Subasita Si Bungsu Kepada Kakak-Kakaknya
Dari mengikuti Sinau Bareng di Pabrik Gula Kebonagung Malang dalam rangka buka giling tahun 2018 ini, kita mendapatkan satu lensa untuk memandang lebih jernih dan lengkap terhadap apa yang disebut sebagai Selamatan atau Slametan. Bagi Mbah Nun, sekurang-kurangnya terdapat dua konsep yang bisa secara simultan dipakai untuk menyelami Selamatan yang merupakan tradisi dari para leluhur kita.
Yang pertama adalah religiusitas. Teman-teman semua sudah tahu bahwa religiusitas dalam pandangan Mbah Nun adalah upaya-upaya yang berasal dari diri manusia yang berkaitan dengan ketuhanan atau dimensi-dimensi transendental dan kosmis yang diekspresikan melalui suatu tindakan atau praktik budaya. Ia berbeda dengan agama/religi yang datangnya dari Tuhan melalui wahyu-Nya.
Selamatan adalah suatu praktik yang bermuatan religiusitas karena di dalam selamatan orang mengungkapkan bahwa mereka sadar Tuhan memegang kuasa atas apa-apa yang akan mereka kerjakan, termasuk giling tebu ini. Manusia berusaha sebaik-baiknya, Allah yang akan menentukan hasilnya. Lewat selamatan, orang memohon pertolongan, kelancaran, dan keberkahan kepada Tuhan yang Mahakuasa.
Kedua, dalam urutan penciptaan makhluk, manusia menempati posisi bungsu atau paling akhir. Sebelum dia, sudah ada terlebih dulu alam, tumbuhan, dan binatang. Bahkan sebelumnya lagi sudah dicipta-Nya malaikat dan jin. Kesemua makhluk itu bekerja di dalam dan bagi kehidupan ini, termasuk bagi kehidupan manusia itu sendiri. Tebu yang ditanam tak bisa tumbuh sendirian. Ada peran tanah, air, cahaya matahari, dan belum lagi yang dzat-dzat kecil dan tak tampak oleh mata yang turut memproses pertumbuhannya.
Itu sebabnya, selamatan adalah ungkapan keasadaran dan pengakuan akan peran ‘kakak-kakak’ manusia itu sendiri. Semacam ngabari atau mohon izin. Itu adalah laku kelembutan hati kepada sesama anggota keluarga besar kehidupan ini. Tidakkah yang seperti ini mencerminkan kesadaran yang bukan saja eco-friendly, melainkan berwawasan sadar kosmis, yang di masa modern ini justru kerap absen dalam laku hidup kita?
Religi/agama dan religiusitas bukan dua hal untuk dipertentangkan, sebab dalam sejarahnya manusia senantiasa menjalani atau mengalami religiusitas dalam berbagai tahapnya dan pada titik tertentu agama berdiri di depannya menyodorkan informasi tentang apa-apa yang dicari manusia. Dengan pemilahan ini kita lantas mengerti bahwa ada sesuatu yang datangnya langsung dari Tuhan (agama/wahyu), dan ada yang berasal dari inisiatif, pemahaman, pangroso, dan pencarian manusia, dan keduanya bertemu dalam proses diri manusia.
Sebagai contoh, ketika manusia mengerahkan rasa dan jiwanya untuk mengenali Tuhan, pada satu titik tertentu Tuhan sendiri yang akan menolong manusia dengan memperkenalkan diri-Nya melalui wahyu yang tertulis dalam Kitab Suci. Apa-apa yang sudah manusia pahami melalui pencarian dan pengenalannya itu akan disempurnakan oleh informasi Tuhan.
Sementara itu, agama juga melengkapi manusia dengan bahan-bahan maupun cara-cara yang bisa dipakai dalam mengungkapkan perasannya kepada Tuhan. Contohnya dalam berdoa. Maka, dalam Selamatan di PG Kebonagung itu, Mbah Nun ajak seluruh hadirin utamanya para petinggi dan jajaran PG Kebonagung untuk membuka giling yang segera dilakukan ini dengan membaca beberapa ayat suci al-Qur’an (lima ayat awal surat al-Fath) dan ayat Bismillahi majreha wa musraha innallaha laghofurur rohim dengan harapan produksi PG ini berjalan lancar.
Bacaan itu lalu diteruskan dengan membaca Bismillahil ladzi la yadhurru ma’asmihi syai-un fil ardhi wa la fissama-i wa huwas sami’ul ‘alim, doa Ya Muqollibal Qulubi wal Abshor, dan ayat Innama Amruhu Idza aroda syai-an an-yaquula lahu kun fayakun. Selanjutnya, KiaiKanjeng membuka dengan nomor Pambuko dan doa Khotmil Qur’an.
Begitulah, Mbah Nun mengingatkan sejumlah hal dasar itu dan mengapresiasi bahwa dengan Selamatan itu PG ini memiliki kesadaran bahwa semua ini milik Tuhan dan perlu izin kepada-Nya manakala mau melakukan sesuatu yang melibatkan milik-Nya itu. Kesadaran akan Tuhan itu pada gilirannya juga membawa kesadaran akan ciptaan atau makhluk-makhluk-Nya, dan acara Selamatan itu laku menyapa makhluk-makhluk yang berjasa dalam kehidupan ini, termasuk yang bertugas menyuburkan tanah sehingga tebu-tebu itu bisa tumbuh dengan sebaik-baiknya.
Semua makhluk Allah itu bersaudara, maka kita harus punya subosito/sopan santun, apalagi kita sebagai yang bungsu harus lebih tawadlu’. Begitu salah satu pesan Mbah Nun usai menjelaskan pemahamannya tentang Selamatan dan mendoakan Buka Giling PG Kebonagung malam itu.