CakNun.com

Waspada Terjebak Menuhankan Pikiran

Mocopat Syafaat 17 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Pak Toto juga membuka bahasan mengenai pola pendidikan. Menurut Pak Toto, seperti juga banyak kata lain yang sudah tergeser, kata pendidikan juga telah mengalami degradasi sehingga seolah hanya dimonopoli oleh sekolah. Padahal pada ruang-ruang publik itulah juga terdapat pendidikan. Itu pun sekolah kembali dipersempit dengan pembekuan status murid dan guru. Secara rasional, bisakah orang memilih guru atau mursyid? Ini juga nantinya bersambung dengan bahasan Mas Sabrang. Kalau kita mengaktifkan akal rasional, apa mungkin ada orang yang berstatus guru? Bukan kata guru, tapi soal status itu yang persoalan.

Dunia pendidikan modern dan tradisional, sekolah kota maupun pondok pesantren memang mengalami fenomena yang mirip walau beda bentuk. Pendidikan tidak menjadi ruang publik, semua serba status. Status itu perlu kita sadari juga memang senada dengan statis. Artinya sesuatu ketika dia distatuskan maka dia statis. Padahal Mbah Nun menyampaikan, “Manusia itu dinamis, tidak statis.” Itu juga menjwab persoalan kita bersama, misal bagaimana “kumpulono wong kang sholeh” kalau kita tidak bisa menentukan dan memang tidak merasa berhak menentukan mana orang sholeh? Hanya kalau kita berpikir statis, itu masalah. Padahal sederhana saja yakni berkumpullah pada orang yang sedang sholeh atau minimal, sering berada pada sikap sholeh.

Setiap manusia punya titik di mana dia sedang sholeh dan sedang kurang sholeh, itu naik turun tentu saja. Kita hanya bisa melihat dari sikapnya. Saya sering sekali kurang tertarik pada banyak majelis karena sang pimpinan majelis selalu menggunakan narasi “kumpulono wong kang sholeh” untuk berkumpul dan bergabung dengan golongannya. Kadang, nah kadang…–karena kita dinamis bukan, iya juga kadang–sisi pikiran negatif saya keluar juga kalau sudah begitu. Akhirnya mikir apakah ini guru majelisnya sudah pede banget pasti sholeh? Siapa yang bisa menjamin?

Maiyah memang menjadi ruang di mana segalanya bisa ditampung, segala beban diletakkan dan segala bahasan bisa dibicarakan. Maiyah tidak tertarik untuk menjadi golongan dan memadat. Persolan kita sekarang, segalanya dibuat statis dan padat sehingga orang susah melihat apa-apa yang tidak padat. Ketika ada arsiran warna dia akan menuduh itu bentuk, gerakan atau kumpulan yang seperti yang dia yakini.

Maiyah tidak ikut-ikutan rebutan massa pengajian, atau mendeligitimasi posisi sakral yang terlanjur diduduki oleh beberapa orang sebagai pimpinan agamawan, kiai atau mursyid. Sayangnya ketika orang terbiasa dengan pola pikir rebutan jumlah massa, kadang dikiranya Maiyah juga ingin merebut massa. Sampai Mbah Nun tegaskan, bahwa di sini hanya orang-orang yang berkumpul dengan gembira. Saya sudah pernah dengar beberapa tahun lalu dan malam ini juga Mbah Nun mengulang berkata, “Maiyah bisa bubar sekarang juga dan tidak apa-apa!”

Entah kenapa, ada saja yang merasa Maiyah sebagai ancaman atas eksistensi golongannya. Dan itu aneh sebenarnya, karena kita sungguh punya banyak sekali tokoh sesepuh yang diwali-walikan yang salah satu cirinya adalah “laa khawfun ‘alayhim walaahum yahzanun”. Tiada kecemasan dan kekhawatiran, lha tapi kok semakin banyak manusia cemas? Sama Wahabi cemas? Sama Maiyah cemas? Negara bubar cemas? Jadi laa khawfun ‘alayhimnya beneran apa ndak nih? Atau, jangan-jangan memang ada yang salah dalam pola pendidikan kita sehingga atmosfer kewalian itu tidak pernah menjangkau para awam selain hanya mengundang decak kagum mistifikasi belaka.

Pada malam ini juga oleh Mas Helmi dipersilakan tiga orang yang sangat aktif menulis rubrik Menek Blimbing untuk membabarkan temuan-temuan mereka mengenai Maiyah. Tiga orang ini ada Mas Muhammadona, Mas Galih, dan Mas Indra Agusta. Juga Mas Karim ikut melengkapi dengan materi yang sedang beliau riset. Semuanya punya sudut pandang yang menarik. Ini bisa dibuat tulisan sendiri mengenainya. Sebenarnya saya ingin sekali menemui para penulis yang sangat saya senangi karya-karyanya di web caknun.com ini, tapi saya mengukur diri saya sendiri. Mood saya kurang baik, tubuh saya agak lelah, walau entah kenapa makin mendekati akhir acara sebenarnya makin segar juga. Pada saat seperti ini saya agak takut bisa bersikap tidak menyenangkan dan kurang ramah. Insya Allah pada situasi yang lebih kondusif.

Banyaknya golongan yang saling bertengkar dan saling rebut jumlah massa di luaran sana seolah adalah pembenaran bahwa ada dalil tentang umat muslim akan jadi 73 golongan. Bahkan ada pertanyaan, kok sekarang lebih? Padahal kita bisa memilih untuk bilang bahwa hingga sekarang sebenarnya dari 73 yang akan ada itu, belum ada lima persen yang terwujud. Selainnya hanya golongan yang tampaknya berbeda tapi masih sama lambaran kesadarannya mengenai apa itu Islam. Masih memakai metode manutan tanpa rakaat panjang pada sosok status guru hanya gurunya berbeda. Masih belum bisa mandiri membaca data-data agama dari kitab tapi kitabnya berbeda, dan masih membawa narsisme golongan hanya golongannya yang berbeda.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik