Yang Dimaksud Maiyah Sebagai Universitas
Setiap mempelajari (fakultas) apa saja, hendaknya dijadikan pelajaran universitas. Saya mencatat kalimat Mbah Nun ini dari Majelis Ilmu Padhangmbulan dua hari lalu. Satu butir pesan berkaitan dengan “cara melihat sesuatu dalam kehidupan atau hidup itu sendiri.” Dan ini penting.
Setelah menyimak kesempatan yang leluasa diberikan kepada jamaah buat menggali dan belajar kepada KiaiKanjeng, Mbah Nun menguraikan satu prinsip dasar Maiyah dalam memandang hidup itu, dan ini Beliau merasa perlu mengingatkan lagi.
Mbah Nun berikan penjelasan. Belajar kepada musik KiaiKanjeng, umpamanya, tidaklah terutama belajar musiknya, tapi belajar kehidupan. Bagi Maiyah hidup itu bukan sebuah ruangan dengan bermacam-macam kamar, tetapi ruangan luas dengan banyak pintu. Ada pintu syariat, pintu psikologi, pintu musik, dan pintu-pintu lain. Begitu melewati pintu tadi, ya langsung masuk jadi satu di dalam ruangan luas (hidup/kehidupan) itu. Orang-orang yang masuk dari beragam pintu ketemu lagi di ruangan yang sama, bareng-bareng berada di situ.
Ini kontras dengan peradaban modern yang memandang hidup ini ruangan yang di dalamnya terdapat kamar-kamar. Ada kamar agama, kamar politik, kamar ekonomi, kamar budaya, kamar sosial, kamar kesehatan, kamar pendidikan, dan lain-lain. Atau dalam bahasa universitasnya, kamar-kamar tadi adalah fakultas-fakultasnya.
Jadi, musik yang dipelajari jamaah Padhangmbulan kepada KiaiKanjeng tadi hanyalah pintu untuk memahami kehidupan. Kalau hanya berhenti pada musik, itu fakultatif namanya. Lalu Mbah Nun tegaskan, “Maiyah itu universitas. Lehmu mlebu lewat endi wae monggo…(lewat manapun kamu masuk, silakan saja). Maiyah adalah/sebagai universitas karena di dalam kebersamaan Maiyah itu kita diajak selalu untuk tidak terjebak berpikir fakultatif.