20 Tahun Itu Tak Cuma Angka, Tetapi Proses Perjalanan Cinta
Penggiat senior sama sekali tidak menyangka, Simpul Gambang Syafaat bisa mencapai 20 tahun.
Di sebuah grup whatsApp yang berisi penggiat Gambang Syafaat, kami berembuk: Apa yang membuat Gambang Syafaat bisa seawet ini?
Ada banyak jawaban tentunya, tetapi yang jelas, jawaban yang paling banyak adalah cinta.
Cinta yang diberikan Mbah Nun kepada anak cucunya di Gambang Syafaat dan cinta penggiat dan jamaah Gambang Syafaat kepada Mbah Nun.
Hanya dengan cinta itulah Gambang Syafaat bisa melanjutkan regenerasi antarpenggiat dan menghimpun jamaah dari belasan sampai puluhan, dari puluhan sampai ratusan, bahkan kini sudah mencapai ribuan.
Itu keajaiban, kata penggiat-penggiat senior.
Dulu, saat Gambang Syafaat sudah berumur 10 tahun lebih, tak banyak orang yang datang ke Masjid Baiturrahman, duduk melingkar, Maiyahan. Padahal baliho acara sudah dicetak dengan ukuran besar dan dipasang di pinggir jalan. Namun, tetap saja tak mampu mengubah lapangan parkir mobil di depan Aula Masjid menjadi tempat pertukaran ilmu, ide, gagasan, dan solusi-solusi atas masalah-masalah sosial.
Justru perubahan terjadi saat generasi menunduk mendominasi percapakan kita. Mereka yang dicap dan diremehkan sebagai generasi yang hanya lincah menggerakkan jemari di layar handphone, justru yang menyesaki pelataran ruang belajar bersama bernama Majelis Gambang Syafaat.
Mereka mengabarkan setiap aktivitas dan apa yang dibahas di Gambang Syafaat di media sosial. Dan, ketika media sosial menjadi alat tangguh promosi acara dan kegiatan. Penggiat Gambang Syafaat memanfaatkan media itu semaksimal mungkin. Pencetakan poster acara dalam bentuk baliho besar dihentikan berganti dengan tampilan poster yang memiliki nilai estetika yang tinggi dan dicetak secara soft file saja.
Gambar poster harus merepresentasikan tema. Kalau bisa gambar poster harus menggugah, bahkan membuat jamaah mendebat maksud gambarnya. Sisi kecil seperti itu, menjadi perhatian utama di Gambang Syataat. Tidak dipungkiri dalam proses pembuatannya, perdebatan tidak bisa kita hindari. Kita memegang teguh, poster bukan petugas pemberi pengumuman kapan dan di mana acaranya, melainkan sebuah gagasan yang diterjemahkan dalam gambar atau gambar yang memacu kita untuk menginterprestasikannya.
Maka, ketika poster tampil di media sosial, respons jamaah dari kalangan milenial atau generasi menunduk antusias. Mereka seperti mendapat kesegaran karena sudah jenuh dengan hal-hal yang disuguhkan secara seragam. Generasi milenial seperti itu yang tampak hanya bisa cengengesan, diam-diam merelakan kuota data di hapenya untuk menjumpai Mbah Nun di kanal youtube, juga sering datang Maiyahan. Bermula dari perjumpaan di digital, berlanjut ke perjumpaan ragawi. Maka tidak heran sama sekali, baru semenit poster diunggah di media sosial, jamaah milenial itu langsung merespons, “Mbah Nun rawuh rak min?”
Semacam kerinduan yang diekspresikan dengan lugu, tidak peduli kepada siapa dia menanyakan itu. Yang penting dia ingin mendapat jawaban jelas, bisa tidak dia bertemu Mbah Nun. Di sisi lain, pertanyaan itu juga mewakili batin penggiat yang diam-diam menginginkan kehadiran Mbah Nun.
Namun, penggiat sudah dituntut mandiri. Sudah sering diwanti-wanti, kalau Maiyahan jangan terlalu bergantung pada kehadiran Mbah Nun. Dan dalam satu edisi di Gambang Syafaat, Mbah Nun pernah bilang, “kita ini generasi pohon jati”. Penanam pohon jati adalah orang ikhlas, sebab dia tahu hasil dari yang dia tanam, dia tidak akan ikut menikmati, kecuali anak cucunya.
Kira-kira seperti itu yang dirasakan penggiat senior. Butuh waktu lebih 15 tahun forum rutinan Gambang Syafaat bisa ramai dan meriah seperti sekarang. Sesuatu yang tidak pernah mereka bayangkan.
Pada pengelolaan saat ini, sudah terjadi semacam pergantian tongkat estafet penggiat, di mana jumlah penggiat muda lebih banyak dari penggiat senior. Jalinan kekerabatan yang lahir atas dasar cinta, membuat yang muda tidak kikuk bergaul dengan yang tua; yang tua tidak berlagak menggurui yang muda. Sebuah ekosistem pergaulan yang berlangsung secara egaliter tetapi tetap menjunjung sikap saling menghormati satu sama lain.
Persaudaraan yang seperti itu membuat secara perlahan jumlah jamaah yang datang membesar — meski hal tersebut bukan tujuan utamanya–, narasumber berjalan konstan, mirip format sebuah band, setiap personel tahu alat musik apa yang dimainkan dan mendapat perhatian dari penonton, seperti itu pula narasumber di Gambang Syafaat. Mereka secara tiba-tiba seperti mendapat segmen pendengarnya masing-masing.
Anda yang sering ke Gambang Syafaat akan paham, Gus Aniq dan Habib Anis adalah narasumber yang penjabarannya “lebih cocok” ke jamaah yang berasal dari kalangan santri. Sedangkan Pak Ilyas adalah narasumber yang selalu ditunggu penjabarannya oleh jamaah dari kalangan mahasiswa. Om Budi adalah narasumber yang selalu hadir dengan cerita-cerita reflektif perihal kehidupan di komplek perumahan.
Empat narasumber tersebut — tanpa menafikan narasumber yang lain — yang diakrabi jamaah. Wajah-wajah beliau yang kerap menghiasi linimasa Gambang Syafaat kala gelaran sinau bareng berlangsung. Beliau membersamai jamaah, baik ada maupun tidak ada Mbah Nun membersamai jamaah Gambang Syafaat. Secara tidak diduga, jamaah juga tetap datang meski tanpa kehadiran Mbah Nun.
Kini, tanpa kita sadari, kalender di rumah sudah sampai di halaman terakhir dan teman-teman penggiat berkata, “Hei Gambang Syafaat sudah 20 tahun.”
20 tahun bukanlah usia muda dan umur tidak bisa menjadi ukuran orang bisa berpikir dan bersikap dewasa.
Soal ini kita mesti sepakat dengan Cak Noeg — pembaca “Ora Blas Puisi” di Gambang syafaat — “20 tahun bukan sekadar angka, tetapi perjalanan cinta.”
Salam.
Semarang, 23 Desember 2019