Tumorek! Torek?
Tumorék secara etimologi adalah salah satu “kala” waktu dalam peristilahan Sunda. Dalam bahasa Sunda, waktu biasa disebut dengan “wanci”. Kata tumorék sendiri menandakan waktu pukul 01.00 dinihari. Dalam dictionary atau definisi berdasarkan kamus Sunda popular maupun kamus Sunda Kuno, arti penandaan waktu 01.00 (tumorék) ini sangat dekat dengan kata torék yang mengandung arti “tidak mendengar apa-apa”. Hal tersebut kemungkinan besar ada ketersambungan, baik menurut arti kata atau definisi, juga filosofi. Awal penanda waktu sama dengan awal penanda kehidupan! Begitulah anasir awal mengapa tumorék.
Awal jalan kehidupan, awal waktu, awal dari segala awal adalah sunyi dan sepi. Sunyi bukanlah bunyi yang sembunyi seperti apa kata Guru Filsafat yang mabuk akan logikanya sendiri. Tentu sunyi adalah tanpa bunyi. Bagaimana mungkin bunyi bisa tersembunyi, dalam keadaan waktu hening. Bunyi yang tersembunyi akan tetap terdengar, meskipun menggunakan hati.
Maka jalan sunyi ialah jalan tanpa bunyi. Jika sunyi dianalogikan dengan akal, maka bunyi adalah pikirannya. Dari sunyilah (akal) maka bunyi hadir sebagai antitesa sunyi artinya penegasian sunyi akhirnya lahir bunyi, ini sama dengan karena akal maka lahir sebuah pemikiran.
Ideologi itu berisik. Artinya bunyinya nyaring. Ia mengerang, ia berteriak, ia congkak berucap keras bahwa saya (ideologi) adalah hal ihwal kebenaran untuk sebuah keilmiahan. Bukankah begitu? Berisik bunyi ideologi merongrong terus dalam isi kepala untuk menemukan kebenaran.
Mari kita merenung sejenak, konsep berpikir jernih apakah dengan kondisi yang berisik? Pertanyaannya kemudian, ada apa sebenarnya di ruang sunyi? Apa yang ditawarkan dengan kondisi tanpa bunyi? Apa itu keheningan? Apa itu diam dan tidak mendengar apa-apa? Dan pernahkah kita menemukan pemikiran di ruang sunyi?
Jika kita menggunakan teori kausalitas, berbicara konsep sebab pasti ada penyebabnya. Bicara asap pasti ada api. Itukah hukum tetap dialektis Hegel jika berbicara sebab sunyi maka penyebabnya bunyi? Tentu tidak sesederhana itu. Namun analisis dialektisnya akan kita gunakan jika bunyi adalah antitesa dari sunyi.
Kembali ke pertanyaan ada apa sebenarnya di ruang sunyi? Jawabannya mungkin seperti ini: “ulah nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang, nu caket gera raketan, nu deukeut gera deuheusan, moal jauh tina wujud, moal anggang tina awak, aya naon jeung aya saha? Tina diri sorangan, cirina satangtung diri”. Jalan sunyi adalah eksistensialisme antroposentris. Inti mencari diri sendiri, mengenali diri sendiri adalah tidak mendengar apa-apa. Dan clue mendapatkan itu diberikan oleh konsep wanci Sunda ketika kita tidak mendengar apa-apa.
Tidak mendengar apa-apa dalam istilah Sunda disebut ‘torek‘ (Tuli). Apa yang semestinya kita dengar dan apa yang sebaiknya untuk tidak didengar? Di manakah letak suara tanpa bunyi itu? Kesunyian yang bagaimana yang menulikan dan tak menulikan?
Tumorék akhirnya menjadi sebuah simbol dari pencarian diri, dan torek menjadi anomali dalam pencarian diri. Mari kita temukan kemungkinan kemungkinan lain dalam memperluas cakrawala di lingkaran kebersamaan kita semua.