Tauhid Penghidupan, Maiyah di Hadapan Dunia
Risalah Islam yang secara formal dibawa oleh Kanjeng Rasul Muhammad Saw merupakan penyempurna dari agama-agama sebelumnya. Puncak evolusi tauhid sekaligus fondasi peradaban. Namun sekian ratus tahun sepeninggal jasad Muhammad bin Abdullah, rupanya manusia masih memahami Islam dengan pengertian agama seperti ratusan tahun sebelum Islam formal disampaikan.
Pengertian agama sebelum Islam umumnya masih membawa kesadaran shamanism. Diambil dari kata shaman, dukun-dukun, orang pilihan dalam suku-suku tertentu yang diminitai petunjuknya (tentang bencana, strategi perang, dlsb) karena dia mewakili suara gaib yang dianggap lebih tahu soal kehidupan manusia. Tentu saja ada bagusnya, kekurangannya ada subjektifitas baku di situ. Shaman tidak bisa dibantah, ngeyel sedikit, anda bisa kualat sama Imam Syafi’i. Padahal sepertinya para imam Islam jiwanya mensamudera, pengikutnyalah yang kemudian mengangkat kultus pada sosok supaya ikut naik kelas sosial.
Islam mengandaikan bahwa “antum a’lamu bi`umuri dunyakum“, kamulah yang expert pada bidangmu, pada duniamu masing-masing. Maka setiap manusia oleh Islam diposisikan sederajat dalam hubungan pada Sang Khaliq. Tiap manusia berpotensi sama, sama-sama berayun-ayun dari posisi sebagai khalifah atau sebagai pemburaman cahaya Allah ke dunia.
Pukul 20.00 wib Mbah Nun telah berada di panggung pada majelis Mocopat Syafaat bulan Maret 2018 kali ini. Majelis yang kalau mau dikatakan pengajian boleh, tapi juga bukan pengajian di mana ada shaman yang memimpin dan menjadi sumber pasti kebenaran.
“Di luar sana terlalu banyak subjektifitas yang dibakukan”, ujar Mbah Nun. Di Maiyah kita belajar bersama, Sinau Bareng. Bagaimana mencapai titik temu antara tauhid dan penghidupan. Bolehlah kiranya penulis mengambil kesimpulan, bahwa di Maiyah kita dididik, atau mendidik diri bagaimana menjadi wali. Wali bukan term yang ngeri-ngeri sedap spiritual-nyufi pada umumnya mungkin, minimal bukan klasifikasi tingkat kewalian serupa konsepsi Syekh Ibn Arabi.
Wali kita artikan saja sebagaimana dalam pernikahan, mesti ada wali nikah. Orang-orang Maiyah sejauh yang saya perhatikan pekerjaannya selalu memperjodohkan, mempertemukan, mensilaturahmikan; menikahkan berbagai hal yang dianggap jauh berbeda. Dunia pasca renaisance eropa, mengalami runtutan perceraian demi perceraian. Maka Jamaah Maiyah, Jannatul Maiyah memang manusia-manusia yang dibutuhkan pada era ini. Laskar wali nikah peradaban.
Tapi mungkin, wali nikah juga kadang bersoalan dengan menjodohkan diri sendiri. Term-term dalam Maiyah asik kita olah sendiri. Lantas bagaimana mempertemukan dengan kebakuan-kebakuan di dunia luar itu kadang soal sendiri. Bu Siti, itu seperti jelmaan malaikat entah dari mana yang datang pada malam itu untuk menguji kita.
Saya mestinya bisa mengejar dan menggali ke Bu Siti yang berjilbab merah, berkacamata dan polos sekali, sayangnya saya tidak dapat. Baru pertama kali beliau ke Mocopat Syafaat dan mungkin Bu Siti mengira majelis Mocopat Syafaat seperti pengajian-pengajian. Tradisi pengajian betapapun banyak baiknya, sesungguhnya juga masih mewarisi mental shamanism.
Bu Siti cukup kebingungan dengan pengalamannya di MS. Kamar mandinya ndak dibagi laki-laki perempuan, di dalam majelis juga. Terus ada musik-musikan, gimana dengan tetangga? Kok bisa sampai jam 3 pagi? Mbok kalau bisa sampai jam 12 saja kan kemalaman.
“Ke sini cari apa Bu?”, Mbah Nun bertanya.
“Cari hiburan”, jawab Bu Siti polos.
Saya malah sebaliknya. Sering nonton pengajian di tivi entah yang jargonnya “Takon dong, mah” atau “Jamaaaah” atau ke kumpulan-kumpulan penganut thariqat, ponpes, dengan tokoh-tokoh linuwih justru buat hiburan.
Maiyah memang semesta sendiri di tengah dunia yang terlalu baku ini. Bu Siti mungkin akan lebih kaget kalau sesekali ke tempat dugem di mana ada aturan toilet laki-laki dan perempuan, tapi tak jarang malah ada laki-laki dan perempuan dalam satu bilik, entah main gaple atau main catur bareng mungkin. Atau kalau Bu Siti cukup jeli, lihat kos-kosan mahasiswa di Yogya, kost pria tapi isinya campur sekamar, itu banyak. Intinya dunia seolah penuh regulasi-regulasi baku yang dibuat oleh manusia sendiri tapi justru dilanggar-langgar sendiri. Di Maiyah, kita dilatih untuk patuh pada kedaulatan akhlaq tanpa regulasi baku.
Bu Siti saya beri impresi sendiri pada reportase kali ini, karena mungkin beliau sangat mewakili sudut pandang dunia luar yang kita hadapi. Tema “Tauhid Penghidupan”, langsung diberi ujiannya malam itu dalam wujud Bu Siti yang polos, niatnya baik tapi ada ngototnya juga. Konsep yang dipegangnya baku sulit berubah. Bisakah kita mengemong dunia seperti ini?
Andai dunia masih murni dan perawan dari kepentingan, lari ke gunung-gunung, goa-goa pertapaan, masuk rumah, shalawatan dan wiridan saja sepanjang hari seumur hidup mungkin lebih menyenangkan daripada berhadapan dengan pembakuan konsep seperti ini. Tapi aduh, Islam tidak dimaksudkan sebagai agama petapa rupanya. Ada kekonyolan-kekonyolan duniawi, ada kekurangjangkepan pikir, ada negara yang menyebalkan, utang triliunan rupiah yang kita tidak ikut ngutang tapi harus ikut ngangsur. Kalau kita ber-Islam, kalau kita bersyahadat, maka adalah konsekuensi logis untuk ngemong segala hal ini. Tauhid Penghidupan, kesimpulan terbatas saya adalah: hidup dan menghidupilah karena hidup adalah kewajiban itu sendiri, bukan hidup karena bernafsu pengin hidup.
Tema Tauhid Penghidupan. Sejak awal membawa jamaah untuk merefleksikan hidupnya sendiri-sendiri beserta pengalamannya. Sebelum Mbah Nun naik panggung saja, Mas Helmi sudah memberi pengantar dan mempersilakan para jamaah membaca sendiri 17 poin yang ditulis oleh Mbah Nun. Mungkin tiap individu dzat dalam Maiyah punya titik fokus berbeda-beda pada tulisan tersebut, tolong izinkan saya curhat sedikit.
Tulisan Allah Pusat Simpul Maiyah poin 12 ini punya sisi melegakan, namun juga menggelisahkan. Bisakah pembaca yang budiman membayangkan, perasaan seorang seperti saya yang punya kecendrungan ilfil sama negara, malas sama NKRI, tidak ada urusan dengan NU, Muhammadiyah, HTI dlsb, tiba-tiba membaca kalimat “Mustaqimul Maiyah menghormati Negara. Dan berjuang membantu serta merawatnya”? Secara psikologis dan kognitif saya jelas berontak. Nafas tersengal-sengal membacanya.
“Poin-poin dalam tulisan itu bacalah dan pegang sebagai kunci. Kalau lemarinya belum ketemu sekarang, mungkin kapan-kapan”, kata Mbah Nun. Mungkin kapan-kapan saya juga akan bisa paham. Atau, tidak paham tapi menikmati. Toh paham bukan segalanya. Tapi sekarang, jelas berat. Berat.
