Tidak, Tradisi Tidak Pensiun dan Jibril Masih Mengibar-Kabarkan Tauhid
Sambil begitu, Mas Doni, Pak Jijid dan Pak Yoyok menyajikan permainan musikal pada hadirin. Bukan sekadar sajian tapi para hadirin juga diminta terlibat, jamaah dibagi tiga kelompok dengan darma koornya masing-masing. Kelompok pertama “Lihaat kebunku penuh dengan bunga…”, kelompok kedua “Kring kring ada sepeda, sepedaku roda tiga…” dan yang ketiga “Kodok ngorek, kodok ngorek, ngorek pinggir kali…”
Koor masih kompak dengan tempo dan ritme yang normal. “Gampang kompak kalau belum ada tantangan, kalau belum ada gangguan dari luar,” seru Mbah Nun, sambil mengajukan tantangan. Tepat, kita mesti berlatih bagaimana menjaga kekompakan ketika ada tantangan. Kalau sekadar menuduh pihak lain sebagai biang pemecah-belah, itu sih dari anak SD berantem, atau remaja galau tawuran juga memang selalu seperti itu.
Tapi bagaimana menjaga kekompakan pada masa di mana diam-diam Anda tidak sepaham dengan ini itu, di mana Anda merasa pihak sana itu pemegang tafsir keras kepala yang mengganggu kerukunan, intoleran, anti-demokrasi, tapi Anda usahakan jalan dialog, rangkul, ajak silaturrohim terus bukan mengenyahkan, bukan menghancurkan, bukan menanam bibit-bibit tirani dalam hati.
Menjaga kekompakan di tengah maraknya berita perseteruan antar ormas, antar pendukung capres, antar geng agamais dan sebagainya potensi keributan, sambil menjaga posisi untuk menghindari sebisa mungkin pengenyahan, nah itu tantangan. Silaturrohim butuh tantangan, kalau tidak kita hanya akan ber- lita’arofu sama yang satu seragam, satu golongan dan satu pikiran. Apa susahnya kalau begitu?
Maka demi meningkatkan kapasitas kekompakan, demi naik maqom komunal, rintangan itu diberikan dengan cara tempo dinaikkan. Sesekali hadirin kesulitan tapi pada beberapa kali perulangan koor kembali kompak. Tantangan ditingkatkan, setelah tempo dipercepat kemudian mas Doni punya ide untuk memainkan ritme. Nah ini jadi kemudian workshop musik singkat dan Mbah Nun menjelma menjadi tantangan bagi para pengajar-pengajar musik untuk menjelaskan teori dasar apa itu ketukan empat per empat, apa itu ketukan tiga per empat. Perdebatan lucu karena Mbah Nun selalu protes dengan penjelasan teori, sampai-sampai Pak Joko SP turut ikut coba jelaskan, ndak berhasil amat juga.
Tapi Mbah Nun merangkum perdebatan seru, lucu, wagu di panggung itu dengan, “Setidaknya dari hal seperti ini Anda mengerti musik itu bagaimana, bahwa ada hal-hal seperti ini. Ini eyel-eyelan, KiaiKanjeng itu eyel-eyelan terus. Masa hidup kok ndak ada eyel-eyelan ya ndak asyik dong. Tapi itu semua demi kita meningkatkan taraf pengabdiannya pada Allah, kekompakan dan kebersamaan.”
Ada yang Kibarkan Bendera, Ada yang Latah-Latah Lucu
Saya bersama istri saya duduk di barisan belakang, sebelah kanan dari arah panggung. Di belakang saya dua orang perempuan yang akrab disebut “mbak-mbak”. Nampaknya menikmati sekali, tertawa-tawa, nyeletuk, mengomentari dan ternyata mereka ini berdua latah. Jadi sesekali kalau ada suara musik mereka terlatah lagi, tertawa lagi. Istri saya bilang, orang Jawa mengistilahkan “kempor” tapi katanya itu bahasa kasar. Istri saya mencari istilah lain, ada kata “crigis” tapi menurutnya itu ndak mencukupi karena tidak sampai teriak-teriak kayak dua mbak meriah lucu di belakang ini.
Sementara sekitar sepuluh meter di depan saya, tiga orang lelaki yang akrab disebut (tebak apa? Yak betul) “mas-mas” mengamati acara dengan serius dan baru saya perhatikan mereka membawa dua tangkai bendera berbatang kurus. Memang sejak awal ketika KiaiKanjeng membawakan nomor-nomor shalawatan mereka beberapa kali mengayun-ayunkan bendera itu. Tapi saya baru memperhatikan bahwa itu bendera yang persis kayak yang membuat polemik di satu tempat beberapa waktu lalu. Istri saya juga lihat dan saya perhatikan sekeliling, beberapa hadirin menunjuk ke arah bendera yang diayun-ayunkan.