Sinau Bebarengan Agar Suporter Tetap Manusia
Mbah Nun mengajak untuk lebih proporsional dan presisi dalam memikirkan sesuatu. “Jangan menuntut pelatih seperti kamu menuntut pemain,” begitu Mbah Nun memberi analogi. Sebab memang kita tengah berada pada situasi zaman di mana banyak sekali tuntutan diarahkan pada sorotan yang kurang tepat. Kiai dituntut jadi ulama, presiden dituntut jadi pemimpin, pemimpin malah tidak benar-benar dicari dengan konsep kepemimpinan yang tepat guna. Banyak sekali sekarang ini.
Kata “Bareng” dalam Sinau Bareng memang bukan sembarang kata. Bareng itu memang bebarengan, sesrawungan dan tidak basa-basi. Bareng, itu suporter juga disertai Pak Bupati, Kapolres juga sesepuh-sesepuh yang mereka ta’dhimi seperti Habib Anis dan Pak Jalil.
“Siapa saja, jangan sampai berkonflik sama Allah,” pesan Mbah Nun, dan untuk itu kita mesti mesra pada sesama manusia, serta memesrai kekasihnya Rosulullah Muhammad Saw. Alam semesta, hewan, tumbuhan serta berbagai makhluk lainnya yang di luar jangkauan rasio kita adalah saudara tua yang juga kita mesrai. Allah bertajalli dalam berbagai fenomena di luar maupun di dalam diri kita.
Mesra pada manusia juga diekspresikan dengan mendoakan saudara-saudara kita di Donggala, Palu, Lombok dan berbagai tempat yang belakangan ini sedang ditimpa ujian-ujian dari alam. Para suporter membuktikan solidaritasnya dengan mendoakan sekhidmat penuh gelora doa-doa tersebut. Doa yang insya Allah akan memantul pada kemuliaaan diri mereka sendiri.
Di dunia kita berada pada area serba ketidaktahuan, maka syafaat Rasul adalah satu-satunya yang bisa kita gondeli. Kalau gondelan sarungnya Kiai jangan, nanti melorot. Apalagi kalau berat badan tidak terkontrol. Jaga kesehatan. Hanya Rasulullah yang kuat membopong kita semua lewat syafaatnya, tidak ada manusia lain.
Sholawat kamilah melantun, khusyuk, syahdu penuh kegembiraan. KiaiKanjeng benar-benar melayani para hadirin dengan menu musikal yang tak sekadar enak didengar, tapi juga memuncaki pemaknaan. Ada daya perjuangan, nyala hidup dan harapan. Saya tidak terlalu paham artinya, saya hanya bisa merasakan impresi dari para hadirin yang kebanyakan mungkin lebih akrab dengan yel-yel suporter ini. Ternyata shalawat juga bisa sebersemangat ini.
Dari lapangan Simpang Tujuh, tampak sebuah menara ikut menyaksikan dari kumandang cakrawala. Mudah saja membayangkan menara itu ikut bergembira, tersenyum bersama lantunan kegembiraan malam ini, duhai Al-Aqsa kah itu? Yang disinggahi seorang manusia termulia sepanjang usia semesta, mendirikan shalat kemudian melesat ke sidratul muntaha? Di manakah sesungguhnya Al-Aqsa itu Kanjeng Nabi? Agar bisa kami rasakan sejuk atmosfer jejak telapak kakimu. Bolehkah kami meyakini bahwa Al-Aqsa itu ada di sini, malam ini, di antara kami? Boleh ya?
Zaman memang sedang membingungkan, tapi sebenarnya zaman mana yang tidak? Mungkin kadar kebingungan pada zaman ini memang jauh lebih parah dari sebelum-sebelumnya. Maka Mbah Nun juga memberi olahan latihan kita agar lebih waspada dalam meneliti sesuatu. Mana keras kepala mana istiqomah? Mana yang galak mana itu tegas? Mana sederhana mana yang sepele? Kita sedang jauh dari presisi-presisi semacam ini sehingga kita sering ingin meng-hero-kan seseorang dengan narasi sosok sederhana tapi jatuhnya malah sepele. Kita mau pemimpin tegas tapi malah tukang bentak. Bahkan Pontius Pilatus bisa mentalbiskan diri sebagai Al-Masih sekarang ini. Kita ingin menta’dhimi tapi malah mengkultuskan.
Leluhur Nusantara telah mengelaborasi satu susunan logic sendiri yakni dengan teknologi roso. Ini pun sering disalahpahami sebagai sekadar intuisi, perasaan, mood atau hal-hal magis semata. Padahal roso jauh lebih dalam, lebih tajam dan itu benar-benar kita butuhkan pada zaman di mana segalanya simpang siur seperti sekarang.
Hati yang gembira, hati yang selesai, hati yang selalu terkoneksi dengan Menara Sinyal Yang Maha Kudus. Maka kegembiraan tak pernah luput dalam Sinau Bareng. Lagu bergenre dangdut dibawakan, Mbak Nia menjadi lead vocal. Seorang pria dengan kostum Macan Muria berjogetan di sebelah Mbak Nia. Lepas saja dan nikmat sekali rasanya Mas itu. Mas Urip Utoyo namanya ketika belakangan ditanyai oleh Mbak Nia di panggung. Sudah berkeluarga dan tentu, pedukung sejati Persiku tidak perlu tersipu-sipu dia tegaskan seperti itu.