CakNun.com

Sinau Lelaku Urip Gun Jack

Reportase Sinau Urip Alm Gun Jack Bareng Cak Nun, 23 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 15 menit

Mbah Nun sedikit menantang, “Kapan Muhammad Saw meminta Anda masuk ‘Islam’? Mana perintah dalam Al-Qur`an agar Anda memeluk Islam?” Yang ada adalah kita diperintah berbuat baik. Sebisa-bisanya, jadi manusia sing apik. Islam turun untuk menggembirakan dan memudahkan hidup manusia. Kemudian setelah baik, Allah menambahkan informasi-informasi yang mustahil kalau kita cari sendiri melalui jangkauan observasi, eksperimen, thoriqot maupun apapun keilmuan kita. Maka itulah informasi mengenai jin, malaikat, impresi sejarah ummat terdahulu dan sejenisnya.

Syahadat, adalah konsekuensi logis saja bahwa setelah hidup Anda dimudahkan, Anda mempersaksikan bahwa Dia-lah yang terlibat dalam semua ini. “Anak saja mengakui bapaknya kok. Anda makan nasi saja kudu anda akui bahwa dia nasi. Masa Allah ndak diakuin,” jelas Mbah Nun. Bukan karena Allah butuh pengakuan, tapi kita yang butuh mengakui. Maka tidak perlu ada paksaan. Syahadat biar ditemukan dengan jalan masing-masing.

Islam datang untuk memudahkan hidup. Sayangnya sekarang manusia terdorong terus untuk mempersulit orang lain. Tradisi tutur-tinutur, godaan untuk terus bernafsu ngandani, nyebar khotbah-ceramah via WA, share berita dan sejenisnya. Oleh Mbah Nun ini disambungkan dengan bahasan yang sedikit nyerempet ke parenting. Bahwa cara kita mendidik anak sebaiknya tidak dengan nuturi, nduduhi atau memerintah. Tapi ciptakan atmosfer kebaikan dalam diri yang kemudian produknya tampak pada perilaku.

Satu contoh konkret misal, “Kalau anak Anda memecahkan gelas. Coba jangan dulu perintah dia untuk membersihkan, tapi juga jangan langsung anda bersihkan begitu saja. Tapi coba bersihkan sedikit dan ajak dia terlibat.” Ini coba pembaca yang budiman gali-gali sendiri dan ukur-ukur sendiri.

Harap kita selalu ingat bahwa dalam Sinau Bareng, semua ilmu bukan bahan mentah semula jadi, tapi “tak kek i winih” benih agar lebih kita semua bisa membentuk dan menyusun taman-taman ilmu di manapun kita berada. Buah sudah terlalu banyak. Gula dalam buah itu fruktosa. Kalau kebanyakan fruktosa juga sangat tidak baik bagi lever. Untung buah-buahan itu banyak seratnya sehingga kita mudah kenyang. Maaf saya malah melenceng dari bahasan. Intinya, sosok penutur-nutur sudah banyak sekali apalagi pada kaum agamawan. Keyakinan saya, Islam tidak mengenal kelas agamawan.

Bila terlalu terbiasa diduduhi, anak akan cenderung bingung pada masa produktifnya. Saya termasuk orang yang minim inisiatif, mungkin saya juga dulu didikannya begitu. Anda?

Kadang energi berlebih juga membuat anak jatuh pada kebandelan-kebandelan dan kenakalan. Anak nakal sebenarnya ada energi yang dia tidak punya pikiran dan cara untuk menyalurkan. Maka ciptakan suasana yang kondusif bagi kreatifitas. “Biasakan memaknai sesuatu jangan dibiasakan manja dengan memberikan konsumsi makna terus-menerus,” kata Mbah Nun. Nah, pada berbagai hal dalam kehidupan kita belakangan kita ini seringnya konsumtif makna, bukan?

Semut sukanya ngumpul pada gula. Masyarakat kita aslinya sifatnya seperti semut. Semut bukan suka manis seperti kita. Makanya kita jadi sering sakit gula dan ginjal. Semut itu, siap melakukan apa saja dan jadi apa saja yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Hanya sayangnya pemangku kebijakan kita belum pernah diduduki oleh orang-orang yang mengerti peta kebandelan ala semu-semut ini.

Sejak awal kemerdekaan, kita masih diperintah oleh para kelas elite, baik elite agama maupun elite pergerakan. Bahkan mereka juga yang dulu pada masanya adalah orang-orang yang merasakan nikmat barokah kolonial. Pun ormas-ormasnya berdiri atas cap pemerintah Hindia-Belanda. Bagaimana logikanya begitu disebut revolusi?

Ada juga malah mereka kaum kelas menengah, intelek dan agamwan merasa paling tahu kebutuhan para jelata semut. Sehingga kita dalam banyak hal hanya dijadikan objek pengkonsumsi makna. Atau mentok sebagai data statistik jumlah pemilih dalam gelaran pemilihan politik. Ummat massa manut tunduk dicucuk hidungnya bagai domba berjiwa kerbau. Mirip sekali dalam lagu dolanan “semut-semut ireng, anak-anak sapi”. Mungkin ini adalah otokritik terhadap karakter kita.

Mbah Nun membahasakan, “Sudah nikmat jadi semut-semut ireng kok pengin jadi anak sapi”. Satu lagi tantangan Mbah Nun, misal tentara satuan khusus seluruh dunia berkumpul untuk memerangi semut, sanggupkah? Tentu tidak, sulit membayangkannya juga. Nah kita ini, semut-semut yang perlu menjaga kewarasan dan kebandelan.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta