CakNun.com

Yuli Astutik Melestari Shalawatan di Menturo

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

KiaiKanjeng memiliki dua orang vokalis perempuan: Kurniawati dan Yuli Astutik. Keduanya sama-sama sudah cukup lama berada di jajaran vokalis KiaiKanjeng. Hampir sejak dua puluh tahun silam. Tentang Kurniawati, tulisan Kurniawati, Qariah yang “Melebar” semoga bisa sedikit membawa kita mengenal sosok qariah yang mengalami perluasan-unik pengalaman dan dimensi bersama KiaiKanjeng ini.

Bagaimana dengan Yuli? Sama seperti Nia, Yuli juga punya background qariah karena sejak usia kanak-kanak sudah belajar qiroah meskipun dalam perjalanannya tidak menekunkan diri sebagai qariah profesional, dan malahan lebih banyak berkecimpung di dunia musik dangdut (jangan bayangkan dangdut yang bukan-bukan) dan qashidah. Pada tulisan lain atau selanjutnya, kita akan coba ngulik dan ngintip masa lalu Yuli dalam dunia musik, tepatnya sebelum diperjalankan bergabung bersama KiaiKanjeng.

Sementara itu saya mau ajak teman-teman menikmati yang asik-asik dari Yuli ini. Apa itu? Seperti mungkin teman-teman semua ketahui, sehari-hari Mbak Yuli adalah seorang vokalis KiaiKanjeng, ibu rumah tangga, dan istri dari seorang suami yang saat ini menjabat sebagai Kadus di Mentoro Sumobito Jombang, desa tempat lahir dan diselenggarakannya Pengajian Padhangmbulan.

Tetapi ada kegiatan lain dalam kesehari-harian Yuli. Yaitu sebagai guru TPQ dan guru Shalawatan atau Dzibaan bagi ibu-ibu di desa Mentoro. Aslinya sih sudah dipercaya sebagai guru TPA sebelum masuk ke KiaiKanjeng. Waktu itu, akhir 1998, Ibu Halimah (Ibunda Mbah Nun) meminta Yuli supaya mengajar TPA di Menturo. Bulan berikutnya, Ibu Halimah meminta dia dan anak-anak didiknya untuk shalawatan di pengajian Padhangmbulan. Usai shalawatan itulah, Bu Halimah memperkenalkannya kepada Mbah Nun. Mengalir dari situlah, lantas Yuli diajak masuk ke KiaiKanjeng.

Namun, kesibukan keliling ke mana-mana bersama KiaiKanjeng pada perkembangannya membuat Yuli tak bisa intensif lagi mengajar di TPQ. Bisa dimaklumi karena deretan panjang dan padat jadwal KiaiKanjeng menyita cukup banyak waktunya. Baru beberapa tahun lalu, Yuli kembali terjun ke pendidikan anak-anak yakni TPQ itu, terlebih karena ketua TPQ di Menturo saat itu juga mulai tak bisa aktif. Seakan menguat dorongan meneruskan lagi amanah Ibunda Halimah. Amanah yang rasanya pas dan tepat mengingat sosok Yuli yang istiqamah, sabar, dan tekun. Pas ebagai guru atau pendidik.

Meskipun mungkin situasinya berbeda dengan awal dulu diminta Bu Halimah, tetapi Yuli tidak mengalami kesulitan apapun dan bisa langsung on duty. Sejak saat itu, anak-anak kecil menjadi bagian dari dunianya lagi. Ini disertai catatan, dia tetap aktif di KiaiKanjeng.

Mulai dari belajar membaca Al-Qur`an, yang Yuli pakai metode turutan (qaidah Baghdadiyah) untuk keperluan ini dengan maksud agar anak-anak benar-benar mengenal huruf Hijaiyyah, bukan sekadar bisa melafadlkan huruf yang sudah terharokati, pada tahap selanjutnya berkembang ke belajar baca Qur’an secara tartil, bahkan qiroah, dan kemudian shalawatan. Di sini, bukan hanya mengajar, Yuli juga diminta Pak Miftah (kakanda Mbah Nun) untuk menjadi ketua TPQ.

Supaya memaksimalkan pembelajaran dan keberanian anak-anak, Yuli mengusulkan agar anak-anak diberi ruang tampil di pengajian Padhangmbulan, sama seperti permintaan Bu Halimah dulu, dan ini disetujui tentunya. Anak-anak TPQ Chalimatus Sa’diyah itu pun, seperti bisa dilihat, selalu tampil di awal Padhangmbulan. Bahkan kemudian Pak Mif mengusulkan bagaimana kalau anak-anak itu shalawatannya dilengkapi dengan rebana, meskipun sederhana, karena sebelumnya tanpa alat musik apapun.

