CakNun.com

Tasawuf Khusyuk Gembira, Khilafah Sinau Bareng, dan Negara Hukum Fiqih

Reportase Sinau Bareng CNKK di Pendopo Ronggo Djoemeno, Caruban, Madiun, 7 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 6 menit

Mbah Nun mengolah semua yang datang pada malam itu, baik pertanyaan, tanggapan, tawa dan keriangan semuanya disadur menjadi hikmah yang kita cercapi sendiri-sendiri. “Banyak orang sekarang bertikai karena ndak ngerti patrap, maqomat berpijaknya.”

Pada sesi awal ragam jenis workshop diadakan, pesertanya para pegawai di Pemkab serta para pejabatnya sendiri. Permainan-permainan tradisional seperti lepetan dihamparkan, mengajak untuk mengalami bersama keriangan dan kebersenang-senangan yang disenangi oleh Allah. Dari situ juga kita belajar pentingnya mengerti posisi diri, berani mengambil sikap serta sudi untuk tidak selalu ditinggi-tinggikan. Ada proses egalitarian di dalam permainan yang komunal ini.

“Saya tidak akan menyuruh-nyuruh Anda untuk berbuat kebaikan, tapi saya mengajak Anda untuk menikmati perbuatan baik.” Nah, mengajak menikmati itu, memang satu-satunya cara ya memberi kesempatan mengalami bukan menuturi karena kenikmatan adalah pengalaman sendiri-sendiri, privat di jalan sunyi tapi Sinau-nya bareng-bareng. Ternyata begini ini aplikasi syair tasawuf yang cukup mainstream “sunyi di tengah keramaian”.

Malam ini, perasaan saya memang agak berbeda dari biasanya. Kalau pada reportase singkat sebelumnya saya bilang, sedang mengizinkan diri untuk agak nasionalis, nah pada seiring berjalannya Sinau Bareng kali ini, saya merasa sedikit lebih spiritual. Bagaimana bisa begitu? Saya juga kurang tahu, yang pasti hampir tiap Mbah Nun bicara malam ini saya selalu teringat satu dua nasihat-nasihat dan syair-syair sufi. Saya kurang paham tapi saya nikmati saja dulu sensasi sedang rada nyufi ini.

Tapi pembabaran Mbah Nun memang sangat asosiatif pada beragam hal. Ambil contoh misal ketika Mbah Nun sedang mengelaborasi tema soal fiqih. Bahwa fiqih itu penting, tapi dia tidak bisa dijadikan tolok ukur karena fiqih hanya bisa menilai rukun dan syarat yang jasadiyah tiba-tiba Mbah Nun menukik ke bahasan bahwa “Maka negara juga jangan negara hukum, tapi keadilan. Hukum hanya salah satu alat menuju keadilan.” Benarlah, begitu juga memang titik kritikan Al Ghazali pada ulama-ulama fiqh, bahwa bagaimana mungkin sesuatu yang sifatnya ruhani dinilai dari ukuran jasmani belaka? Fiqh penting tapi dia punya limitasi, dia tidak bisa menjangkau hal semacam khusyu’ misalnya. Ketergila-gilaan kita pada wacana supremasi hukum (itu pun berjalan dengan ndak bener-bener amat sebenarnya) bisalah kita maknai bahwa NKRI ini masih pada tataran fiqh dan belum melangkah pada luas-luwesnya tasawwuf. Dan kalaupun ini negara fkqh, ini yang ideologi mazhabnya kurang jelas, wudhunya pakai air bekas kolonial, dan rakaat-rakaatnya saja sudah salah urutannya “Orang sekarang sering mempermasalahkan hal yang mestinya bukan masalah, dan melupakan hal yang harusnya dipermasalahkan.” Nah, begitu itu kan namanya rakaat yang tertukar. Masa soal bendera saja harus diperdebatkan benar tidaknya itu bendera Rasul atau bukan? Padahal bisa cukup bahwa, itu menyinggung orang lain.

Jadi pada beberapa hal kita memang sering terbalik-balik dan tertukar. Sekarang yang namanya tasawuf pun lebih sering dilekatkan dengan wacana thoriqot-isme baku seolah-olah dia hanya kumpulan resep baca wiridan sejumlah berapa kali dengan laku-laku khusus tertentu dengan ini-itu jadi kayak resep ajaib cepat ma’rifat. Sekarang ini, wacana sufistik pun default kesadarannya malah fiqh.

Mungkin seperti juga bahwa hukum hanyalah salah satu jalan menuju keadilan, begitu juga thoriqot adalah salah satu metode dalam tasawuf. Tapi mungkin bukan satu-satunya, mungkin lho ini.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version