CakNun.com

Waspada Terjebak Menuhankan Pikiran

Mocopat Syafaat 17 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Tapi Mas Sabrang saat sudah hadir di panggung sangat baik sekali mengingatkan, bahwa kita juga sebaiknya jangan terlalu menuhankan pikiran. Inti dalam Maiyah adalah tauhid. Tuhan hanya Allah. Selainnya baik itu pikiran, perasaan, kenangan bersamamu (???), ormas, thoriqot, agama, madzhab, kiai, mursyid, malaikat, Muhammad Saw, negara, ideologi, keyakinan apalagi sekadar harta, jabatan dan ketenaran semua bukan tuhan.

Keluasan itu mungkin yang membuat Maiyah menjadi sangat ideal sebagai ruang publik. Nah bahasan soal ruang publik ini menjadi awal sudut pandang Mas Helmi sebagai moderator. Mas Helmi mengatakan lagi tertarik membuka kembali bacaan-bacaan mengenai ruang publik dan mendapat beberapa sambungan bahasan dengan yang terjadi di Maiyah.

Sampai sini, kita coba ambil Mas Helmi sebagai contoh dulu. Seperti yang Mbah Nun sampaikan yang saya tuangkan di reportase singkat sebelum ini, Mbah Nun menyarankan agar kita datang ke Maiyah itu sudah punya materi pencarian ilmu sendiri. Nah di sini Mas Helmi jadi contoh yang baik buat kita, bukan? Pertanyaanya, kita sendiri sebenarnya sedang mempelajari apa, bidang apa serta mencari apa ketika ke Maiyah? Supaya kita tidak melulu jadi massa pengajian yang bermanja ria, ingin dikasih ilmu tapi minim pemaknaan. Supaya peradaban tidak mandek prosesnya.

Sebab, sejak kita diperkenalkan metode pengajian, umat Islam terutama di Nusantara ini agak kurang punya capaian dalam keilmuan. Produk-produknya baik kitab maupun tuturan para agamawan rasanya tidak jauh dari repetisi bacaan berbad-abad lampau. Tasawuf formal, nasihat-nasihat pertapaan, semedi spiritual-spiritualan, konsep menyatu-nyatu dengan tuhan mungkin agak laris pada masyarakat kita. Kenapa? Karena tidak begitu menantang pikiran sepertinya. Nah Maiyah ini agak ada tantangan untuk pikiran tapi juga tidak menuhankan pikiran. Maiyah memang untuk manusia yang suka tantangan dengan ring tarung seluas peradaban.

Karena sedang sering membaca kembali teori-teori ruang publik, dan setidaknya dua kali pula Mas Helmi tuangkan ke dalam tulisan di web caknun.com, maka bahasan bermula dari sini dan entah kenapa atmosfer itu membawa ke arah sana.

Dari apa yang dibaca oleh Mas Helmi, ruang publik kata dasarnya adalah publik itu sendiri, bukan negara. Maka dia bermula dari obrolan-obrolan ringan, ngecuprus tentang apa saja. Ini dikaitkan oleh Mas Helmi dengan tiga lapis orang Maiyah seperti yang dituangkan dalam reportase singkat. Pada tiga lapis itu, orang Maiyah sering hadir atau bahkan menciptakan ruang publik di mana orang bisa nyaman berbicara apa saja. Dan itu, dia bermuara pada majelis-majelis di Maiyah. Di Maiyah kita bebas membawa bahan ilmu macam-macam dan menaruhnya, meletakkannya atau menampilkannya, mengujinya dan boleh memperdebatkannya sesekali. Berdebat itu tidak tabu, berdebat untuk latihan mempertahankan pendapat juga perlu, sayangnya sekarang kata perdebatan menjadi agak najis karena sering sekali orang melihat perdebatan yang tidak bermutu.

Kebetulan saya juga pernah membaca sedikit di buku Richard Weiner yang berjudul Geography of Genius. Weiner mencoba memetakan apa dan bagaimana kebudayaan-kebudayaan melahirkan kejeniusannya dengan tolok ukur masing-masing. Pada bab awal Weiner menulis tentang Yunani dan berkesimpulan bahwa capaian peradaban Yunani, yang menjadi pijakan modernitas kita sekarang ini adalah bermula karena mereka orang yang suka ngobrol. Ngobrol di taman, di warung-warung kopi, di teras, di mana-mana orang Yunani suka ngobrol tentang apa saja. Obrolan-orbrolan yang tidak diatur, tidak diseragamkan, minim dari intervensi kekuasaan itu melahirkan ide-ide bersama, ide kolektif. Perihal nanti siapa yang menjadikannya produk dalam tulisan atau karya lain, itu teknis saja. Buku Weiner ini bagus juga kalau pembaca yang budiman suka tulisan ringan. Tambahan aja, ini buku lanjutan dari riset Weiner dalam buku Geography of Bliss, yang tentang peta kebahagiaan budaya-budaya di dunia.

Ruang publik yang dibangun di Maiyah memang menjadi seperti cikal-bakal awal demokrasi dan segala aliran filsafat itu lahir. Wah, apakah kita mundur ke masa lalu? Tentu bukan begitu, kita tetap bergerak seiring zaman tapi kita mensucikan diri dari najis-najis simbol yang terlalu padat yang melekat. Di Maiyah, hal ini masih bisa terjadi. Mengomentari hal itu, Pak Toto juga menambahkan bahwa yang paling selamat dalam ruang-ruang publik itu ya orang seperti Pak Mustofa W Hasyim yang baru saja membacakan puisi. Menurut Pak Toto, selamatnya Pak Mustofa itu karena, “Ora iso disalahke wong paham wae ora.” Tentu saja mekar tawa di mana-mana. Sesekali, coba perhatikan tawa yang muncul di Maiyahan. Saya coba amati, terasa ada yang berbeda tawa itu, ada kesan yang lebih lepas tapi mungkin bukan itu saja. Entah apa, tapi tawa di Maiyah itu menyenangkan sekali.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak