Tombo Ati Merambah Bak Truk
Almarhum Pak Kuntowijoyo, salah seorang cendekiawan muslim yang dihormati dan ditemani Cak Nun pada masa-masa sakitnya dengan dzikir Ya Kholiq Ya Baari’ Ya Mushawwir, menyebut di dalam bukunya, Muslim Tanpa Masjid, “dan dalam kesenian Emha Ainun Nadjib menunjukkan bahwa Islam itu universal.”
Selanjutnya ini secuil cerita. Diriwayatkan oleh Pak Bobiet dari Ayahnya. Bercerita sang Ayah bahwa pada waktu Cak Nun mengangkat lagu Tombo Ati itu, kemudian terdapatlah sebuah kelompok musik campursari di kecamatan Godean yang hadir dengan sebut saja genre musik religi dan menamakan diri dengan musik campursari Tombo Ati.
Grup ini kerap diundang mengisi pengajian-pengajian di kampung-kampung atau kelurahan dan kecamatan sekitar. Yang punya grup ini adalah salah seorang mantan Kaplosek Kecamatan Godean Yogyakarta. Ayah Pak Bobiet kenal baik dengan pemilik grup yang nama grupnya aneh untuk ukuran saat itu dan ukuran nama-nama grup musik campursari pada umumnya.
Penasaran dengan nama Tombo Ati tersebut, Ayahnya Pak Bobiet bertanya kepada Pak Mantan Kapolsek,”Kok dijenengi Tombo Ati ki piye ceritane?” “Iki lho Pak ono kaset apik. Ono lagu Tombo Atine. Sing nyanyi Emha Ainun Nadjib Cak Nun,” Ia menceritakan penuh semangat. Saking senangnya dengan lantunan Cak Nun pada Tombo Ati itu, Ia mengabadikan Tombo Ati sebagai nama kelompok musiknya. Nah ini pertanyaan makjleb-nya,”Sampeyan ngerti ra sopo sing nggawe utowo ngaransemen musike neng Album Kado Muhammad kuwi?” “Sopo?” “Lha kae, anakku Bobiet” “Woh iya thoo…”
Kelanjutan dialognya kita skip untuk keperluan keringkasan (hehe). Kita teruskan ke selanjutnya yang lain lagi. Ialah Tombo Ati tidak hanya membedai dunia musik yang kala itu sudah sangat kuat dengan beragam jenis aliran, tetapi bahkan sampai mewarnai visual bak-bak truk, bahkan mobil pribadi dan bus-bus atau angkutan umum.
Saat itu tidak sedikit truk-truk yang di bak belakangnya tertulis besar “Tombo Ati”. Juga pada kaca depan atau belakang bus-bus umum di daerah-daerah. Bisa disimulasikan bahwa para pemilik truk atau mobil itu mestinya memiliki kaset Kado Muhammad. Sebagai catatan, dalam dua bulan saja album ini sudah terserap dua puluh lima ribu eksemplar dalam waktu kurang dari dua bulan. Atau kalau belum sempat beli, sekurang-kurangnya para pemilik truk itu sudah sering mendengarkan lantunan Tombo Ati Cak Nun itu seperti anak-anak kos rembol zaman old yang saya ceritakan tempo hari.
Orang-orang yang kebetulan sedang berada di jalan dan membaca tulisan Tombo Ati di belakang truk itu kiranya mendapatkan rasa berbeda dengan tatkala memandang tulisan umumnya seperti: “Pangling Rupane Ora Pangling Rasane”, “Musuh Terberat Adalah Cocotnya Tetangga”, ”Pulang Malu Gak Pulang Rindu”, “Kembang Desa Layu di Kota”, yang meskipun itu juga sebuah suara “liyan” dari rakyat atau masyarakat grass root layak didengar. Tetapi impresi dan muatan yang mencuat tentunya beda. Bukan sekadar senyum karena merasakan lucu atau merasakan terwakili. Dan, kalau sebuah lagu bisa merambah mancanegara itu prestasi tapi mungkin biasa, tetapi kalau bisa menelusup ke jiwa-jiwa banyak lapisan orang dan terekspresikan hingga ke bak-bak truk itu sangatlah unik dan membekas di hati.
Selanjutnya lagi. Sampai beberapa tahun berikutnya, setiap kali Cak Nun dan KiaiKanjeng pengajian di mana saja, bahkan jauh setelah tak lagi digunakannya brand pengajian Tombo Ati, kalau audiens ditanya mau lagu apa, atau bahkan kadang belum ditanya, serempak mereka bilang, “Tombo Ati.” Ini berlangsung di desa-desa, di kalangan santri maupun nonsantri, maupun di kota-kota, bahkan kadangkala di depan orang-orang kelas menengah ke atas.
Tak jarang pula pengajian belum direalisasi, artinya masih dalam tahap komunikasi dengan sekretariat, jauh-jauh hari panitia atawa penyelanggara sudah request, “Nanti Cak Nun jangan lupa bawain Tombo Ati ya!” “Mas, teman-teman di sini request Tombo Ati.” Terasa semua itu berkat lantunan Tombo Ati Cak Nun sangat membekas di hati-hati mereka. Di hati orang-orang banyak dari berbagai kalangan dan lintas latas belakang. Mereka ingin mendengar langsung suara Cak Nun.
Maka sekarang saatnya kita kembali ke pernyataan Pak Kunto satu dua scroll ke atas, rasanya tak sulit buat kita membenarkannya dengan melihat fenomena perjalanan dan diperjalankannya Album Kado Muhammad ini. Tidak hanya universal esensi muatan yang dikandungnya, tapi juga ragam segmen penerima, peresap, dan penikmatnya, serta pemeroleh inspirasi darinya.
Yogyakarta, 13 Februari 2018