Maiyah tidak harus selalu sesuai konsep dan keyakinan saya kan? Emang saya siapa mendikte-dikte Maiyah? Nanti saya jadi tidak jauh beda dong dengan Bu Siti yang polos. Lebih baik beliau mungkin, setidaknya beliau tidak memperindah-indah bahasa untuk memakai Maiyah sebagai legitimasi pesannya. Kewaspadaan diri mesti dibangun, minimal diupayakan.
Di awal acara Mas Helmi juga mempersilakan Mas Doni naik panggung. Mas Doni beserta grup bandnya membawakan lagu-lagu yang akrab bagi generasi 90-an. Sesungguhnya Mas Doni menyimpan keresahan sendiri karena baru saja menyimak seorang ustadz dalam sebuah pengajian mengatakan bahwa musik itu haram dan kalau ada alat musik di rumah ya bakar saja. Herannya, Pak Uatadz tidak berusaha menjadi uswatun hasanah dengan, misal, membakar microphone yang dia pakai bicara.
“Anda mendengar ini halal, ini haram, ini bid’ah. Yang nomer satu adalah kesiapan anda menempatkan informasi itu pada tempatnya”, begitu pesan Mbah Nun.
Karena dunia sekarang sangat mengikis kedaulatan berpikir manusia. Sehingga manusia mumet pikirannya kalau mendengar ada ustadz, kiai, mursyid, pendeta, bikkhu ngomong ini-itu. Padahal ada ekspertasi bidang, ada otoritas, juga ada kapabilitas. Dalam hal perjalanan ruhani, jangan sampai ada otoritas lain selain Muhammad Saw dan Allah Swt dalam diri kita. Tapi sekarang, di mana-mana otoritas ditegakkan, legitimasi dicari-carikan saja melalui penguasaan kitab, teori, legalitas darah, dramatisasi pengalaman spiritual, dsb. Akhirnya yang kemudian muncul adalah tokoh-tokoh suci baik hati dimitoskan.
“Siapa yang berhak menafsirkan Al-Qur`an?”, tanya Mbah Nun pada Kyai Muzammil.
“Secara akademis, ya mufassir”, jawab sang Kiai Madura, punggawa NU yang tidak menuhankan NU ini.
“Lho, kalau begitu bagi orang-orang yang tidak memenuhi syarat sebagai mufassir, gunanya Al-Qur`an untuk dia apa? Kalau menurut saya, setiap orang berhak bermesraan dengan Al Qur’an.”
“Betul, karena Al-Qur`an hudan linnas.”
“Hudan linnas, bukan hudan lil ustadz atau lil kiai saja. Cuma memang ada tafsir yang bergantung pada kualitas manusianya. Bahwa ada manusia yang kurang pengetahuan, ada yang malas belajar, ndak mau tau dlsb itu pada tataran aplikatif”, Mbah Nun membongkar legitimasi relasi kuasa dan Kiai Muzammil menyetujui.
Maiyah tidak memitoskan sosok, setahu saya. Tiap dzat terlibat menyapukan kuasnya pada kanvas kesucian sesuai dengan warna otentik dirinya. Seorang pembelajar yang mengaku setengah atheis mempertanyakan tuhan, oleh Mbah Nun dilegakan sedikit hatinya. “Anda tidak atheis atau setengah atheis. Anda hanya lagi ngambek sama Allah. Dan ngambek itu sebenarnya adalah proses kemesraan sendiri”.
Pak Is yang baru saja berpulang, kita kenang dengan kewajaran dan kemesraan. Kita pelajari detail-detail hidupnya. Otentisitas prilaku dan konsistensi istiqamah sikap hidupnya. Dari sini kita belajar, bagaimana memandang seluruh anggota KiaiKanjeng menjadi dirinya sendiri.
