CakNun.com

Telek Lincung and the Danger of a Single Story

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (10)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 5 menit

Bahkan, pada suatu kesempatan, ketika CNKK diminta mengisi Harlah NU di Wonogiri, Cak Nun mengajak anak-anak Maiyah untuk menjadi “sandalnya NU” saja, karena NU dan seluruh ormas Islam yang ada di negeri ini sudah memiliki seluruh kelengkapan organisatorisnya untuk menjadi pencerah dan pemberi solusi terhadap seluruh persoalan-persoalan kemasyarakatan.

Satu saja yang banyak dilupakan, fungsi dan peran sandal, karena mereka yang sibuk di arus mainstream akan cenderung memperbagus pakaiannya, meninggi-ninggikan pangkatnya, mengandalkan pecinya, dan menonjol-nonjolkan logonya masing-masing. Padahal setiap orang butuh sandal yang melindungi kakinya sebagai tempat berpijak dari telek lincung dan najis yang akan membatalkan wudhunya dan dari duri yang akan melukainya.

Jika dengan prinsip robbana maa kholaqta hadza baatila, telek lincung saja bisa memiliki maqom yang mulia sebagai unsur terbaik penyubur tanah (bukan pembawa sial bagi seseoarang yang ndilalah menginjaknya), maka menjadi sandalnya semua orang dan semua golongan bisa menjadi tafsir baru atas peran penyelamatan dan pengamanan ala Maiyah dari penghancuran nilai-nilai kemanusiaan yang sudah sangat mainstream di mana-mana.

Dari ilmu telek lincung di atas, saya pungkasi saja dengan beberapa kutipan warning menarik tentang betapa bahayanya anut grubyuk mengikuti arus mainstream dari Chimamanda Ngozi Adichie, generasi muda penulis wanita Nigeria, dalam sebuah TedTalk-nya tahun 2009 dengan apa yang ia sebut dengan “The Danger of a Single Story”, bahwa:

“…the single story creates stereotypes, and the problem with stereotypes is not that they are untrue, but that they are incomplete, they make one story become the only story”.

It is impossible to engage properly with a place or a person, without engaging with of the stories of that place and that person”.

“The consequence of the single story is this: it robes people of dignity, it makes our recognition of our equal humanity difficult, it emphasizes how are different rather than how we are similar”.

“…when we reject the single story, when we realize that there is never a single story about any place, we regain kind of paradise”.

Semoga samudera cerita (the ocean of stories) di panggung, di perjalanan, dan di dapur Maiyah adalah ijtihad untuk apa yang Chinua Achebe, seorang novelis yang juga dari Nigeria dan profesor African Studies di Brown University, kampanyekan sebagai “a balance of stories” dengan seluruh ritual ruwatan tanpa henti yang sudah dilakukannya selama 25 tahun terakhir. Yaitu: stories that have been used to empower and to humanize (not to dispossess and to malign) dan stories that can repair the broken dignity (not to break the dignity of a people) untuk masa depan Indonesia dan peradaban dunia yang aman dan amin.

Lainnya