Sudahkah Kita Benar-Benar Kenal Manusia Muhammad Saw?
Tiga yang Utama Membongkar Mainstream
Dilaksanakan setelah Tarawih berjamaah di Rumah Maiyah, yang diimami oleh Gus Niam. Setelah sebelumnya berbuka puasa di tempat masing-masing. Tak ada pengaturan apapun dalam kegiatan ini selain yang bersifat teknis saja. Tentu ada yang gelar kloso. Ada yang ngatur sound dan semacamnya. Para salikin yang datang pun beragam bentuk, kiprah serta tingkah lakunya. Tak ada seragam dan keseragaman. Selain kesamaan tekad untuk menyeburkan diri pada samudera cinta dan ghiroh menyelami manusia Muhammad Saw.
Syekh Nursamad pertama-tama mengapresiasi karena nama acaranya “Kuliah”, bukan ceramah atau seminar. Bagi Syekh Nursamad, beliau lebih akrab dengan beginian. Karena beliau sendiri sehari-harinya adalah dosen. Lagipula, dalam kuliah segala hal boleh dipertanyakan. Beda dengan sistem ceramah dan podium di mana pemateri bicara satu arah.
Dari sini kemudian Syekh masuk pada bahasan yang terlebih dulu dibagi jadi tiga materi utama:
- Perbedaan dan konteks ayat serta strategi Nabi di Makkah dengan di Madinah.
- Nabi sebagai manusia dengan ikhtiar manusianya.
- Pandangan Nabi tentang apa itu agama.
Semuanya ini dijabarkan oleh Syekh dengan sangat runtut dan jelas. Terperinci dan padat. Akan sulit bagi saya untuk menuliskan masing-masing poin bahasan tanpa membuat reportase ini berkepanjangan. Jadi mungkin saya aduk saja jadi kesatuan. Bismillah, saya coba. Oiya selain itu, materi-materi ini juga sebenarnya sudah termaktub dalam livetwit dengan hashtag #DiskusiRumahMaiyah
Muhammad Saw ketika di Mekkah berhadapan dengan pola masyarakat yang sudah mapan dan turun-temurun. Yang disebut masyarakat jahiliyah, bukan benar-benar bodoh dalam artian harfiah bodoh secara kognitif. Begitupun Abu Jahal bukan benar-benar manusia bodoh yang tidak tahu apa-apa. Justru Abu Jahal adalah sosok muda yang akan mewarisi tampuk kepemimpinan tetua-tetua Quraisy.
Islam yang lahir di Mekkah, berhadapan dengan status quo semacam ini sehingga sifatnya penguatan ke dalam, ideologis. Ketika kemudian terjadi peristiwa Hijrah ke Yastrib atau Madinah, pola ideologis mulai ditinggalkan. Muhammad Saw konsentrasi pada pembangunan masyarakat dengan segala pernik kehidupan yang keseharian.
Beberapa data yang dikemukakan Syekh Nursamad misal, tidak ada lembaga formal syariah pada ketika Rasul menjadi pemimpin masyarakat Madinah. Dan yang menurut saya sangat revolusioner, adalah tidak adanya pembagian sipil dan militer. Satuan militer dibentuk saat ada misi atau ada perang, kemudian setelah itu para prajurit kembali menjadi sipil.
Pola sipil yang militer dan militer yang sipil ini mengingatkan saya pada dua hal. Pertama keributan pemberontakan proletar di Roma beberapa abad sebelum Islam. Beda dengan yang kita kenal sekarang, saat itu sebutan proletar adalah untuk merujuk pada prajurit-prajurit tua yang sudah tidak terpakai dalam perang.
Hal kedua saya teringat pola pertahanan Sultan Agung Anyokrokusumo. Beliau memakai sistem pertahanan yang sangat ampuh yang disebur Prawiromartani. Artinya prajurit yang petani. Sehari-hari petani, tapi begitu dibutuhkan, mereka jadi prajurit yang siap berkalang tanah bersimbah darah mempertahankan tanah air.
Mungkinkah Sultan Agung sendiri menyarikan sistem pertahanan Prawiromartani itu dari pola masyarakat di Madinah? Nah ini tentu perlu penelitian lebih lanjut. Dan andaikan iya, maka pertanyaan selanjutnya, kok bisa leluhur kita lebih teliti membaca dan mengelaborasi sejarah daripada kita yang lahir pada era di mana data sejarah bisa didapat begitu mudah?
Dari sini sebenarnya kita sudah diajak oleh Syekh Nursamad untuk melihat manusia Muhammad yang dalam menata masyarakat juga mendayagunakan segala potensi kemanusiaannya. Ya rasio, ketajaman akal pikiran, nurani juga tentu saja spiritualitas. Dan spiritualitas juga bukan hal yang harus didramatisasi dan diseram-seramkan. Wajar saja. Dalam hidup manusia ada peristiwa spiritualnya.
Begitulah wajarnya manusia Muhammad Saw. Ada rancang bangun perencanaan, strategi, dan eksperimen. Namanya eksperimen, tentu pernah gagal, juga pernah berhasil. Begitu itu manusia. Syekh Nursamad berkisah. Satu ketika Sayyidatina Aisyah Ra bertanya pada Baginda Muhammad Saw, mengenai episode mana dalam perjalanan hidup beliau yang paling berkesan. Baginda Nabi menjawab, yakni ketika dirinya ditolak oleh masyarakat Thaif.
Peristiwa penolakan di Thaif, mudah bagi kita membacanya sekadar penolakan dari masyarakat yang belum tercerahkan. Sehingga tidak menerima cahaya kenabian. Tapi pemaparan Syekh Nursamad membawa daya pikiran kita, betapa pedihnya kekecewaan Kanjeng Nabi saat itu. Bahwa Thaif dipilih untuk jadi tempat hijrah, adalah rupanya telah berdasarkan hasil observasi, pengumpulan data dari Muhammad Saw. Juga pembacaan geopolitik dan kultural. Hingga Baginda Nabi sangat optimis pada wilayah Thaif. Namun rupanya optimisme itu menemui jalan buntu.
Inilah bedanya ketika kita memahami Muhammad Saw sebagai manusia, bukan sekadar dengan kesadaran orang-orang suci pra-Islam. Kita jadi lebih menyelam pada kedalaman. Pada haru-biru. Cara Syekh Nursamad mengisahkan penolakan di Thaif, tampaknya membuat beberapa peserta kuliah berkaca-kaca matanya. Kalau saya tidak salah lihat, Mbak-Mbak di sana itu mengusap matanya dengan ujung jilbabnya. Semoga bukan kelilipan saja.