Teknologi dan Proses Menuju Manusia Semut
Kampus itu bernama Politeknik Elektronika Negeri Surabaya atau disingkat PENS. Malam ini seluruh civitas akademikanya sedang mensyukuri Dies Natalisnya yang ke-30. Tanah lapang di tengah komplek kampus ini dipenuhi hadirin yang kebanyakan anak-anak muda dan mahasiswa. Mereka menyemut di situ, bahkan sebagian lain di selasar-selasar ruang-ruang kuliah di gedung lantai dua dan tiga itu, seluruhnya mengarahkan pandangan ke panggung, menunggu kemunculan sosok yang dinantikan.
Ya, untuk kesekian kalinya PENS mengundang Mbah Nun dan KiaiKanjeng buat Sinau Bareng pada momentum Dies Natalisnya. Kesekian kali itu berarti memang ada relevansi dan urgensi yang dirasakan oleh para pimpinan PENS dari Sinau Bareng ini buat sejumlah visi yang mereka bangun, utamanya dalam membekali para mahasiswa.
Sahabat saya, Acang Hasanudin, melaporkan bahwa ketika acara belum dimulai, tempat-tempat sudah penuh. Memang persis gula panggung KiaiKanjeng ini. Begitu siap, segera berkerumun mereka-mereka yang telah memburu manisnya hal-hal yang sejati dan keluasan hidup.
Bagi dia, kehadiran Mbah Nun di kampus PENS ini punya arti spesifik. Anak-anak muda zaman sekarang adalah anak-anak yang dilahirkan untuk familiar dengan teknologi IT dan cepat cerdas dalam menggunakannya, bahkan lebih dari itu. Tetapi menurut dia, ada satu hal yang kurang seiring dengan kecerdasan teknologis itu, yaitu masih kurangnya kecerdasan mental dan kognitif yang dibutuhkan sebagai kelengkapan dalam berteknologi informasi. “In other words, perlu peningkatan kualitas literasi digitalnya.” Demikian Mas Acang menegaskan.
Persis di titik itulah, Sinau Bareng akan mengisi celah itu. Apalagi temanya adalah “Inovasi Budaya, Budaya Inovasi”. Ada sekilas tersirat makna dualisme dan separasi dalam dua frasa itu. Sementara, Sinau Bareng adalah wadah di mana para jamaah, mahasiswa, atau masyarakat umum dilatih dan diajak untuk kembali kepada keutuhan, jangkep, tanpa dualisme. Orang seperti Mas Acang sebagai penggiat Maiyah sangat mengerti akan hal ini. Maka ini juga berarti Sinau Bareng malam ini adalah proses pengutuhan insan-insan teknologi yang ada di Kampus PENS ini.
Mari kita lihat ke panggung. Usai tilawatil Qur`an, Mbah Nun dan jajaran pimpinan PENS naik panggung, beserta turut hadir Pak Muhammad Nuh (mantan rektor ITS dan Mendiknas). Sudah lama tentunya Pak Nuh tak bersua dengan Mbah Nun. Shalawat dari para vokalis KiaiKanjeng mengawali Sinau Bareng menaburkan cipratan rohaniah ke dalam batin-batin setiap yang hadir malam ini.
Dan kini, setelah daya rohaniah masuk, mereka bersiap menerima berbagai macam interaksi. Tepat pada saat itu, Mbah Nun segera menyampaikan dan mengilustrasikan apa yang banyak terjadi pada manusia saat ini, yakni manusia sepertiga, karena pola pandang mereka yang departemental. Ini ihwal yang sesuai dengan kegelisahan di balik tema yang terpancang. Mbah Nun langsung memberikan idiomatika yang pas: manusia sepertiga.
Jelaslah kemudian bahwa yang perlu dikerjakan adalah mengutuhkan kembali diri kita, supaya tak lagi sepertiga melainkan tiga pertiga alias satu atau utuh. Pada penjelasan lebih lanjut, Mbah Nun mengajak anak-anak muda itu memasuki dunia Nabi Sulaiman As, yakni pada semut yang memiliki kesadaran kemenyuluruhan. Perilaku semut ini oleh Mas Sabrang, dalam beberapa Maiyahan belakangan ini, diperkenalkan sebagai contoh emergence society. Dan Mbah Nun menangkap inti perilaku semut itu sebagai sikap kemenyeluruhan.
Bagaimana Sinau Bareng malam ini, khususnya bagaimana Mbah Nun memaparkan dan merespons tema yang berkaitan dengan keutuhan manusia yang dirasa sangat perlu dipahami dan segera disadari oleh setiap kita yang seringkali tanpa sadar terdominasi oleh cara berpikir departemental, nantikan reportase Mas Acang. Sampai saat news singkat ini ditulis, Mas Acang melaporkan bahwa, “Suasananya klik. Chemistry-nya nyambung. Saat ini KiaiKanjeng sedang memainkan symphony nusantara lagu-lagu dari tahun lama sampa lagunya Via Vallen. Nyambung dan sangat enjoy antara yang di panggung dan audiens.” Boleh dicatat bahwa ini juga sebuah cara yang cerdas khas KiaiKanjeng untuk mengatmosferkan keutuhan. (Helmi Mustofa)