Tuhan, Doktrin, dan Rasa
Rumusan atau formulasi mengenai Tuhan (sifat-sifat, af’al, peran-Nya) sangat banyak. Sebagian besar telah menjadi doktrin yang tertanam kuat dan mengakar. Melintasi abad demi abad, menghuni rentang panjang peradaban umat Islam. Ada Mu’tazilah, Murji’ah, Jabbariyah, Asy’ariyah, dan lain-lainnya. Para mahasiswa Ushuluddin sudah hafal nglothok di dalam (bukan di luar) kepala ihwal aliran-aliran kalam ini.
Dalam Sinau Bareng di Pabrik Gula Keboagung Malang 20 April 2018 silam, seorang mahasiswa universitas Islam bertanya dengan penuh penasaran dan sepertinya terkandung gelisah-gelisah tertentu di dalam batinnya: siapa yang menemukan atau merumuskan sifat wajib Allah sebanyak 20, sifat mustahil 20, dan sifat jaiz 1. Anda bisa cari jawab atas pertanyaan itu dengan mudah. Tetapi yang saya merekam adalah kegelisahan remaja penanya itu. Walaupun dia tidak mengutarakannya dengan detail kegundahannya.
Apa relevansi kegelisahan dia? Ialah dari situ lahir pertanyaan lebih lanjut: apakah formulasi-formulasi doktriner itu tidak sampai ke hati orang dan tidak memumbuhkan rasa, rasa mendekat kepada Tuhan? Formulasi-formulasi itu kalau ditelaah memang adalah konstruksi-konstruksi rasional yang dibangun para ulama atau filosof muslim kala itu. Dan karenanya semua penggambaran tentang sifat Tuhan bisa dikatakan sangatlah rasional dan akademik. Dan karena itukah sehingga terasa kering, datar, dan nggak nembus ke hati, termasuk hati si penanya itu?
Segera saya antisipasi dulu sebelum antum menginterupsi, bahwa ini tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan antara rasio dan rasa. Tapi emang bila dibaca lebih jauh, aliran-aliran itu seakan seperti “adu” paling argumentatif, solid, dan logis dalam mempersepsikan Tuhan. Lebih-lebih, jikalau kita mengingat bahwa dalam sejarah terbentuk atau berjalannya aliran-aliran itu terdapat kepentingan-kepentingan kuasa yang menumpanginya. Misal penguasa yang ingin mendominankan salah satu aliran. Sekaligus ia sendiri ingin mendapatkan legitimasi dan otoritas keagamaan sekaligus.
Konon, juga ada konteks bahwa lahirnya pemikiran teologis yang tergambar di dalam aliran-aliran itu, di samping sebagai wujud dinamika intelektual dalam peradaban Islam, juga untuk sebagian didorong oleh pertanyaan beruntun yang datang dari filosof non-muslim menyangkut akidah atau doktrin Islam. Dan untuk itu, para ulama menyusun jawaban yang sebisa mungkin logis terhadap pertanyaan tersebut melalui makin kukuhnya aliran-aliran teologis.
Kepikir-kepikir juga kalau direnungkan dari jarak di sini, di era kini, bukankah sejauh-jauh rasio manusia mampu merumuskan, sesungguhnya Tuhan sendiri tak pernah mampu dijangkau oleh rasio manusia. Bukan mengecilkan arti rasio, tapi buat menyadari terbatasnya rasio kita kalau sudah berhubungan dengan obsesi untuk memformulasikan Tuhan. Rasa mungkin masih ada mendingnya. Sekurang-kurangnya menurut pendapat para Sufi, Allah yang Maha Agung dan tak terjangkau oleh rasio, justru bisa dirasakan oleh hati, oleh kesadaran. Tidak usah juga kita perdebatkan tentang hati ini.
Sekurang-kurangnya buat keseimbangan atas dominannya rasio dan filsafat dalam doktrin-doktrin keagamaan, sisi rasa ini perlu diberi tempat dan perhatian secara sepadan. Nah, Mbah Nun punya cukup banyak formulasi rasa dalam hal ini. Contoh yang paling jelas puisi-puisi Beliau. Hampir merata dalam puisi-puisi Mbah Nun bertuhan itu muncul kuat rasanya. Bacalah misalnya 99 Untuk Tuhanku atau Syair Asmaul Husna. Bahkan puisi-puisi yang ditulis pada tahun 70-an meski tanpa tendensi atau bisa diletakkan sebagai bermaksud puisi “sufistik”, rasa itu, kebertuhanan itu, senantiasa mendesiri setiap kali kita membacanya.
Nah ini, ada sebuah buku lama berjudul Suluk Pesisiran: 10 Suluk dari Lor7375 diterbitkan oleh Mizan Bandung pada 1989. Bukunya kecil dan tipis, dan isinya adalah terjemahan dari 10 suluk Cirebonan di mana ketua tim peneliti dan penerjemahannya adalah almarhum Dr. Simuh. Pada mulanya berbahasa Jawa dan berhuruf Arab Pegon. Naskah suluk Cirebonan ini sebenarnya adalah bait-bait yang menyajikan ungkapan-ungkapan mistikal yang bernuansa Manunggaling-Kawula Gusti. Boleh dicatat, bahwa gagasan-gagasan yang dikandung dalam corak pemikiran sufistik dalam suluk-suluk yang dominan dalam Islam-Jawa kala itu juga adalah sebuah formulasi mengenai hubungan manusia dan Tuhan.
Setelah selesai diterjemahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, tim meminta Mbah Nun untuk memputisasikannya. Lho kok dipuitisasikan? Tentu saya tidak tahu persis alasannya. Namun kalau bicara dalam rasa ini tadi, tampaknya puitisasi itu dilakukan agar pengetahuan dan formulasi ketuhanan itu tidak kering. Agar narasi dan wawasan ketuhanan itu indah dirasakan, dan bisa masuk ke dalam hati, tidak hanya masuk di pikiran. Menurut saya, Mbah Nun berhasil melakukan itu. Sekurang-kurangnya, teks suluk tersebut menjadi bait-bait puisi yang indah.
Buku Suluk Pesisiran yang saya pegang ini sendiri sudah merupakan cetakan kelima pada 1995, yang artinya laris diserap pembaca yang ingin turut me-rasa. Akhirnya, kalau ada waktu luang, sudah tidak mentelengi lagi hastag #2019ganti ini ganti itu, bolehlah teman-temam membacanya. Termasuk Mas yang bertanya di Malang tadi. Carilah bukunya di perpus-perpus daerah atau kota, atau kalau Ayah atau Pakdemu punya syukurlah.
Yogyakarta, 5 Juli 2018