2019-2024: Menimbang Ulang NKRI (2)*


Presiden yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia bukanlah “siapa”, melainkan “tahu apa” dan “bisa bagaimana”.
Siapa-nya silakan saja. Yang lebih utama apakah ia mengetahui apa yang seharusnya ia ketahui tentang kebutuhan mendasar sejarah bangsa Indonesia di era sekarang ini sampai beberapa puluh tahun mendatang. Serta seberapa kebisaan atau kemampuannya untuk mengerjakan apa yang ia ketahui itu.
Ibaratkan misalnya sejarah Indonesia adalah Bis besar yang mengangkut penumpang, yakni seluruh rakyat. Pertanyaan yang harus dijawab oleh setiap Capres dan Cawapres serta para pemimpin nasional lainnya: apakah kunci keselamatan atau kebangkitannya terletak pada Sopirnya ataukah pada kondisi Bisnya, sasisnya, mesinnya, atau seluruh struktur badannya.
Apakah NKRI perlu ditimbang ulang atau dipertimbangkan kembali segala sesuatunya, dari undang-undang dasar dan bentuk kenegaraannya hingga pandangan hidup dan tujuan sejarahnya, dari pemahamannya terhadap dunia global hingga strategi pembangunannya. Atau tidak.
Kalau Capres Cawapres dan para pemimpin Negeri ini berpikir “Indonesia sudah benar dan baik-baik saja”, maka silakan jalan. Kalau beliau-beliau yakin tidak perlu berpikir ulang dan mempertimbangkan kembali berbagai hal tentang NKRI, saya tidak akan mendesakkan apapun saja. Saya sudah terbiasa menyimpan atau tidak mengungkapkan berbagai macam analisis dan persepsi saya atas kondisi Indonesia.
Tidak ada tugas atau mandat di tangan saya untuk melakukan introspeksi dan berhitung kembali keIndonesiaan secara menyeluruh. Apakah tahun 2025 ke atas NKRI akan semakin menjadi “ekor naga merah dan elang putih” di tengah perjalanan bangsa-bangsa di dunia; atau sebaliknya Indonesia akan bisa tampak maju dan berhasil secara teknis materialistik, tetapi Indonesia bukan lagi milik bangsa Indonesia–juga bukan beban tanggungjawab saya sebagai rakyat kecil.
Juga di luar kewenangan saya apakah bangsa Indonesia adalah “budak” Globalisasi, ataukah pemilik dan pelaku utama NKRI. Pun apakah Pemerintah yang baru harus mengerti “habitat globalisasi”, memahami ke mana sejarah Indonesia sedang digiring, apa yang dimaksud pembangunan dan kemajuan. Termasuk perlukah kita menimbang ulang apa itu manusia dan bangsa, apa itu keberhasilan dan kehebatan, apa itu kemajuan dan keunggulan, cocoknya tanah air raksasa ini dikelola secara Republik, Kerajaan, Imamah, Khilafah, Perdikan, Persemakmuran atau apapun.
Saya juga tidak “mas`ul” kalau ada di antara kita yang berkesimpulan bahwa tidak ada bangsa di muka bumi yang melebihi Indonesia dalam hal tidak mempercayai dirinya sendiri. Andaikan orang nomor satu Indonesia adalah orang yang terlalu sibuk dengan wajahnya sendiri, atau orang yang naif dan tidak membedakan antara kearifan dan kekonyolan–maka “antum a’lamu bi`umuri dunyakum” kalau seluruh rakyat akan lebih panjang lagi “menunda kekalahan” sebagaimana idiom yang dipakai oleh penyair nomor satu Indonesia, Chairil Anwar.
Posisi saya untuk urusan kenegaraan Indonesia terletak di wilayah “wajib kifayah”. Tetapi saya meneguhkan bahwa bersama semua orang yang bersama saya, tidak akan menjadi bagian dari yang bersaing, berbenturan, saling membenci dan bermusuhan sesama bangsa Indonesia.
Surabaya, 31 Maret 2019
1. “Presiden Husnul Khatimah”, Yogya 28 Maret 2019.
2. “Menimbang Ulang NKRI”, Surabaya 31 Maret 2019.
3. “NKRI Belum Indonesia”
4. “Apakah Begini Ini Demokrasi?”
5. ….