CakNun.com

Sinau Lelaku Urip Gun Jack

Reportase Sinau Urip Alm Gun Jack Bareng Cak Nun, 23 September 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 15 menit

Laa Ya’rifu Preman illa Preman

Istilah preman itu mungkin sekadar wacana dari kekuasaan formal ketika ada struktur kuasa lain yang di luar dirinya. Negara dibentuk atas dasar membuat struktur yang berniat memudahkan hidup manusia. Tapi ketika pada perkembangannya negara kemudian adalah makhluk asing yang alih-alih memudahkan malah justru seringnya mengancam-ancam, menidakkan, menyingkirkan. Maka struktur kuasa baru akan muncul. Manusia akan lebih memilih setia pada struktur yang jelas konkrit perannya dalam keseharian dibanding konsep awang-uwung negara atau NKRI yang abstrak. Sebut saja preman, tapi bagi manusia di sekitarnya mereka pahlawan.

Kami orang Bugis sangat menghormati Arung Palakka, La Tenritatta To Unru To-ri SompaE Petta MalampeE Gemme’na Daeng Serang To’ Appatunru Paduka Sultan Sa’aduddin. Raja Bone itu oleh sejarah NKRI selalu dikenang sebagai pengkhianat yang bekerja sama dengan VOC. Bone dibumihanguskan oleh kerajaan Gowa-Tallo, tapi kalau kita mau lihat lebih detail sesungguhnya hampir semua kesultanan saat itu sudah punya backing kongsi dagang Eropa. Hanya penyeragaman sejarah nasional butuh mengantagoniskan Belanda untuk kepentingan pergerakan pada 1930-1940 plus supaya Nippon senang pasca 1942. Nippon kita tahu sangat diarep-arep oleh elite pergerakan dan agamawan.

Sehingga bekerja sama dengan kongsi dagang Portugal dan Spanyol dianggap pahlawan dalam sejarah nasional karena pasti perang dengan kesultanan yang berkubu pada kongsi dagang Belanda yakni VOC. Coba pembaca yang budiman kumpulkan semua nama kongsi dagang Eropa itu dan terjemahkan pada bahasa Inggris, niscaya hasilnya akan bhinneka tunggal ika, yakni semuanya adalah “East Indian Company” juga. Sejarah berdirinya VOC sendiri, siapa para majikan yang berkumpul menyatukan modal saat itu, juga susah untuk kita telusuri sekarang.

Kesultanan Bone yang ditaklukkan dan Arung Palakka kemudian harus menjadi abdi di kediaman Karaeng Pattinggaloang yang sangat mencintai peradaban dan ilmu pengetahuan Eropa (akademisi sekuler ini juga adalah alasan Syekh Yusuf enggan kembali ke tanah Sulawesi tercinta). Pada masanya Arung Palakka berhasil kabur sampai ke Batavia. Di kota setengah Eropa ini, dia mulai membangun kembali struktur kekuasaannya, menaklukan para jawara dan preman jalanan di Batavia. Memobilisasi kaum gelandangan, resedivis, buronan. Menjadi kekuasaan jalanan baru yang mau tidak mau diperhitungkan oleh VOC. Dengan kekuatan jalanan itu Arung Palakka direkrut VOC, mendapat jabatan dan menaklukkan beberapa kesultanan di Sumatera. Namun seiring jasanya, dia kemudian kembali ke tanah kelahirannya membawahi laskar laut VOC dan menuntaskan dendam sirri’ (harga diri) yang terluka bertahun-tahun. Orang jalanan mengerti harga diri.

Tidak semua langkah Arung Palakka benar, dan saya menuliskannya agak emosional terutama karena pernah membaca tulisan George Aditjondro yang mengamini pengantagonisan Arung Palakka. Kadang karena saking emosional, beberapa detail dan timeline agak terkacaukan. Kita perlu melihat dari sudut pandang zamannya. Sejarah nasional kita penuh dengan penyeragaman sudut pandang tanpa mengindahkan suku-suku yang tersakiti hatinya karena rajanya dianggap pemberontak, padahal NKRI saja belum lahir. Siapakah NKRI ini yang berani-berani menentukan siapa pahlawan dan siapa pembangkang pada masa jauh sebelum kelahirannya sendiri? Anak siapa sih NKRI ini?

