Tidak, Tradisi Tidak Pensiun dan Jibril Masih Mengibar-Kabarkan Tauhid
Jawaban Mbah Nun buat saya sangat membekas, “Sekarang ini banyak yang disebut majelis ta’lim tapi isinya orang disuruh dengerin ceramah.” Padahal ta’lim bukan dengarkan dan diam. Kalau cuma duduk-dengar-diam, itu bisa kita sebut “majlis setor kuping ngarep auto-barokah”. Lha enak saja.
Menuntut ilmu adalah manusia aktif mendayagunakan sumber daya akal dan batinnya menuju keilmuan. Mbah Nun mengklarifikasi dulu, bahwa Maiyah bukanlah berdasarkan ide, konsep dan teori. Lahir dan berkembangnya Maiyah sangat tidak berada pada kontrol dan pengawasan manusia.
Ini menyambung pada pertanyaan kedua, bahwa seperti judul buku Mbah Nun beberapa tahun lalu, “Tidak, Jibril Tidak Pensiun”, Mbah Nun mengutarakan bahwa apa yang diturunkan oleh Allah itu seperti hujan sinyal. Turun terus hanya tingkat adaptasi, dan kemampuan resonansi manusia pada hujan sinyal itu yang menentukan seberapa jangkep penangkapannya. Taraf manusia pilihan terutama Muhammad Saw, seperti super computer yang sudah futuristik, sehingga dia bisa menangkap sinyal yang turun itu sangat komplet. Tapi juga beliau Nabi Muhammad Saw memiliki rem-rem batin berlapis sehingga bisa menyaring produk dalam kata-kata dan perbuatannya.
Nanti di bawah-bawah ada taraf manusia lain yang sekadar bisa menangkap hujan sinyal itu pada bungkus paketan “ilham” atau “karomah” bagi para wali. Maka yang perlu dilakukan oleh manusia adalah meningkatkan kapasitas dirinya agar bisa menangkap hujan sinyalnya Allah tersebut. Istilah hujan sinyal saya bikin-bikin saja sekenanya, moga-moga pesannya tersampaikan. “Anda baca Al-Qur`an, bukankah disebut bahwa lebah itu sendiri juga diberikan wahyu? Lebah kan ada terus, jadi Jibril tidak pensiun.”
Lebah dan semut dalam banyak bahasan sering disebut sebagai gambaran masyarakat komunal. Apakah itu berarti, dalam komunalitas juga terdapat peningkatan dan percepatan atas daya tangkap wahyu? Apakah itu juga menyambung pada pertanyaan awal, jangan-jangan ini kenapa ide kreatif komunal sering lebih bernapas panjang, mentradisi, terserap, kadang tidak begitu benar secara kognitif dan data akademis kandungan kontennya tapi substansinya dapat dipahami. Sedikit-sedikit beberapa penelaahan saya mengenai dari mana tradisi berasal mulai membuka.
Tiga orang Mas-Mas tadi yang mengibar-ngibarkan bendera menggulung benderanya dan meninggalkan lokasi Sinau Bareng ketika menjelang akhir. Beberapa pasang mata sedulur-sedulur Maiyah saya tahu mengawasi, bukan mengancam. Mereka justru mengawasi agar tiga orang itu aman sampai ke parkiran dan semoga juga aman sampai tujuan.
Rasa aman lahir dari iman, rasa aman adalah syarat komunalitas. Komunalitas meningkatkan daya tangkap sinyal wahyu, karya kolektif komunal menjadi tradisi. Anda merasa aman, karena kalau ada yang mengibarkan bendera apapun Anda tidak merasa terganggu, tidak lantas auto masuk ormas tertentu, tidak juga auto menolak. Anda juga mestinya bisa merasa aman tidak perlu kibar kebas-kebas bendera pada tempat yang tidak tepat. Untungnya di berbagai majelis Maiyah semua hal bisa ditampung.
Aman dan iman, dialektika itu yang hilang pada manusia modern hingga komunalitas terkikis, yang ada manusia mempertahankan militansi kosong belaka. Tak ada perang ideologi dalam masyarakat komunal karena semua potensi memiliki keberfungsiannya sendiri-sendiri. Jibril tidak pensiun dan tradisi masih tercipta terus dalam komunalitas Sinau Bareng.