CakNun.com

Tasawuf Khusyuk Gembira, Khilafah Sinau Bareng, dan Negara Hukum Fiqih

Reportase Sinau Bareng CNKK di Pendopo Ronggo Djoemeno, Caruban, Madiun, 7 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Bagaimana ini? Tema yang diajukan panitia soal “Menuju Birokrasi Pancasila” tapi koq malah meloncat ke tasawuf? Jadi begini, wacana tasawuf dalam Sinau Bareng bukan milik kaum pengkhidmat jeroan batin di goa pertapaan belaka, dalam Sinau Bareng tasawuf dipertemukan keberfungsiannya bahwa mereka yang bertugas sebagai pelaksana birokrasi mesti punya keluwesan sufistik itu, agar dia bukan sekadar jadi robot pelaksana aturan-aturan. Perlu ada kepekaan, rasa, roso, kebijaksanaan dan tentu terutama adalah cinta. Dengarkan begini Mbah Nun bilang, “Jadi hakim bukan membawa pasal-pasal, tapi dia membawa kebijaksanaan dan presisi dalam pikiran dan hatinya.”

Tentu teknis-teknis yang fiqih juga tidak dilupakan. Mbah Nun memberi masukan, bahwa para ASN di pemkab bisa mencontoh bagaimana satuan polisi kota di New York NYPD, diharuskan menuliskan pengalamannya setiap selesai bertugas. Ini banyak fungsinya, bagi kelanjutan ke depan orang lain bisa belajar dari catatan pengalaman itu. Bukankah ini namanya meninggalkan jejak sejarah? Karena soal begini kita sering luput, untuk sementara ini tolok ukur kebesaran.sejarah satu bangsa ya dicari dari literatur yang ditinggalkannya. Sebenarnya, apa yang disebut sebagai peradaban besar oleh para sejarahwan hanya berdasarkan mana budaya yang punya catatan lebih lengkap. Bahkan para pekerja kasar di kapal-kapal kongsi dagang Eropa setiap pekerjanya punya catatan sendiri-sendiri sehingga para penggali data sejarah tinggal puzzling data-data yang bertumpuk itu.

Anggaplah kita mencatat sebagai penyemaian benih untuk generasi hadapan. “Khilafah itu benih, dia bisa tumbuh dibentuk republik, bentuk kerajaan atau yang tak berbentuk padat seperti masyarakat Madinah.” Sinau Bareng ini juga menurut saya adalah wujud penanaman benih khilafah.

Rupanya, semaian benih dalam Sinau Bareng memang dirasakan oleh seorang bapak yang ikut merespons sesi dialog. Bapak ini datang kali ini untuk memberi laporan, bahwa beliau dulu pernah pada taraf putus asa dan kelimpungan secara ekonomi, bertanya pada Mbah Nun tentang kondisi ekonomi keluarganya, dan menurutnya Mbah Nun memberinya semangat. Sekarang dia berpenghasilan jutaan per bulan namun satu yang mengganjal bagi bapak itu adalah bagaimana agar tidak sombong.

Mbah Nun merangkum kembali segala bahasan ini, bahwa teknologi roso perlu dilatih “Sombong bukan cuma kepemilikan modal berupa uang. Tapi sombong karena koneksi dan akses juga bisa bikin sombong.” Nah ini juga adalah salah satu angle tasawuf. Mengerti lipatan-lipatan hasrat manusia untuk merasa spesial, karena kita sering terjebak pada ceruk-ceruk wilayah batin kita sendiri. Maka taqwa kewaspadaan itulah yang perku kita pertajam, kita buat lebih peka lagi, memperbaharui taubat lagi dan lagi sebisa-bisanya. Seorang teman yang pelaku thoriqot juga pernah berseloroh bahwa menurut mursyidnya, awal dari perjalanan sang salik adalah dari pintu taubat.

Mas Islami dan Mbak Yuli berduet melantunkan satu ayat yang syahdu sekali, Ali Imron ayat 133.

Menurut Mbah Nun, Ini ayat yang melaluinya terdapat perintah agar manusia segera bertaubat. Kita sedang pada tahap di mana kita ini perlu bertaubat, itu demi kita tidak lagi mencari kesalahan pihak lain sambil meninggi-ninggikan posisi kita dengan modal koneksi dan akses dan atau lainnya posisi kemapanan yang membuat ribut terus antar golongan.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version