CakNun.com

Tidak, Tradisi Tidak Pensiun dan Jibril Masih Mengibar-Kabarkan Tauhid

Reportase Sinau Bareng CNKK dalam Rangka 70 Tahun Desa Sariharjo, 1 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Tradisi Adalah Karya Komunal

Sampai pada paragraf ini, pembaca yang budiman mungkin sudah bertanya-tanya di mana letak kreasi tradisi yang saya sampaikan di awal tulisan? Nah ini terjadi manakala dua orang redaktur dadakan menyampaikan bait-bait yang mereka ciptakan. Bai-bait itu kemudian disepakati nadanya, ditunjukkan pada para hadirin serta Pak Lurah Sariharjo. Kalimat-kalimatnya berisi harapan akan kondisi desa yang ideal mendekati utopis, tapi tak apa dong. Orang harus punya gambaran idealitas, kalau tidak kita cuma nihilis tanpa makna.

Bait-bait itu kemudian diberi nada, dilagukan secara spontan, dan diikuti oleh para hadirin yang langsung ngeklik sama lirik dan nadanya. Ini namanya tradisi, tradisi tercipta sebagai satu kreasi kolektif. Mbah Nun melempar tanya, “Siapa pencipta lagu ini? Ini adalah ciptaan seluruh warga desa Sariharjo!” dan warga yang hadir menyambut gembira. Pak Lurah tak bisa menyembunyikan antusiasmenya menyanyikan lagu itu walau di dalamnya justru ada embanan amanat pada dirinya. Tapi begitulah, tradisi tercipta.

Kalau kita kembali bertanya, kenapa sekarang jarang sekali tradisi tercipta? Karena manusia kehilangan komunalitas! Sebab tak ada karya bersama yang lahir dari semangat, penggalian dan kegelisahan yang dialami bersama sebagai satu masyarakat. Lagu yang diciptakan bersama-sama ini, mudah saja kita bayangkan akan menjadi lagu kebanggaan warga desa Sariharjo.

Selama masuk era modern, kita terbiasa dengan karya individual. Satu orang seniman menciptakan, orang lain disuruh menikmati saja. Tidak demikian posisi kesenimanan dalam masyarakat desa (seluruh desa, lagu-lagu tradisional desa Eropa, Skandinavia juga begini pun Arab tradisional). Dalam masyarakat komunal semua adalah karya bersama, kalaupun ada yang bersikap menuntun teknisnya, itu karena dia pada posisi ke-Mpu-an. Artinya dia pada kelas yang cukup selo, ndak perlu ngoyo kerja cari makan sehingga banyak waktu luang untuk menyempurnakan permenungan dan estetika. Bisa kita katakan, posisi ke-Mpu-an ini ditugaskan pada sepasang pemuda redaktur dadakan tadi.

Ukurannya roso. Satu karya itu diterima atau tidak adalah kalau dia ngeklik dengan kondisi batin yang komunal. Sebenarnya, pertikaian antara pelestari tradisi vs anti tradisi, tidak relevan sekarang ini karena pertanyaan dan tantangannya bukan itu. Melestarikan bisa menjebak kita pada romantisme masa lalu, gagal move-on sejarah. Sedangkan anti tradisi membuat kita bebal hilang jejak sejarah. Pertanyaan utamanya, ke manakah komunalitas kita terbuang selama ini? Entah ke mana. Tapi Sinau Bareng adalah usaha mengembalikan komunalitas yang lama hilang itu. Tradisi tidak pensiun, kalau kita masih mau memilih untuk komunal bukan jadi massa golongan belaka.

Maulana Jibril Masih Menebar Sinyal, Tingkatkan Kapasitas Diri

Seni di era modern, di mana ada si penciptanya, ada hal milik karyanya dan sebagainya (tentu itu juga perlu dihargai) membuat manusia manja. Inginnya pencipta karya menciptakan dan dia tinggal menikmati. Fenomena yang sama dalam keagamaan dan pendidikan, di mana kita terbiasa dengan sosok penutur, penceramah, pengajar bukan penuntun dan pendidik. Ada bedanya penuntun dan penutur, jauh sekali bedanya.

Penutur berarti kita masih hidup pada kesadaran shaman di mana ada penyambung lidah tuhan dengan manusia awam yang tidak berhak menjangkau firman-Nya. Itu ratusan bahkan ribuan tahun sebelum Islam, diperbaiki oleh Muhammad Saw selama masa kenabian, dan setelah beliau mangkat secara ragawi, manusia kembali menempuh kebodohan yang sama seperti ribuan tahun sebelumnya. Mengangkat tokoh-tokoh keramat kembali, kultus-kultus dan pemanjaan jamaah menjadi massa.

Itulah Ibu pemilik pondok pesantren yang lokasinya tidak jauh dari tempat Sinau Bareng malam ini bertanya pada Mbah Nun dua hal di akhir acara. Pertama teori dan konsep apa yang digunakan Mbah Nun hingga bisa membuat Maiyah yang itu menyatukan semua golongan orang? Sementara bagi ibu Nyai, bikin majelis ta’lim satu kacamatan saja susahnya minta ampun karena beda pemahaman, tafsir, ideologi dan macam-macam. Pertanyaan kedua, adalah mengenai apa kerjaan malaikat Jibril setelah wahyu tidak lagi turun karena Nabi Muhammad Saw sudah tidak ada secara fisik?

Lainnya

Topik