47
Tuhanku
jelaslah kini bagiku, bunuh diri adalah sebuah
nilai yang berasal juga dari-Mu. kujalani
ia, Tuhanku, suatu saat di batinku.
waktu pagi hari kuberlari keluar rumah, menuju
ke timur, menyongsong matahari yang bangkit,
menatapnya dalam-dalam, tepat, tepat di pusat
matanya.
impian-impian sesaat, telah menjemukanku, tipuan-
tipuan sikap, kebijaksanaan-kebijaksanaan teknis
untuk menyelaraskan perjalanan, kompromi dan
korupsi yang dinasionalisasi, tak lagi merupakan
lelucon yang dibutuhkan. keyakinan sesobek-sesobek,
takaran makna dan nilai yang tak ladi bisa diperlihara,
fragmen-fragmen kemunafikan, kolase peradaban,
bunuh diri kebudayaan, kubutuh hidup yang
dipaksakan dan dikendalikan. keraguan terhadap arah
dari kerja keras, minuman-minuman zaman yang
merangsang dan memabukkan, buku-buku yang
membeku, pidato-pidato nyinyir dan sepotong sajak
yang tanpa darah, kini telah sampai pada wujudnya
sebagai keletihan yang sia-sia, bicara besar yang
pengap-gelap, serta gerak yang mandek.
Tuhanku
maka kutatap matahari
tepat di pusat matanya!
Tuhanku
serasa aku telah menatap bola-mata-Mu
aku mulai memasuki gua-Mu
panas dan pedih menyergapku dan air mata mengucur
deras, alangkah menggelegak jiwaku: inilah bayaran
yang setimpal untuk membuktikan kepada-Mu bahwa
tak ingin aku tenggelam dalam kenikmatan semu dosa
sekeliling pohon-pohon bergetaran, awan bergeser
ke tepian, jika ada saudaraku yang menanyakan
ke mana aku hendak pergi, hendaknya ia mengerti
bahwa rasa panas dan sakit di mataku bukanlah
apa-apa. katakan bahwa aku kini berada dalam ruang
tanpa tepi, dan cahaya cemerlang yang telah dikenal
oleh jiwaku yang paling dalam, terasa
menghidupkan kembali, kembali.
perlahan-lahan warna itu meremang, meremang, dan
akhirnya gelap kembali. tapi tak padam! tapi tak
padam, Tuhanku, sebab cahaya benderang itu hanya
Kau pindahkan dari lensa mataku ke
dasar jiwaku.
Tuhanku,
terima kasih untuk
bunuh diri itu
yang mencampakkanku
ke erat dekapan-Mu.