CakNun.com

Telek Lincung and the Danger of a Single Story

Secuil Catatan Otoetnografi Pejalan Maiyah (10)
Ahmad Karim
Waktu baca ± 5 menit

Dan secara kasat mata, sebagaimana dijelaskan secara berurutan oleh Mas Sabrang, Syeh Kamba, dan Kyai Muzamil di Bangbang Wetan itu, tigal hal utama dalam praktik beragama telah menjadi sumber mainstreamisasi yang menutup rapat tafsir-tafsir lain yang dianggap belum pernah ada (bid’ah). Padahal dalam buku The Interpretation of Cultures-nya Clifford Geertz juga pernah mengingatkan “A good interpretation of anything–a poem, a person, a history, a ritual, an institution–takes us into the heart of that of which it is the interpretation” (Geertz, 1973: 18).

Pertama, jihad kecil, yang dinisbahkan dengan perang dan argumen-argumen kafirisasi serta pembencian terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan kelompoknnya terus-menerus dinarasi-besarkan sehingga menutupi pentingnya, urgensinya, dan hakikinya jihad besar (jihadunnafs) yang wajib dilakukan semua orang.

Kedua, institusionalisasi agama dan pembekuan Islam ke dalam empat mazhab yang melarang tafsir-tafsir baru. Padahal sebagai rahmatan lil’alamin, Islam mengisyaratkan dinamika alami yang menuntut ijtihad secara terus-menerus untuk menjawab tantangan-tantangan baru peradaban.

Dan ketiga, teguran keras dari Tuhan atas kecenderungan umat Islam yang semakin mementingkan identits, baju, kulit, atau casing dengan dikirimnya badai pasir di tengah-tengah prosesi ibadah haji di Mekah yang sempat menyingkapkan kain kiswah penutup Ka’bah.

Apakah ini yang Cak Nun maksudkan agar anak-anak Maiyah tidak ikut-ikutan menjadi mainstream atau hanyut dalam arus besar di dalamnya? Dan beliau sendiri memang bukan orang mainstream dari sudut pandang apapun, sehingga gugur sudah prasyarat untuk berada di jalur mainstream.

Lihatlah sandalnya yang entah sudah berapa tahun tidak ganti. Rambutnya yang tidak kiai tidak gali. Pakaiannya yang tidak ustadzi tidak premani. Pesan-pesannya yang tidak menggurui tidak mencaci. Hitunglah berapa kali ia memakai sepatu, baju baru, sedan new, atau dasi kupu-kupu, bahkan untuk menghadiri undangan-undangan resmi acara kenegaraan dan forum-forum internasional orang bilang mengharu biru.

Ia sering sekali mengingatkan agar anak-anak Maiyah terus belajar dan meruwat diri menjadi subjek atas diri masing-masing dan lingkungannya, bukan menjadi objek atau pelengkap penderita dari arus mainstream apapun.

Lainnya

Topik