Alhamdulillah, ternyata anak-anak pun cepat bisa diajari bermain rebana. Jadi mereka kini menjadi satu kelompok shalawatan seperti lazimnya kelompok dewasa. Bahkan saban hari Sabtu mereka ngisi dzibaan atau shalawatan di lingkungan desa Mentoro dan dapat uang saku yang mereka putuskan buat ditabung dan dibelikan hadiah yang dibagikan setiap kali digelar lomba pada saat berlangsung Padhangmbulan.

Perkembangan yang lebih menyenangkan lagi adalah rupanya para guru dalam hal ini ibu-ibu dan ibu-ibu lainnya kepingin bisa juga shalawatan. Nggak puas mereka hanya menyaksikan anak-anak. Akhirnya Yuli pun mengajari mereka shalawatan dan terbangan. Mereka yang belum pernah belajar, jadinya mau belajar karena mendapatkan dorongan yang kuat. Melihat positif, nikmat, asik, bikin senang, dan bermanfaatnya shalawatan.

Di sinilah ada secuil kejadian yang menggembirakan. Ada salah satu ibu di kelompok itu yang mengalami sakit atau ada sedikit masalah yang berhubungan dengan syarafnya. Oleh dokter, sebagai terapinya, dia disarankan banyak-banyak tertawa. Tapi teman-teman bisa bayangkan bagaimana mau ketawa-ketawa sendiri tanpa sebab. Sampai pada akhirnya dia sembuh, dan baru sadar ternyata itu disebabkan oleh karena tiap kali latihan rebana dan shalawatan itu berlangsung seger, senang, ger-geran dan banyak adegan lucu yang mau tak mau membuat dia dan ibu-ibu lainnya tertawa lepas. So, sembuhlah dia tanpa susah-susah memprogram jadwal terapi tertawa.

Satu lagi. Ini dari jajaran vokalisnya. Dengan ikut belajar shalawatan ini, salah satu ibu-ibu itu sadar harus belajar lagi, karena sudah lama mereka tidak menyanyi. Tapi kegiatan baru ini jadi wadah yang menyalurkan bakat yang lama tak terkeluarkan. Karena belajar pas ngumpul itu dirasa tak cukup dan karena semangatnya yang menggebu-gebu pula, maka di rumah pun dia tetap belajar. Dia sering mengulang-mengulang shalawatan sambil menabuh piring makan, karena tak bawa rebananya, untuk ngepaskan antara suara dan pukulan terbang. Tentu saja ini mengubah suasana rumahnya. Hasilnya, cerita dia sendiri ke teman-temannya, sang suami yang kata dia orangnya mrengutan kini jadi berubah jadi banyak senyum. Apa sebab? Karena suaminya senang melihat istrinya senang karena punya kesenangan baru. Asik kan rumah yang begini…yess..

Regeng-nya pendidikan TPQ ini (yang sebenarnya awalnya terdiri dari tiga kelompok TPQ) dan kelompok shalawatan ibu-ibu di Menturo yang didampingi Yuli dan di-support keluarga Bu Halimah beserta putra-putrinya ini pun merupakan satu buah di antara berbagai macam tebaran buah, khususnya dalam konteks pendidikan, yang tumbuh dari kebun Padhangmbulan. Buah-buah lainnya semoga bisa kita “kupas” rame-rame pada kesempatan lain.

Oh ya, anak-anak TPQ asuhan Bu Yuli dan tim ini bukan murid biasa-biasa saja. Mereka sangat antusias dan suka nanya ke Bu Yuli: kapan Bu latihan lagi? Karena semangat itulah, anak-anak itu sekarang sudah lumayan banyak mengoleksi shalawat dan lagu: mulai dari shalawat Alfu Salam, Sidnan Nabi, Ya Allah Ya Adhim, Shalli wa Sallim da, Ilahi Lastu, Tombo Ati, Ibu, Shalawat Barzanji, Do’a Khotmil Qur`an, Shalawat Nariyah, dan lain-lainnya. Dan semua itu membuat orang-orang tua mereka senang.

Yogyakarta, 24 Januari 2018

Lainnya

Kurniawati, Qari`ah yang “Melebar”

Kurniawati, Qari`ah yang “Melebar”

Mohon izin, teman-teman yang budiman. Saya akan sedikit bercerita tentang vokalis perempuan KiaiKanjeng bernama Kurniawati alias Mbak Nia yang kini telah dianugerahi tiga orang anak.

Helmi Mustofa
Helmi Mustofa
Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Lalu Lintas Manthiq Keindahan Hidup Manusia

Pesan agar saya menulis dengan judul atau tema “Membebaskan dan Membawa Sastra Kemana Saja”, membuat saya merasa agak malu karena teringat pada tulisan saya di waktu saya masih muda dulu yang kemudian menjadi judul buku “Sastra Yang Membebaskan”.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib