Sinau Bebarengan Mengamankan Diri dari Mabuk Thaghut
Menurut Mas Karim, yang disebut sekuritas atau kemanan, bagi banyak orang selalu dikaitkan dengan tindakan pengamanan fisik atau sekadar membentengi ideologi. Ini membuat orang sering jatuh pada sikap menolak dan mengenyahkan yang lain, karena yang di sana, yang berbeda, yang tidak sependapat, yang lain rasa tafsir, dianggap ancaman. “Sekarang ini di berbagai belahan dunia, orang semakin tidak percaya pada kata perdamaian karena setiap ada yang bicara perdamaian, yang dikirim selalu adalah pasukan yang telah membawa konsep sendiri mengenai siapa musuh dari perdamaian itu,” ungkap mas Karim.
Dan tentu kita tahu, setiap ada yang mendaku menjaga perdamaian dan keberagaman dengan konsep ada musuhnya, jelas itu sudah akan membawa pertengkaran baru. Tapi tentu, hal seperti ini paling mudah diterima oleh orang yang mentalnya massa bukan jamaah. Kenapa? Karena sepele secara pikiran. Kalau saya boleh coba rumuskan, itu semacam kesadaran “Kita hero vs sana musuh, binasakan! Supaya apa? Supaya damai. Lho?”
Apakah kita berpikir Orba menjadi orba hanya karena Soeharto jahat saja? Atau bisakah kita berpikir bahwa, memang sejak sebelumnya, potensi untuk saling mengenyahkan sudah ada. Soeharto hanya orang yang ada di pucuk kekuasaan tirani, tapi belakangan kita lihat potensi menjadi tiran itu ada pada setiap kita. Selama kita merumuskan masalah ada pada orang lain, selama kita melihat golongan lain sebagai sesuatu yang harus dienyahkan. Bukannya ditampung dengan keluasan, ya kita sdang menabung mental tirani dalam diri kita dan kita hanya menunggu saat–mengutip kalimat Mbah Nun yang sudah sangat lama dituliskan–“Mengincar macan untuk dimacani kembali”.
Dari itulah menurut Mas Karim, secara sadar maupun tidak, orang-orang Maiyah telah menjalankan peran sekuritas, mengamankan sejak dalam pikiran dan tampaknya peran ini memang belum banyak diambil. Kurang populer? Atau terasa terlalu njelimet? Perdamaian mestinya dibangun di atas logika yang sehat, bukan karena didogma-dogmakan dan didoktrinkan. Satu-satunya doktrin yang bisa kita terima sebagai kaum muslimin Islam adalah bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah kekasih-Nya. Selainnya adalah tafsir, adalah pendapat, adalah kumpulan subjektivitas yang dikatakan objektif. Mas Karim memang mengawali pembahasan dari struktur pikir akademis-ilmiah, dan ini penting untuk kita lihat itu juga sebagai tarekat sendiri dalam mencercap pemahaman.
Eh ngomong-ngomong soal tarekat, Mas Helmi juga sempat menyampaikan materi yang didapat dari Syekh Kamba yakni mengenai tarekat virtual. Walau singkat, tapi istilah dan bahasan itu cukup melegakan bagi anak zaman now seperti saya yang tentu berjarak dengan tarekat formal yang berkembang. Malam ini mungkin Mas Helmi belum menjelaskan lebih banyak karena keterbatasan waktu, tapi lain kali saya sendiri berharap ada pembabaran mengenai materi ini secara lebih khsusus. Istilah tarekat virtual ini sudah pernah disinggung juga oleh Syekh Kamba dalam buku beliau “Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam”.
