68
Tuhanku
impianku tentang manusia barangkali terlalu tinggi
hingga aku begitu tak sabar dan akhirnya acap kali
kalah sendiri, aku bingung mau bilang apa kepada-Mu
jadi tak jarang mengigau:
“tak terlalu kecil aku untuk merengek
kepada-Mu, tetapi, Kekasih, tak cukup
besar juga aku untuk memaksa-Mu agamaku
agamaku, teruskan permainan-Mu…”
waktu bangun pagi menimba di sumur, menguras dan
mereguk teka-teki bumi, lantas jebar-jebur,
menggosoki daki, seakan membersihkan kedunguan
hidup yang bertubi-tubi, aku pamit pada-Mu sebelum
berangkat kerja
“tolong ditegur kalau goblok atau keliru, maklumlah
manusia, sukar menatap diri sendiri, sedangkan
cermin hanya menawarkan suatu sisi” kataku setiap
kali. di kantor, di warung, di jalan-jalan, di tengah
sahabat, di antara kilatan-kilatan mata tak kukenal,
di tengah kehidupan yang makin lebat dan
remang, di tengah samudera dahsyat dan cakrawala
yang menipu, tak pernah kutinggalkan Engkau,
Tuhan karibku
bergaul dengan keindahan, godaan-godaan
lezat, panggung simpang siur, rakyat yang
baingung dan handai tolan yang gampang diembus
angin, nilai dan pamrih yang bentrok, yang terakhir
darinya setan-setan, budak, pengemis, penjilat,
pengkhianat, pidato dan kata-kata sekarat
“ah, Tuhanku, tolonglah bantu kami dalam
melahirkan setiap surat keputusan,
polesi, kebijaksanaan, sistem,
teori, maupun setiap gerak
langkah sehari-hari,
agar semua menjadi nyala api
yang tak membakar diri kami sendiri
melainkan jadi matahari
dan air sunyi”
tidak, tidak, Kekasihku
Engkau tak bisa terus berdiam diri
bukakan mata jiwa kami
dengan pisau-Mu yang sakti.