Tetap Riang di Tahun Kesedihan
Mendung menggantung dan kemudian gerimis turun, konon begitu kondisinya ketika putra baginda Nabi SAW yang bernama Ibrahim wafat saat masih bayi. Dikisahkan pula dari para perawi yang penelusurannya baru dilakukan berabad-abad kemudian itu, bahwa beberapa sahabat mengaitkan cuaca mendung-gerimis itu dengan kematian sang bayi. Langit ikut menangis, atau senada itu mungkin cara berpikir beberapa sahabat. Namun Rasulullah SAW di tengah kesedihannya, saya bayangkan dengan mata masih basah dan air menetes dari janggut beliau, bersikap tegas. Tidak perlu seperti itu, tidak usah dihubung-hubungkan.
Detail haditsnya pembaca yang budiman bisa cari sendiri. Atau kalau mau lebih niat lagi, setelah dapat haditsnya juga boleh mengecek dan ricek dengan penelusuran ilmiah kebenaran detail-detail kejadian tersebut. Saya hanya bisa menginterpretasi. Bagi saya pribadi, ini sebuah kejadian yang dahsyat. Tidak mudah bagi seorang manusia untuk tetap tegak dengan cara pikir rasional ketika hatinya dirundung kesedihan. Namun dari sepenggal episode hidup Rasul di sini kita tahu, Rasulullah bisa melakukan itu.
Mendung juga sedikit menggantung, walau tidak merata, dan tidak sampai gerimis. Segumpalan awan agak hitam menghalau sengatan matahari Jumat 13 Juli 2018 M. Pada dini hari semalam, segera menyebar sebuah kabar di berbagai lingkar Maiyah: Telah berpulang Ibu Eni Untari, istri dari Pak Nevi Budianto. Sesepuh kita, orang yang memainkan demung gamelan KiaiKanjeng dan sekaligus roh musik KiaiKanjeng itu sendiri, juga salah satu pendiri kelompok musik out of box ini. Pak Nevi yang selalu diapresiasi oleh Mbah Nun atas otentisitas dan keliaran, kenakalan dan jalan hidup radikalnya. Pak Nevi itu, hari ini sedang dirundung duka. Kita juga, para Jamaah dan Generasi Maiyah.
Mbah Nun pun tampak bergetar suaranya menyampaikan kata-kata sambutan pengantar perpisahan. Saya datang sedikit terlambat. Selain di grup-grup WA dan media sosial para pegiat Maiyah, kabar ini juga sejak subuh tadi tersiar di berbagai grup WA para seniman di Yogya dan dari luar Yogya. Berbagai rombongan, mengkoordinir diri untuk datang ke rumah duka di bilangan Tamanan, Banguntapan, Bantul. Banyak diri dan hati yang pernah disentuh oleh Pak Nevi dan almarhumah dengan segera datang. Pada akhirnya, hanya kehadiran yang bisa kita berikan untuk memberi penghormatan.
Namun kata-kata pengantar yang diucapkan oleh Mbah Nun tampaknya tidak ingin larut betul dalam kesedihan dan keterpurukan. “Ayo Nev, kita maju. Tutuk saron lagi Nev! Jangan berhenti!” mari berlatih hidup di surga. Ibu Eni almarhumah, telah lulus dan “Telah disambut di sana oleh para huurun ’iin”.
Biasanya sejangkau pengalaman saya, kata “huurun ’iin” yang sering diartikan oleh tafsir sebagai bidadari, jarang sekali diucapkan untuk mengantar kewafatan seorang perempuan. Karena bayangan umumnya “huurun ‘iin” itu pelayan-pelayan perempuan dengan segala keseronokkan ketubuhan. Yah dasarnya pemegang legitimasi tafsir kita basisnya kebanyakan pria, tentu imajinasinya juga sedikit banyak masuk dalam penelaahan terhadap agama.
Benar saja bagi pria menyenangkan membayangkan pada akhir hidupnya pasca husnul khatimah dia akan disambut segerombolan wanita seronok. Tanpa perlu ayat Al Qur`an, para prajurit Viking juga berkhayal mereka akan disambut prajurit cantik mengendarai kuda terbang yang dinamai Valkiry, itu memang imajinasi universal lelaki, ada atau tidak ada agama. Nah bagi perempuan? Kalau yang menyambut segerombolan pria, dengan konstruksi gender seperti ini ada juga malah nambah kerjaan. Intinya, pemaknaan huurun ’iin sebagai pelayan dari lawan jenis, jelas bukan tafsir yang menyenangkan bagi perempuan.
Tidak salah mungkin, hanya kurang jangkep. Itu gunanya belajar sejarah agar kita bisa melengkapi kekurangjangkepan di masa lalu dan meneruskan apa-apa yang masih dianggap relevan dan cukup baik. Dalam upacara-upacara kematian kita selama ini (saya juga baru tersadar siang ini) ternyata sudah ada kesalahkaprahan dan ketidakadilan tafsir. Di Maiyah, kita punya pemaknaan sendiri mengenai kata “huurun ’iin” dan Mbah Nun tanpa ragu mengucapkannya, bahwa Bu Eni telah bersama dengan para “Huurun ’iin” di sana.
Duka memang tak terperi. Sepertinya Maiyah tengah dirundung tahun-tahun kesedihan. Meminjam istilah dari satu judul tulisan Mbah Nun jauh hari dulu (yang tampaknya juga diolah dari dialog drama Hamlet) “to be or not to be, bertubi-tubi” yah konteksnya berbeda. Bahkan sesungguhnya saya agak lupa tulisan itu membahas apa, tapi entah kenapa saya teringat kalimat itu bersama bayangan beberapa wajah para syuhada Maiyah yang telah mendahului. Namun tidak larut, kesedihan tidak menaklukkan hati.
Beberapa kali para hadirin disela celah air mata, terdengar menggemuruh tawa yang sedikit teredam ketika Mbah Nun melontarkan beberapa sempilan jenaka. Tetap, tetap riang walau sedih. Mbah Nun mengajak para hadirin untuk tidak kehilangan kegembiraan, walau berat. Walau kita selalu kecewa “Berharap satu saja. Satu! Negaranya penuh hutang yo rapopo lah, yang penting U-19 menang dari Malaysia! Itu saja ora kelakon”. Tapi kita jangan kehilangan kegembiraan, karena hanya ini yang bisa membuat kita bisa bersama. Kalau kegembiraan kita hilang, apa lagi yang kita punya?
Ayo Nev, bangkit! Nutuk saron lagi! Latihan hidup di surga, sebab buat apa di surga kalau di sana tidak ada musik? Tidak ada gitar? Tidak ada ? Gamelan? Mosok nok surga mbadok tok?”
Tawa tertahan mengalir dari celah air mata. Kita tidak boleh kehilangan ini. Kita hidup di era sulit–semua era adalah era sulit–kita tidak boleh kalah oleh penderitaan. Tetap riang, sebab pilihannya adalah latihan di taman surga seperti di Maiyah; gembira, senang dengan yang disenangi Allah. Atau seperti NKRI, sedih terjajah ditindas kepedihan!