Ada istilah di antara para pelaku jalan sufi “laa ya’rifu wali illa wali”, tak mengenal seorang wali kecuali juga wali. Sebenarnya, tidak hanya dalam kewalian tapi juga di berbagai bidang manusia cenderung akan mengenali sejenisnya. Para jago pendekar catur akan langsung tahu seorang lawan catur yang mumpuni tanpa dia perlu mencicipi pertandingan melawannya. Otak kita terlatih untuk melihat similarity dan kemudian kontradiksi untuk menuju pada ketertarikan. Jadi istilah tak kenal wali kecuali wali itu ya rasanya sangat rasional dalam kajian psikologi. Sekarang, siapakah yang memahami hati dan perasaan orang-orang di jalanan?

Kepolosan Jalanan di Hadapan Rekayasa Raksasa Intelektual

Persoalannya memang mungkin orang jalanan tidak semuanya punya kemampuan untuk bertopeng-topeng dengan kalimat intelektual. Mereka lebih banyak hidup pada atmosfer maskulin di mana pertarungan depdepan adalah cara yang mereka tahu. Beda dengan kaum pergerakan yang tahu cara heroisme dan antagonisme, beda dengan politisi yang mengerti cara menyamarkan citra berlapis-lapis berlipat-lipat. Kepolosan kaum jalanan itu kadang menjadi mangsa empuk bagi kalangan yang mengerti cara-cara memutarbalikkan permasalahan. Arung Palakka yang saya sebut tadi, bahkan pengantagonisannya bertahan berabad-abad. Walaupun aslinya, kalau NKRI mensahkan Arung Palakka jadi pahlawan juga belum tentu mau.

Gun Jack sendiri pernah hampir jadi korban dari rekayasa-rekayasa, intrik dari kaum politik dan terpelajar. Tahun 1996, seorang wartawan yang sedang mengurai kasus kongkalikong di balik sebuah kekuasaan politik lokal, terbunuh setelah dianiaya di depan rumahnya sendiri. Wartawan Udin, setelah tiga hari koma, meninggal dunia di Rumah Sakit. Kasus tewasnya wartawan Udin segera (di)booming(kan).

Wartawan tentu tanpa sadar ada senangnya ketika ada kasus yang bisa diangkat dan berguna untuk membangkitkan rasa heroik kalangan jurnalis. Setiap ada kasus sejenis entah penghilangan aktivis, pembunuhan wartawan atau yang sejenisnya, kaum wartawan akan terus mengangkatnya. Beberapa dari mereka benar-benar tulus atas dasar solidaritas dan pengungkapan kebenaran, lainnya entah. Kita husnudhon saja. Sedangkan dalang pembunuhannya tentu saja bermain talbis-talbis rekayasa demi menutupi jejak. Sekenario mentersangkakan Dwi Sumaji alias “Iwik” ternyata gagal.

Rekayasa menjurus dan mengarah pada sosok Gun Jack. Seorang nomer satu di belantara jalanan. Andai jadi ditersangkakan tentu adalah santapan lahap bagi para intelektuil, baik pembela maupun perekayasanya. Gun Jack tak punya lagi tempat berlindung saat itu. NKRI tak punya kemampuan sebesar itu untuk melindungi rakyatnya apalagi Gun Jack. Itulah masanya beliau almarhum ke Kadipiro, sowan Mbah Nun.

Lainnya

Duka Cinta Indonesia

Duka Cinta Indonesia

Sejak siang hujan cukup deras mengguyur kota Pati hingga dimulainya Maiyahan Suluk Maleman di Rumah Adab Indonesia Mulia.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta