CakNun.com

Untuk Apa dan Siapa Pendidikan Diselenggarakan?

Liputan Sinau Baren CNKK dalam Rangka Milad ke-29 SMK Al-Huda Kediri, 18 Agustus 2018
Redaksi
Waktu baca ± 4 menit

Secara normatif, sebuah lembaga pendidikan didirikan dengan maksud turut serta mencerdaskan kehidupan berbangsa. Namun, pada sejarah dan praktiknya kini, tatkala iklim kompetisi dihembuskan dan diketahui bahwa ternyata pendidikan menggiurkan pula sebagai lahan bisnis, visi normatif itu bisa saja tinggal kata-kata saja. Bahkan mungkin saja banyak yang sudah lupa. Carilah sendiri atmosfernya di dunia pendidikan kita dalam dua puluh tahun terakhir ini.

Maka oleh karena itu, kehadiran seseorang yang mengingatkan lagi akan visi normatif pendidikan itu sangat diperlukan. Itulah yang semalam berlangsung dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam rangka Milad ke-29 SMK Al-Huda Kediri di Tirtayasa Park Kediri. Dalam caranya yang khas dan sederhana, Mbah Nun membawa seluruh hadirin khususnya civitas akademika SMK Al-Huda kepada hal-hal mendasar pendidikan.

Begini Mbah Nun melontarkan pertanyaan, “Sekolah itu dibikin tujuannya untuk guru, murid, yayasan atau siapa?”

Jawaban bermunculan, “Untuk guru.” “Untuk diknas.”

Dikejar lagi sama Mbah Nun, “Kenapa kok Diknas?”

Kemudian terdengar jawaban lagi untuk pertanyaan awal, “Untuk murid.”

“Jadi untuk murid?,” Mbah Nun coba meyakinkan.

“Iya Cak.”

Lalu Mbah Nun menarik penegasan, “Jadi semua guru dan yayasan itu mengabdi untuk kepentingan murid. Lha terus kalau ada guru yang menegaskan bahwa murid semua harus lulus itu bagaimana? Terus murid-murid dikasih kunci jawaban untuk menjawab soal ujian. Menurutmu piye?”

“Nyilakkakne (mencelakakan) murid Cak.”

“Kenapa kok nyilakkakne murid?”

“Karena mengajak tidak jujur,” jawab salah seorang siswa.

“SMK Al-Huda jangan niru koyo ngono, ora meteng di teng-tengno (tidak berbuah dibuah-buahkan) akhirnya itu hanya mencari nama baik dengan cara tidak baik,” tegas Mbah Nun.

Dialog bersama para siswa dan para generasi muda tentang pendidikan itu mengalir sampai jauh. Dan, sebenarnya satu pertanyaan perdana ini saja sebenarnya sudah cukup menjadi reminder bagi para pengelola pendidikan, termasuk SMK Al-Huda yang memiliki siswa lebih dari 3500 ini. Tetapi karena soal-soal menohok seperti ini dibawakan Mbah Nun dalam cara yang adem non-orasi berapi-api, pertanyaan itu berlanjut dalam bingkai yang jauh, sampai soal memahami dunia dan akhirat, sifat ilmu, tujuan dan cara, letak pendidikan dalam perspektif “skala lari sprint atau maraton dalam kehidupan”, bahkan sampai ke soal perbedaan antara fuqaha dan ulama, yakni Mbah Nun bertanya apa perbedaan antara fuqaha dan ulama.

Belum saya ketahui persis apakah dalam satu abad terakhir ini pertanyaan semacam itu pernah muncul. Yang selama ini berlangsung, kebanyakan kita mengidentikkan fuqaha dengan ulama atau bahwa kalau disebut ulama yang terbayang dalam benak kita adalah ahli hukum Islam atau fuqaha itu sendiri. Bahkan kajian-kajian sejarah di Indonesia yang dilakukan oleh sarjana, misalnya dalam buku klasik Islam di Asia Tenggara: Perspektif Sejarah (1989), hampir semuanya ketika menyebut ulama merujuk kepada ahli hukum Islam yang telah lama mengenyam pendidikan di Pondok Pesantren atau lembaga-lembaga pendidikan di Timur Tengah.

