CakNun.com

Waspada Terjebak Menuhankan Pikiran

Mocopat Syafaat 17 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Dialog dan tanya jawab juga digelar. Kang Muhtasib paling pertama memberi pertanyaan mengenai dalil athi’ullaha wa athi’ur-rasul wa ulil amri minkum. Kang Muhtasib bertanya, apakah itu berarti kita harus sealalu mematuhi pemerintah? Karena takutnya dianggap bughot. Ada juga seorang pemuda menyenangkan bernama Atip, yang nama lengkapnya menurut katanya sendiri “Ini-Si-Atip”. Mbah Nun senang sekali mendengarnya. Kang Atip ber-inisiatip bertanya tentang konsep HAM dan konsep al islamu huwa man salimal muslim…. Aduh saya lupa, ya itulah. Kemudian penanya ketiga, Mas Ridwan dari Temanggung bertanya mengenai apa itu kebenaran yang sejati.

Mas Sabrang menyumbangkan jawaban untuk dua pertanyaan terakhir. Bagi Mas Sabrang HAM selalu timpang pikir karena manusia dididik untuk bicara mengenai hak tanpa dibuat sadar akan kewajiban. Jalan tengahnya menurut Mas Sabrang adalah mesti adanya masyarakat yang sadar tanggung jawab. Dan soal kebenaran sejati, Mas Sabrang memakai logika gradasi warna dan pengalaman rasa. Jutaan gradasi warna, bahasa manusia saja pasti terbatas untuk menjelaskannya apalagi sesuatu yang lebih sejati dari warna dan rasa. “Dia pasti sesuatu yang sangat sederhana sehingga ketika diutarakan pasti disepelekan,” ujar Mas Sabrang.

Boleh saya belok sedikit? Ketika Mas Sabrang mengucapkan itu saya teringat pertandingan catur Mikhail Tal, ketika dia terjebak akan kehilangan kuda. Konon Tal berpikir ke sana-kemari, dia sampai mengingat puisi Rusia yang bercerita mengenai anak gajah yang tenggelam dalam lumpur dan dia masuk ke dalam puisi itu, dia berusaha menyelamatkan si anak gajah dan selalu gagal. Lama sekali Mikhail Tal berpikir hingga akhirnya dia sampai kepada kesimpulan sederhana, kenapa harus diselamatkan? Tal menang dengan mengorbankan kudanya pada akhir pertandingan.

Mbah Nun juga menjawab semua dengan singkat dan padat sebab ini sudah hampir jam 03.00 WIB. Dan baiknya mungkin untuk sambil menutup reportase ini saya menggarisbawahi jawaban Mbah Nun kepada Kang Muhtasib. Mbah Nun memakai logika sastrawi, bahwa dalam ayat tersebut kata “athi’u” diulang pada kata Allah dan Rasul. Namun tidak diulang pada kata ulil amri. Logika bahasa yang formal, malah sebenarnya kata tersebut bisa ditaruh di awal saja, tanpa perlu diulang di kata kedua dan seterusnya karena dia berarti kata yang berefek lanjutan. Namun Allah tentu tidak main-main bahkan pada presisi kapan Allah mengulangi satu kata.

Pengartian yang diberikan Mbah Nun adalah, bahwa posisinya selalu hukum pasti untuk taat pada Allah dan Rasul. Namun pada selainnya, baik ulil amri maupun pemerintah, baik NKRI maupun apa namanya setelahnya, tetap perlu dihitung-hitung tingkat ketaatannya. Bahkan Mbah Nun kemudian memberi contoh bahwa ini adalah hasil tadabbur Mbah Nun sendiri dan posisinya adalah sebagai penambah variabel pencarian, bukan untuk ditaati serta dianut.

Begitupun pertanyaan soal HAM dan toleransi antara muslim-kafir, Mbah Nun menyebutkan bahwa tidak akan ada persoalan apa-apa mengenai toleransi andai kita memaknai kata muslim dan kafir itu tidak dengan status beku, tapi dari output sikap dan akhlaq. Tentu memang ada status muslim dan kafir itu, tapi pada ranah keyakinan. Kita tidak bisa memastikan.

Malam berakhir dengan sapaan doa. Bukan sekali ini saja saya merasakan datang ke Maiyahan dengan tubuh yang kurang enak tapi lama-lama malah makin segar. Tapi baiknya ini tidak perlu didramatiskan, cukup untuk saya baca pola tubuh saya sendiri dan saya bagikan sedikit dalam tulisan. Lagi pula untuk sekadar permohonan maaf bagi pembaca yang budiman kalau dalam tulisan ini ada banyak sekali luputnya, mungkin karena faktor tersebut. Maiyah malam ini saya merasa ada romantis-romantisnya tapi juga ada gejolak bara revolusi di dalamnya.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak