CakNun.com

Sinau Bebarengan Agar Suporter Tetap Manusia

Reportase Sinau Bareng Macan Muria Kudus, Alun-Alun Kudus, 2 Oktober 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Beberapa waktu lalu saya sempat dengar berita seorang suporter tewas akibat ulah segerombolan sesama suporter sepak bola. Tapi yang di depan kita, mental suporter ormas, suporter capres, suporter aswaja vs supoter wahabi, suporter HTI, suporter NU, supporter Muhammadiyah, suporter LDII, suporter aktivisme, suporter ideologi, suporter narasi, suporter tarekat formal, suporter politik serta berbagai mental moralitas kawanan lain menyimpan potensi yang agaknya lebih mengerikan dari itu.

Kita belajar bagaiamana menjadi manusia saja, jangan jadi suporter dalam pengartian yang sudah-sudah itu. Apalagi suporter Maiyah, Maiyah fans club atau Cak Nun mania. Kita belajar mandiri berpikir dan mengaktifkan roso, pun malam tanggal 3 Oktober 2018 M ini, di Lapangan Simpang Tujuh, Kudus. Al-Quds.

Kesan saya selama ini, suporter olahraga adalah kumpulan penganut moralitas kawanan. Tak lebih dari itu. Saya tidak bisa melihat di mana istimewanya dan ada harapan apa di balik hal semcam ini. Saya pernah coba nonton sepak bola di stadion dan gagal juga merasakan euforia atau alasan kenapa saya harus senang ketika ada seorang pemain di sana yang tidak kenal sama saya, menjebol gawang tim lain. Ini hal yang di luar batas rasional saya.

Tapi belakangan, manusia tampaknya tidak sudi terus-terusan hanya jadi gerombolan tanpa makna. Mereka ingin menggali dan memberi impresi pemaknaan pada segala sikap dan pilihan hidup mereka. Terlanjurnya ada dalam thoriqot suporter, maka mereka perlu mencari apa yang positif yang bisa dilakukan sebagai suporter. Andai datang ke pengajian belaka, maka pemaknaan akan datang dari luar, dari agamawan penceramah biasanya. Tidak, pemaknaan hanya akan kontekstual bila datang dari diri sendiri. Maka Sinau Barenglah cara yang mereka pilih.

Itu tampak ketika Mbah Nun meminta dibentuk tiga kelompok, saya agak terbatas mendengar nama-nama kelompok kecil yang terbentuk. Nampaknya semuanya adalah nama makanan khas Kudus. Sebab dari situ Mbah Nun sempat menggali poin keilmuan, bahwa makan itu wajib tapi tidak diwajibkan, “Sebabnya apa? Soalnya tidak disuruh pun kamu pasti makan.”

Ini bikin saya teringat satu bahasan di kajian kritis historis hadits, bahwa hampir semua hadits mengenai menghormati ibu itu tidak bisa dibuktikan kesejarahannya, tapi juga tidak ada perawi yang repot-repot presisi dan waspada soal ini. Karena ada atau tidak ada perintahnya, secara naluriah manusia pasti menghormati ibunya. Semua perawi pasti berusaha waspada dalam menelusuri hadits. Tapi kadar kewaspadaanya itu bisa berbeda bergantung pada urgensi tema pada masa hadits itu diproduksi. Soal kekuasaan dan politik, kewaspadaan selalu meningkat.

Mbah Nun memberi beberapa poin pertanyaan yang perlu digali oleh diri mereka sendiri. Suporter Persiku yang bergelar Macan Muria ini kemudian diberikan daftar penggalian:

Apa yang kamu harapkan dari Persiku? Apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh suporter? Apa hubungan olahraga dengan kehidupan masyarakat, baik Kudus maupun skala negara? Apa hubungan sepak bola dengan agama? Dan bagaimana pengaruh hidup sebagai suporter dengan penghidupan ekonomi pribadi masing-masing?

Tiga kelompok yang dibentuk dengan diiringi beberapa antaran dari Mbah Nun langsung bersegera membahas serius. Walaupun yang diwajibakan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah tiga kelompok tadi, namun seluruh hadirin juga ikut memberi impresi. Dan oleh Mbah Nun disarankan agar membuat catatan-catatan yang diserahkan pada komandan suporter agar bisa menjadi bahan pertimbangan ke depan. Dari gelagatnya, tampaknya catatan yang diterima pimpinan suporter akan segera menumpuk beberapa hari ke depan.

Pimpinan suporter juga memberi sambautan hangat. Bahwa mereka memang memilih Sinau Bareng agar menjadi suporter sepak bola tidak sekadar itu, tapi bisa lebih bermanfaat. Dengan begitu Kudus tidak hanya akan dikenang dengan tonggak-tonggak tempat monumentalnya, tapi juga dengan kemuliaan suporter sepak bolanya.

Anggapan saya selama ini, bahwa suporter adalah sekumpulan manusia yang kurang bisa mikir rupanya bisa terbukti tidak begitu benar pada malam itu. Di lapangan Simpang Tujuh, Kudus ini, para suporter juga ternyata adalah manusia yang bisa dan mau mendayagunakan akal pikirannya, asal ada kesempatan untuk belajar bersama. Sambil menunggu tiga kelompok tadi berdiskusi, Mbah Nun memberi berbagai antaran tema-tema yang merupakan benih dalam pikiran.

Lainnya

Maiyah Penangkal Petir

Maiyah Penangkal Petir

Memasuki tahun 2022, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan secara offline.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta