18 Sesepuh Menturo Terima Ijazah Cinta Padhangmbulan
Momen Hari Pahlawan masih belum beranjak. Sehari setelah peringatan nasional itu diselebrasi, Senin, 11 November 2019, Padhangmbulan digelar. Tak seperti Maiyahan sebelumnya, acara malam itu diawali dengan pemberian secara simbolik Ijazah Maiyah bagi 18 sesepuh—tiga di antaranya kaum perempuan. Anugerah disampaikan atas pertimbangan kesetiaan dan kesederhanaan 18 sesepuh terhadap persambungan cinta dengan Bani Muhammad.
Sebagian besar sesepuh berusia antara rentang 60 sampai 100 tahun. Capaian angka yang jelas telah banyak mencecap asam manis kehidupan. Cak Fuad menitikberatkan betapa penganugerahan itu merupakan bentuk apresiasi Maiyah kepada para pejuang nilai kehidupan. “Di tengah situasi zaman yang sukar lagi menemukan orang yang saling menghargai, maka Cak Nun dan keluarga besar berinisiatif mengapresiasi orang-orang yang pernah berjasa, khususnya yang di masa lalu termasuk perintis Padhangmbulan,” tuturnya.
Cak Fuad memperkenalkan salah satu sesepuh. Namanya Pak Mukhlis. Di antara 18 orang penerima Ijazah Maiyah, ia paling sepuh karena berusia hampir mencapai satu abad. “Pak Mukhlis beberapa bulan lagi genap berusia 101 tahun. Namanya Mukhlis dan benar-benar mukhlis dalam arti yang sebenar-benarnya,” lanjut Cak Fuad.
Menanggapi momentum kemesraan kultural Ijazah Maiyah, Cak Nun merasa Padhangmbulan seperti masih memiliki hutang dengan Menturo. “Ide pemberian ijazah ini lahir melalui Cak Nang di Jombang. Sekitar enam bulan sekali akan ada acara begini. Tak mungkin ada Padhangmbulan bila tak ada 18 orang yang hendak diberi ijazah tersebut. Dalam khasanah etika Jawa kita harus mikul duwur mendhem jero kepada sesepuh,” jelasnya.
Cak Nun menyinggung kebanyakan orang memberi penghargaan atas dasar kehebatan, kekuatan, kekuasaan, dan keterkenalan. “Itulah puncak prestasi menurut manusia modern,” kritiknya. Sementara di Padhangmbulan kriteria tersebut tak berlaku. Padjangmbulan memiliki parameter sendiri. Antara lain kesetiaan terhadap nilai-nilai kehidupan, kasih sayang, ketulusan, dan keikhlasan.
Meneladani Laku Sesepuh
Dengan aneka rupa pengalaman, para sesepuh berbagi kisah, memberikan ilmu melalui nostalgia. Guk Lik menuturkan kalau perjuangan sosial lewat jagat pendidikan telah dilakukan Cak Mad dan Bunda Halimah—orang tua Cak Nun—lebih dari setengah abad silam. Dikatakan kalau di rumahnya itulah pembelajaran disemai. Mereka mewakafkan seluruh hidupnya bagi masyarakat. “Dahulu yang tak bisa sekolah ya disekolahkan. Pokoknya harus belajar,” kenang Guk Lik.
Bahkan tatkala Guk Lik tak memiliki biaya sepeser pun untuk menikah, Cak Mad dan Bunda Halimah membiayai sepenuhnya. Itu dikatakan Guk Lik betapa Bani Muhammad begitu berperan bagi masyarakat. Ia terkenang sampai sekarang karena kebaikan sekaligus ketulusan hati kedua orang yang dituakan di Jombang itu.
Cak Markesot, pemilik nama asli Nukhin itu, juga mewedar oase ilmu tentang pendidikan yang sebelumnya didapatkan selama meneladani rekam jejak Bani Muhammad. Ia mengharapkan kalau anak muda sekarang sebaiknya gemar dan rajin berpikir. Poin yang ia tandaskan adalah menggunakan pikiran agar selalu menyadari kalau berpikir hendaknya dilakukan konsisten. Caranya, antara lain, berani menahan lapar. “Jangan sampai kenyang sebab kalau begitu akan gampang mengantuk,” ucapnya.
Bagi Cak Markesot terdapat nuansa kata yang berlainan antara “ilmu” dan “pengertian”. Yang pertama dikatakan itu bernuansa “asing”, sedang bagi Cak Markesot lebih memilih “pengertian” untuk menyebut “ilmu”. Jelas titik pembeda tersebut merupakan pemahaman otentik Cak Markesot sendiri.
Lebih lanjut, Cak Markesot mengemukakan tiga hal. Ilmu, amal, dan ikhlas itu saling berkaitan. “Amal harus memakai ilmu. Sedangkan ilmu itu harus diamalkan agar tidak mubadzir. Kuncinya amal harus ikhlas. Ikhlas itu di dalam hati, sehingga menjadi ridha. Intinya jangan merasa terpaksa,” ujarnya.
Ilmu atau pengertian akan sesuatu, bagi Cak Markesot, tak sekadar datang dari sekolah. Dunia pendidikan formal tersebut hanya salah satu sumber. Baginya, sumber ilmu bisa dari apa saja. Ia mengatakan kalau banyak belajar dari alam, terutama sesuatu yang dilihatnya, ditemuinya, dan direnunginya. “Apa yang saya lihat itu adalah guru saya. Jadi, kuncinya adalah Anda sering menganalisa. Kebutuhan menganalisa itu harus punya kekuatan berpikir,” tambahnya.
Setarikan napas dengan Cak Markesot, Pak Muzammil mengatakan kalau makrifat itu berkedudukan seperti “pengertian”. Pandangan atas makna “pengertian” yang dimaksudkannya itu sebagaimana dipaparkan Cak Markesot saat membincang mengenai nuansa makna lain dari “ilmu”. Cak Nun pada gilirannya merespons bahwa, “Apa yang Anda belum tahu kemudian tahu itu makrifat.”
Agar mencapai makrifat dengan pelbagai keutuhan dan kemantapan berilmu, maka Cak Nun berpesan supaya Jamaah Maiyah melakukan “revolusi batin” atau “radikalisasi batin” — tentu saja dengan poros ranah masing-masing karena tiap orang niacaya berbeda kurikulum kehidupannya.
Gelaran Padhangmbulan pada hampir di penghujung tahun ini merayakan Ijazah Maiyah sebagai ekspresi cinta sekaligus penghormatan kepada “pahlawan” Menturo. Tradisi hormat-menghormati dalam lanskap kultural semacam itu telah berlangsung di Nusantara sejak lama.
Namun, tradisi itu berangsur mengikis, bahkan seringnya dipeyorasikan sebagai wujud praktik feodal. Di Padhangmbulan, sebagaimana ditegaskan Cak Nun, feodalisme tak tumbuh karena tiap orang saling menghargai, menyayangi, dan tentu saja menjunjung kesetaraan sebagai manusia — hamba Tuhan.