Malam ini saya ada pengalaman sendiri juga, ketika Mas Karim sempat berkata bahwa konsentrasi orang Maiyah itu selalu meneliti dirinya sendiri. Saya sedang meneliti diri saya sendiri waktu itu karena baru saja saya menandaskan satu piring nasi rames, menyelesaikan reporase singkat, tiba-tiba tepat ketika paragraf terakhir saya tuliskan, perut saya langsung keroncongan lagi. Jadi pesan lagi, ketika tiba saatnya bayar saya takjub dengan biaya makan malam yang termahal yang pernah saya alami di Maiyah. Yakni tiga puluh dua ribu rupiah untuk: Dua piring rames (plus telor ceplok masing-masing), dua gelas kopi, satu botol air mineral, empat tahu bacem dan satu sate telor. Padahal seminggu ini saya sudah berhasil mencapai defisit kalori yang saya targetkan dan runtuh lagi. Tapi tidak apa, kadang kita butuh meruntuhkan pemahaman lama untuk menggapai pemahaman baru dan itu kita alami terus dalam setiap kali bermuwajjahah satu sama lain di majelis-majelis Maiyah, bukan?
Kiai Muzammil tentu juga adalah warna yang kental Madura. Kiai Madura kita ini berorasi dengan berapi-api dan full Madura style. Dari kondisi garam Madura, gula di Jawa hingga perkembangan keagamaan dan politik nasional semua dibabat habis oleh Kiai Muzammil. Ketika Kiai Muzammil menyinggung soal garam Madura dan Gula di Jawa, walau bernada bercanda, “Semua orang sakdunyo kan butuh garam jadi butuh Madura, begitu juga sakdunyo ini butuh gula jadi butuh Jawa.” Tapi saya teringat yang sedang saya baca-baca.
Ini serius, kita tahu kenapa orang Amerika selalu punya istilah yang mengindikasikan gula dan manis untuk beberapa hal. Misal “sweetlove” atau “sugar” untuk memanggil orang yang dicintai dan banyak lagi lainnya. Gula dan emas, itu dua kata yang paling banyak melahirkan idiom Amerika. Emas jelas kita tahu karena fenomena goldrush. Tapi gula, itu sebab pada akhir 1800-an, ekonomi Amerika terbangun dari saham-saham perusahaan gula dan perkebunan tebu. Saham itu dialirkan ke pulau Jawa melalui perusahaan-perusahaan Eropa. Perusahaan menyewa lahan tebu dari pribumi pemilik tanah sejak UU Agraria disahkan pada 1870 karena Hindia-Belanda tidak mengizinkan orang asing untuk beli lahan. Tapi sebaiknya bahasan itu saya tunda dulu, rasanya Kiai Muzammil hanya bercanda tadi.
Dan oh how sweet malam ini rupanya penyair kesayangan kita Pak Mustofa W Hasyim sedang berulang tahun. “Beliau merayakan ulang tahunnya sendiri dengan menyiapkan puisinya sendiri dan akan dibacakan sendiri,” kata Mas Jamal di pangung. Memang sweet dan agak absurd juga sesepuh kita ini. Tapi demi Allah kita mencintai beliau. Namun yang tejadi kemudian Kiai Muzammil, Pak Jokam juga akhirnya ikut membacakan puisi-puisi karya Pak Mustofa yang manis-manis sedap menyentak itu.
Pukul 03.00 WIB, malam memantas-mantaskan diri menyambut subuh dan doa-doa dilantunkan, ini juga sedang suasana Maulid Nabi Muhammad sehingga Kiai Muzammil secara khusus mengajak kita semua mengekspresikan cinta dengan membacaka syair Burdah karya Imam Busyiri. Imam Busyiri ini tentuk tidak NU dan tidak Muhammadiyah, karena beliau lahir dan berkiprah jauh sebelum ada organissi-organisasi modern tersebut. Tapi kecintaan pada Sang Rasul melesat melintas zaman, membangkitkan gairah perjuangan dalam menghadapi thogut-thogut yang bisa lahir kapan saja dan di mana saja. Kecintaan dan perjuangan, itu tampak pada wajah-wajah yang hadir di setiap majelis Maiyah.