itulah yang dikatakan, yang diharapkan. Ibadah bukan terlebih dahulu ditekankan sebagai kewajiban, tetapi sesuatu yang perlu dinikmati. Toh remaja ini pasti akan belajar juga tentang sisi ibadah sebagai kewajiban syariat, apalagi dia memilih masuk Islam atas dasar proses pencarian spiritual-intelektual di dalam dirinya.
Pendekatan ‘menikmati’, barangkali itu yang jarang. Teampaknya sederhana satu kata itu, tetapi saat mendengar Mbah Nun mengucapkan pesan itu, saya jadi bercermin. Tapi saya ajak Anda ya. Maksud saya, bercerminnya seperti ini: adakah kita, yang telah memeluk Islam lebih awal dari adik remaja kita ini, telah mampu menikmati ibadah yang kita lakukan.
Seraya melontarkan pertanyaan ke dalam diri seperti itu, saya menghibur diri. Untunglah, beragama itu adalah proses yang dinamis, di mana jiwa kita akan senantiasa tertantang untuk bercermin dan bercermin, memperbaiki diri manakala diri kita menjumpai diri kita terpuruk dalam garis hubungan batin dengan Allah.
Selanjutnya pesan sebelum itu. Berislamlah sebagai jalan kamu menjadi manusia yang lebih baik. Ini makjleb. Untuk kesekian kali, saya lalu tersadarkan, jangan-jangan selama ini kita beragama belum kita tarekatkan sebagai jalan mentransformasi diri menjadi manusia yang baik. Jangan-jangan agama kita jadikan identitas yang bisa dikomoditaskan demi kepentingan duniawi. Dari situ kita malah jadi manusia yang tidak baik. Karena niat dan kepentingan kita berbeda dengan hakikat ajaran agama.
***
Dua pesan Mbah Nun itu saya catat dalam upaya saya turut meniti ilmu Maiyah, di mana Mbah Nun memberikan contoh-contoh kecil tetapi merupakan pantulan konsisten dari cara pandang Maiyah terhadap agama dan manusia. Agama sebagai ajaran Allah yang masuk ke dalam diri manusia untuk secara intrinsik membimbing mereka menjadi manusia yang baik di hadapan Allah.
Dalam arah yang demikian, kita senantiasa berhadapan dengan pertanyaan reflektif dan esensial: tidakkah kita berada jauh dari kelayakan untuk dimasukkan sebagai manusia yang baik, kalau ternyata kita masih menjadikan agama sebagai pendukung untuk mencapai maksud-maksud duniawi, dan bahkan kita tak sadar bahwa sejatinya agama itu jalan untuk mengasah diri, dan karenanya kita tidak menempuhnya, apalagi menikmatinya.
Seiring ikhtiar Maiyah membimbing kita semua untuk menemukan Islam yang autentik dan sejati, dua pesan Mbah Nun kepada remaja tadi adalah pendekatan yang menyeimbangi wawasan saya di tengah pendekatan mainstream yang ada.
Tapi juga yang tak kalah pentingnya, ketika Mbah Nun mengucapkan kalimat ini ‘syukur kamu mau belajar menikmati shalat’, saya mendengarkan kalimat itu sebagai sesuatu yang indah. ()
22 Mei 2019
Untuk Buletin Maiyah Jawa Timur edisi Mei 2019/Ramadlan 1440 H