Sesekali perlu dilakukan refresh. “Sekarang saya tanya apa bedanya ulama lan fuqaha?,” lontar Mbah Nun.

Jamaah bersahutan memberikan jawaban beragam atas pertanyaan tersebut. Ada yang menjawab ahli agama Islam. Yang ini mah yang dimaksud dengan fuqaha. Sehingga Mbah Nun bertanya lagi, “Lalu ulama itu ahli apa? Kuliah di fakultas ekonomi ngerti ekonomi, fakultas syariah ngerti syariah atau hukum. Kalau ulama itu fakultas apa?”

Setelah sedikit bikin mikir dan belum mengerucut kepada arah yang dibayangkan Mbah Nun, akhirnya saatnya disampaikan jawaban yang dimaksud. “Ulama itu kudu ngerti sembarang kalir, iso disambati wong akeh.” (Ulama itu mesti mengerti banyak hal, sehingga bisa dimintai tolong banyak orang).

Pengertian ini sebenarnya bukan untuk ngeyel kepada pemahaman umum yang telah berlaku, tetapi pada ujungnya nanti pengertian ini berfungsi menjembatani ketidakmungkinan memahami hadits yang mengatakan al-ulama waratsatul anbiya (ulama adalah pewaris para Nabi) dengan mengartikan ulama di situ sebagai ahli agama atau ahli hukum Islam. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad mewariskan ilmu di mana ilmu yang dimaksud itu baru diformulasikan pada abad ke-2 Hijriah, dua abad sesudah Nabi meninggal dunia. Jalan menuju pemahaman akan makna yang lebih utuh mengenai ulama sedikit dibukakan dalam Sinau Bareng dan bisa menjadi bekal buat pemikiran lebih lanjut.

Sekarang mungkin kita perlu menyimak penuturan mengenai mengapa Milad ke-29 SMK Al-Huda ini menghadirkan Mbah Nun dan KiaiKanjeng. Untuk ini Pak Muhadjir, ketua umum yayasan, menyampaikan, “Alhamdulillah sampai sekarang Al-Huda mengelola 3600 siswa. Otomatis sarana dan prasarana yang dibutuhkan sekolah itu banyak sekali. Oleh karena itu manajemen sangat penting. Sekolah bisa bangkrut kalau tidak dikelola dengan baik. Dan ini nanti Cak Nun biar memberikan sesuatu yang bisa membuat lebih baik Al-Huda karena Al-Huda adalah milik masyarakat.”

Permohonan itu direspons oleh Mbah Nun dengan salah satunya menegaskan bahwa barangkali kita tak bisa menciptakan arus zaman tapi kita mengikuti zaman. Dan dalam mengikuti alur zaman yang terpenting dibangun adalah akidah dan akhlaq manusia. Adapun keterampilan itu pendukung kehidupan. Jadi, dua hal itu hendaknya dijaga dengan benar-benar.

Seraya menghadirkan berbagai nomor musik KiaiKanjeng, suasana dialog dan obrolan menimba ilmu berlangsung hingga akhir. Bahkan buat melengkapi perspektif dalam melihat jenis sekolah seperti SMK, Mbah Nun melemparkan pertanyaan penggalian: apa beda SMK dengan SMA dan dengan Madrasah Aliyah.

Satu hal juga yang sangat terasa, bahwa Sinau Bareng semalam itu sendiri juga sebuah contoh “pendidikan” yang berpijak pada tujuan menggali potensi siswa, murid, atau peserta didik. Merekalah yang diutamakan. Mereka harus mendapatkan kesempatan untuk berani aktif bertanya, berpikir, berpartisipasi, dan merespons. Merekalah memang yang diolah Mbah Nun tadi malam. (Helmi Mustofa)

Lainnya

Topik