Telaga Maiyah
Kalau dibilang mimpi, kok bareng sekian orang dan isi mimpinya sama persis. Kalau dibilang khayal atau halusinasi, kok juga sama yang dialami oleh sekian orang. Jadi apa sebenarnya yang terjadi pada para Pakde dan anak-anak itu?
Rumah Pakde Sundusin kosong, meskipun pintu-pintunya tetap terbuka. Hanya ada anak-anak kecil dolanan kalau sore, dan bakda Maghrib ada yang mengajari anak-anak mengaji dan nderes di ruang depan rumah. Bagian tengah sampai dapur terbuka, hanya bilik pribadi Pakde Sundusin yang terkunci rapat. Mereka sepakat melacak Markesot.
Tiga orang tua dan empat anak-anak muda itu melakukan perjalanan aneh. Mungkin semacam eskapisme, membuntuti Markesot yang juga melarikan diri. Karena tidak sanggup menjawab berbagai pertanyaan tentang keadaan lingkungan dan zamannya.
Mereka memasuki hutan, menembus rimba, menyibak gerumbul-gerumbul, menguak dinding-dinding alam, melompat ke seberang. Di suatu “tempat”, mereka duduk bersila. Melingkar. Mata mereka terpejam, kecuali Toling yang matanya kadang terbuka, mengintip ke kiri kanan.
Wajah mereka menghadap lurus ke depan. Anak-anak muda itu mengikuti saja. Tetapi bengong tatkala tiga orang tua itu umik-umik entah mengucapkan apa. Kemudian tiga orang tua itu menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, lantas merebak bebauan yang aneh. Empat anak muda itu mencium aroma yang ada unsur wanginya tapi campur bau busuk. Mereka hanya merasa asing, tapi belum bisa menyimpulkan apa-apa.
Anak-anak muda itu, meskipun tak pernah memperbincangkan itu di antara mereka: tahu apa yang dilakukan oleh para Pakde. Tidak sukar diduga. Mereka mencari Markesot. Mereka memperkirakan, memperhitungkan, kemudian berspekulasi melacaknya. Dan juga tidak sukar ditemukan kenapa mereka mencari Markesot.
Angin menyapu wajah mereka. Lama-lama hembusan angin mengeras. Kemudian mendera dengan sangat deras. Angin berputar-putar. Membungkus mereka semua. Dan beberapa saat kemudian mereka diterbangkan pergi dari tempat mereka semula. Mereka berpindah ke bagian lain dari ruang dan waktu. Ketiga orang tua itu napasnya tersengal-sengal. Junit, Jitul dan Seger seperti mabuk. Dan Toling pingsan. Pakde Tarmihim segera memijiti tengkuknya, Pakde Sundusin menekan-nekan telapak kakinya.
“Allahu Akbar”, hampir bersamaan mereka berteriak, tapi lirih. Allahu Akbar. Ada semacam telaga besar yang isi dan permukaannya bukan air, melainkan semacam kaca mengkilat. Tiga orang tua dan empat anak muda itu belum bisa tahu apa yang ada di bawah kaca bening itu. Apa itu semacam lantai marmer kelas tinggi di halaman Istana Kerajaan Baginda Sulaiman, yang Ratu Balqis tertipu dan terpesona.
Toling yang kesadarannya mulai pulih, melayang di angkasa khayalannya. Ia merasa sedang menjadi pengawal Baginda Putri Balqis, Sang Ratu Saba, meskipun tidak terkait bahwa sebagian leluhurnya berasal dari daerah antara Banyumas dan Wanasaba.
Seger diam-diam mencatat.
“Dikatakan kepadanya: ‘Masuklah ke dalam istana’. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: ‘Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca’. Berkatalah Balqis: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”. [1] (An-Naml: 44)
Karena kebingungan kasih judul, spontan saja Seger menulis: Telaga Maiyah.
Yogya, 18 Februari 2018