CakNun.com

Tidak, Tradisi Tidak Pensiun dan Jibril Masih Mengibar-Kabarkan Tauhid

Reportase Sinau Bareng CNKK dalam Rangka 70 Tahun Desa Sariharjo, 1 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 12 menit

Pernah di satu majelis shalawatan yang cukup hits di Yogya ini, saya marah sekali sama seorang pemuda yang begitu bersemangat mengayun-ayunkan bendera hingga menjedot kepala saya. Saya mau bentak, saya cekal benderanya pas saya perhatikan anaknya masih muda belia dan bendera itu ya Allah… Bendera Slank(!). Kayak ndak tahu orang Indonesia saja, apapun konsernya bendera Slank sama bendera OI yang dikibarkan.

Buat saya ketika kita meributkan persoalan bendera itu yang memiriskan hal-hal begini, sejak kapan sih kita dramatis amat sama bendera? Sholawatan bawa bendera Slank, konser band Ungu bawa bendera Anarcho, itu hal yang selalu saya jumpai. Orang kita sama bendera itu aslinya bodo amat apa isinya, cuma butuh kibarannya bukan simbolnya. Tapi saya juga tidak membenarkan ada orang yang mengibarkan bendera tertentu yang bukan kumpulannya di era orang semakin menjadi massa dan mendangkal akal.

Tapi di Sinau Bareng kita tidak jadi massa. Saya perhatikan apakah ada hadirin yang terganggu dengan pengibaran bendera tersebut? Secara teknis tidak mengganggu, karena tidak seperti bendera Slank yang pernah saya sentak di satu majelis shalawatan. Bendera yang dikibarkan–berwarna hitam dengan kalimat Arab di tengah–tangkainya kecil saja, jadi ndak mungkin menjendut kepala orang. Memang beberapa orang memperhatikan. Tapi seperti juga saya, mereka tampak lebih cemas wal celingak-celinguk. Ini yang mengibarkan bendera malah merasa aman-aman saja, yang nonton malah yang khawatir. Kenapa? Mungkin karena bagi Jannantul Maiyah, hal macam simbol bendera begini sudah selesai ndak akan bawa keributan.

Tapi sepertinya sedulur-sedulur yang memperhatikan dengan awas lebih merasa was-was akan keselamatan si pengibar, kalau-kalau ada pihak pengaman yang menyikapi dengan keras, dan kalaupun ada itu juga sah saja. Kan ini acara mereka. Kalau pembaca yang budiman pernah melerai dua pihak yang sedang ribut, itu memang posisi yang menyebalkan. Salah satu pilihan yang sering saya ambil adalah kamplengin dua-duanya secara spontan. Nanti mereka jadi punya musuh bersama dan lupa kalau sedang berantem tapi kita yang bonyok, apes bukan? Nah ancaman berada pada posisi macam ini yang mungkin bikin sedulur-sedulur yang memperhatikan kibar-kibar gembira bendera hitam itu agak waspada. Tolong jangan berantem, yang repot yang melerai.

Ruh Masa Lalu dan Imaji Masa Depan

Apakah memang pengaturan setting lauhul mahfudz-nya begitu ataukah ada unsur keterlibatan yang di luar nalar manusia? Kibar-kibar kebas bendera itu redam juga dengan sendirinya ketika dari belakang panggung ada kejadian di mana seorang pemuda mengalami “trance”. Itu istilah psikologi yang paling mendekati, dalam istilah lain yang sama ilmiahnya disebut “kesurupan”. Tapi ndak juga mungkin, perlu penelaahan yang komperhensif (aduh) untuk menyimpulkan seseorang itu sedang kesurupan atau sedang lelah aja. Dalam musik, tempo konstan berpotensi membawa gelombang otak untuk trance, perhatikan ketukan berulang pada seni-seni semacam jathilan, reog atau sintren pasti selalu ada ketukan yang konstan dan konsisten. Tapi musik sedang tidak mengalun saat kejadian ini terjadi.

Saya pamit sama istri saya untuk melihat sebentar ke belakang panggung. Ketika saya sampai di lokasi, beberapa hadirin tampak dengan sangat bijaksana tidak ikut-ikut dan yang lainnya masih menjaga tradisi orang Indonesia yang prinsipnya “nonton apa saja yang rame” (itu berlaku dari dangdutan, shalawatan, ceramah, kampanye, orang kesurupan, kecelakaan sampai kebakaran). Artinya kerumunan di belakang panggung menyesak. Kadang berbahayanya saat begini adalah kalau orang yang pingsan itu punya potensi asma dan butuh udara, kumpulan orang di sekitarnya bisa justru bikin parah. Saya lihat-lihat dengan jaga jarak, tapi cukup bisa menyaksikan Mbah Nun memeluk pemuda itu. Saat saya kembali ke tempat duduk semula, saya ceritakan sama istri saya.

Pelukan dan sentuhan, dalam satu materi feminisme yang dipelajari istri saya adalah cara pengobatan feminis yang telah sering ditinggalkan oleh orang modern. Guru feminisme istri saya, namanya Bu Nunuk seorang sesepuh aktivis gereja berusia kepala tujuh puluhan tahun, juga pada masanya sahabat kental Romo Mangun. Beliau selalu berpesan bahwa manusia sekarang kehilangan dua hal, yakni pertemuan wajah dan sentuhan fisik yang tulus. Bukankah itu juga yang kita jaga dalam Sinau Bareng?

Mbah Nun juga telah kembali ke panggung dan menenangkan hati hadirin bahwa semua baik-baik saja. Ini adalah posisi leadership yang tidak banyak diambil oleh banyak pihak sekarang. Yakni menghalau kecemasan. Tokoh-tokoh kita belakangan ini justru rebutan menebar kecemasan, dengan dasar pikir bahwa kalau orang cemas maka nanti cari obat kecemasannya pada dirinya dan golongannya. Adalah omong kosong kalau kita ingin menghalau ujaran kebencian tapi sambil menebar kecemasan, itu nonsense.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta