Tasawuf Khusyuk Gembira, Khilafah Sinau Bareng, dan Negara Hukum Fiqih
Kritikan terhadap kaum pemikir yang lambaran utama kesadarannya berkutat pada fiqih sejak jauh hari sudah ada. Al-Ghazali adalah salah satu garda depan dalam hal ini, bahkan konon beliau pernah menyebut ulama fiqih sebagai ulama dunia.
Sayangnya pola pikir yang fakultatif kemudian membuat kita hanya mengenang ini sebagai era di mana terjadinya perseteruan ulama fiqih dan ulama tasawuf. Itu pun aslinya kurang tepat juga, sebab mana ada ulama tasawuf yang tidak ahli fiqih? Dan masa iya ulama fiqih tidak melangkah pada keluasan dan keluwesan tasawuf? Mungkin kita saja yang kurang jangkep mengenang sejarah.
Itulah juga berbahayanya ketika kita berpikir dengan klasifikasi beku dan fakultatif dalam memandang sejarah. Kita hilang kesempatan meraba fenomena sejarah secara utuh.
Kalau kita zoom out sudut pandang kita, itu juga yang membuat kita sulit berpikir bagaimana sejarah di satu lokasi saling berkelindan dengan peristiwa sejarah di tempat lain. Apa iya, sejarah bangsa Nusantara tidak berkaitan dengan ekosospolbud pada era penjajahan Romawi di Judea? Atau bahkan mungkin sejak era Ibrahim As? Bisa jadi ada hubungannya, bisa jadi juga tidak. Tapi sebaiknya kita cari tahu dulu.
“Khusyuk ya khusyuk, tapi tetap riang gembira,” itu kalimat Mbah Nun ketika sajian Sinau Bareng yang diadakan di pendopo kabupaten Madiun, pada malam 7 November 2018 M kali ini, menjelang berakhir.
Sebenarnya kalimat ini diucapkan Mbah Nun untuk mengantarkan suasana, dari elaborasi khusyuk roso kepada keriangan menuju nomor “Medley Era” dari KiaiKanjeng yang memungkasi kemesraan malam itu. Tapi entah kenapa, kalimat singkat tersebut sepenangkapan saya langsung merangkum seluruh pembahasan tema, elaborasi, dialog serta kegembiraan malam hari ini.
“Pendidikan Dasar Karakter PNS Menuju Birokrasi Pancasila” adalah tajuk yang dipilih oleh pemerintah kabupaten Madiun selaku penyelenggara Sinau Bareng malam ini. Sepertinya memang ingin difokuskan pada penggemblengan mental para pelaksana birokrasi tersebut. Itulah seorang pemuda sempat sambat, sedikit mengeluh, dengan kesadaran bahwa Maiyah biasanya begini begitu, “Kok tadi pas mau masuk dibilang internal, internal ngoten.”