Tiap-tiap diri mereka adalah harta karun bagi zaman ini. Jangan sampai kita luput, kurang menggali selagi ada kesempatan. KiaiKanjeng kan bukan Soneta atau Alice Cooper. Dua itu saya sebut sebagai contoh band-band yang konsepnya melayani vokalis, sehingga yang terkenal hanya vokalisnya saja–serius nih, kalau bukan hardcore fans Soneta, anda mungkin akan kesulitan menyebutkan siapa nama pemukul ketipung grup Soneta kan? Kecuali ahli musik seperti Mas Didik yang memang mendalami permusikan.
KiaiKanjeng konsepnya adalah melayani sebisanya dan sebanyak mungkin manusia. Itu kemudian berdampak pada keluasan musik, cakrawala nada sampai pada perjalanan ruhani para anggotanya. Tiap-tiap anggota KiaiKanjeng, dari yang di atas panggung sampai tim sound adalah harta sesungguhnya. Sayang kalau kita tidak menggali. Dig deeper dude!
Mas Arbi yang belakangan oleh sedulur-sedulur JM disematkan gelar Pendekar Caping Gunung, menyematkan gelar Sunan Kali Code pada almarhum Pak Is. Mas Arbi meminta quote-nya Pak Is, jawabannya ada pada kisah yang diceritakan oleh Mas Imam yang gondrong dan sering terlibat pada majelis jumatan di Kadipiro. Mas Imam bercerita bagaimana pengalamannya disapa oleh almarhum, sikap santun almarhum sangat menyentuhnya. Minim kata, maksimal kesan.
Kita dididik dengan pola quote memang belakangan ini (yang dimaksud belakangan adalah, ratusan tahun pasca Khulafaur Rasyidin). Semoga kita tidak lupa, ketika dalam haji wada’ Rasulullah berkata bahwa beliau mewariskan dua hal yakni Qur`an dan Sunnah, saat itu belum ada kitab-kitab hadits. Bisa jadi pada satu sudut pandang, yang dimaksud sunnah adalah kisah perjalanan hidup Muhammad Saw, impresi sikap yang ditangkap oleh orang-orang sekitarnya, kemampuan nalar dalam mengolah dan menyelesaikan persoalan dan segala hal dari hidup Sang Rasul itu berharga.
Tapi kemudian tradisi pengkitaban menjadikan sunnah dan hadits sekadar tutur-tinutur, rentetan kata-kata dan mantra. Kawin-mawin pula dengan kecenderungan manusia untuk menjadikan kalimat suci sebagai legitimasi relasi kuasa dan pemitosan, klop sudah. Dan sejak itu bermulalah kejayaan era kaum muslim yang menabung kehancurannya sendiri. Kita, ada di puncak kehancuran itu sekarang. Tiba-tiba pada puncak kehancuran itu ada Maiyah. Maiyah mungkin adalah bukti nyata bahwa Gusti Allah tidak begitu saja lepas tangan pada kerusakan-kerusakan peradaban manusia.
Manusia memang ahlinya menggubah kesucian menjadi sesuai kepentingannya. Sains yang mendaku diri paling rasional pun tak pernah lepas dari mitos–ini sekaligus mengenang kematian Stephen Hawking. Sebentar lagi Hawking akan dimitoskan, sementara hanya segelintir yang melanjutkan upaya pencariannya. Ketika Newton mengaku mendapatkan ide teori gravitasi dari apel yang jatuh, itu mitos. Itu kisah yang diterima tanpa ada yang bisa mengobservasi dan mengklarifikasi. Tapi di sebuah universitas, pohon apel itu dilestarikan, dirawat dan dijadikan simbol keagungan sains sendiri. Ironis, bukan?
Maiyah, tauhid penghidupan. Berhadapan dengan dunia semacam ini. Mau bagaimana lagi? Mas Muhtasib sampai tersengal-sengal nafasnya ketika berbicara, sepertinya beliau lelah sekali dengan kahanan. Mas Muhtasib tidak sendiri, para sedulur JM pasti banyak yang seperti itu. Saya juga. Tapi beruntunglah kita bersama-sama, we are team di Maiyah, menghadapi dunia. Sayap merpati yang saling menguatkan satu sama lain dengan menyumbang hembus-hembus kebaruan. (MZ Fadil)