CakNun.com

Sinau Lelaku Urip Gun Jack

Reportase Sinau Urip Alm Gun Jack Bareng Cak Nun, 23 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 15 menit

Kadang kalau kita sedang punya perasaan miris semacam itu, coba kita sadari satu dulu, bahwa atmosfer apa sih yang ada pada masyarakat yang membuat kita sah untuk menuntut mereka bisa berpikir lebih jangkep? Apakah ekosospolbud dan pendidikan mendukung? Apakah ada agamawan yang bergaul bersama mereka dengan wajar tanpa berat identitas ormasnya?

Bagi Mbah Nun ada tiga hal dalam hidup. Yakni ada hal yang bisa kita ubah, ada hal yang sukar untuk diubah, dan ada hal yang mustahil diubah. Kriminalitas, jelas hal yang mustahil dimusnahkan. Maka untuk hal-hal semacam itu, posisi kita cukup sekadar agar diri dan keluarga kita tidak terlibat dalam hal-hal yang tidak bisa kita ubah itu. Selainnya, kita cicil-cicil nabung, berdialog, sambil menikmati keapaadaan. Kalau dalam aktivisme, bolehlah ada logika pembelaan. Tapi dalam keseharian ya yang wajar-wajar saja. Jembar, tampung dunia dengan segala ketidaksempurnaannya.

Kosmopolitanisme Ndeso, Bukan Wong Middle Class Gumunan

Sinau Bareng adalah bertemunya pandangan-pandangan yang apa adanya begini. Bukan kumpulan orang pintar melangit kita ini. Di kampung Badran ini, Mbah Nun banyak sekali mengisahkan kejenakaan-kejenakaan dari berbagai daerah yang pernah beliau singgahi. Tanpa sadar, bila ada orang yang berlatar belakang antropologi atau sosiologi, ini juga bahan ilmu sebenarnya.

Misalnya cerita bagaimana liarnya orang Jombang ketika acara baru mau mulai tiba-tiba seorang ibu berdiri memprotes kepresidenan Gus Dur pada masa itu. Atau bagaimana kisah seorang tukang becak mengomentari caleg dengan kalimat “ngising gowo pecut”. Pengalaman Mbah Nun di desa-desa di Filipina sehari-harinya menggembala kambing.

Ada juga penanya yang ingin tahu soal hidup remaja Mbah Nun dan itu juga cukup membuka pintu menuju kisah-kisah dari Jombang ke Indonesia. Dari Menturo ke reformasi, kemudian keputusan bahwa reformasi adalah gagal total. Bahkan Ndan BS yang juga terlibat dalam reformasi melengserkan Soeharto berkata di panggung malam itu mengomentari presiden dan pejabat setelah Soekarno dan Soeharto, “Jebul kaya nitip gedhang ke ketek utawa nitip balung ten kirik

Mas yang bertanya soal masa muda Mbah Nun tadi, rupanya baru berusia tujuh belas tahun. Tujuh belas tahun seperti kita semua tahu, adalah belum delapan belas tahun. Aduh maaf.

Mbah Nun punya pengalaman menggelandang ke sudut-sudut peradaban dunia, dari desa-desa Filipina hingga Eropa Timur. Orang keliling dunia sekarang ini menurut saya pribadi sudah tidak spesial-spesial amat. Traveller banyak sekali sekarang. Tapi saya menikmati kalau Mbah Nun cerita pengalaman perjalanan beliau karena sudut pandang yang tersaji rasanya sangat otentik. Jelas bukan sudut pandang kelas menengah yang pulang haji lantas tergila-gila dengan kemewahan Masjidil Haram seolah itulah wajah Islam sesungguhnya padahal hanya tinggalan arsitektur daulah-daulah pasca Muhammad Saw.

Juga ketika Mbah Nun membangkitkan semangat mengenai kenusantaraan. Saya kira kita lebih banyak diajak menikmati hal-hal menarik yang ada di sekeliling kita. Hal-hal kecil semacam “Mental kaki lima, gusur, besok bangun lagi!”. Atau pada kesempatan Sinau Bareng di Muntilan Mbah Nun sempat bilang, “Saiki coba diatur volume adzan delok ae, malah dibanterno arek-arek iku.”Pperhatian pada hal-hal kecil semacam itu, perhatian yang feminis. Nah itu saya perlu selipkan satu kata “feminis” siapa tahu karena tadi sudah terlanjur menyebut nama band Rannisakustik terus mereka pada baca. Jadi saya tetap berkesan berkesadaran gender gitu.

Parenting Revolusi Semut-Semut Nakal, Tetaplah Bandel

Bila menggali peradaban Nusantara, cobalah lihat pada hal-hal kecil keseharian. Kalau patokannya pada sejarah, maka kita akan bergantung pada data sejarah yang ditemukan pada masa tertentu dan semua itu bisa dirombak. Kalau pada identitas, itu juga bukan hal yang layak dibakukan. Tapi olahan melalui isi kepala, keasyikan dalam menikmati yang sederhana dan keseriusan dalam menjalani hidup, srawung dan keluarga. Di situ.

Ummat-ummat terdahulu yang terkena azab kalau dalam Al-Qur`an itu sepertinya bukan karena mereka kafir. Ummat lain yang kafir banyak tapi tidak kena azab. Tapi dari cerita-cerita dalam Al-Qur`an, menurut Mbah Nun pola yang terkena azab adalah ketika ummat itu tidak serius dalam menjalani laku berkeluarga dan sesrawungan. Pesan Mbah Nun ini masih terbuka untuk kita gali sisi sejarahnya, tentu saja.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik