CakNun.com

Sinau Bareng yang Menggejala Menjadi Peradaban

Catatan Sinau Bareng CNKK di Universitas Tidar, Magelang, 14 Desember 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 8 menit

Kita dibawa mengenang peradaban-peradaban dan satu kalimat yang saya sangat bersyukur menemukannya malam ini, ketika Mbah Nun bilang “menggejala menjadi peradaban” saya hampir terlonjak, seperti menemukan kalimat yang saya cari tapi tidak ketemu-ketemu. Bila dibabarkan mungkin singkatnya begini, bahwa peradaban lebih tinggi daripada kebudayaan. Zaman membentuk budaya. Budaya dikenang jadi tradisi. Ketika jauh berlalu, dia tinggal kesan-kesan kenangan, sebab apa? Sebab data sejarah kan bisa hilang, lenyap, sepi, tak terkenali lagi atau musnah. Maka pola laku satu zaman akan dikenang sebagai gejala peradaban.

Jauh sebelum itu kesadaran sejarah manusia Nusantara sebenarnya sudah ke situ. Walau perlu kita waspadai juga apa ini Jawa modern atau Jawa kuno. Para penyair Jawa menuliskan sejarah dengan kata “serat” itu memang padanannya sama, serat-serat halus. Maka dia tidak banyak bicara fakta sejarah, tempat, lokasi, tanggal atau apa-apa semacamnya. Mirip dengan Al-Qur`an yang tidak banyak bicara fakta sejarah saat membahas hikmah masa lalu, bahkan di mana itu yang namanya Baytul Maqdis tidak ada rujukannya bahwa itu Palestina di Al-Qur`an, itu versi sufistik formalnya Turki Utsmani.

Maka dia mengambil seratnya, garis halus yang bisa dihikmahi dari satu fenomena zaman. Beneran fakta atau tidak ya tidak masalah. Apakah Baratayudha pernah terjadi? Apakah Walisongo memang pernah ada? Kalau mau bicara teknis akademis, berapa banyak makam keramat yang sering diziarahi yang pernah diuji usia bendanya? Tapi kita bisa, begini. Yakini yang menurut kita berguna dan bisa memberi manfaat sebanyak mungkin, dengan takaran kebermanfaatan yang sedang berlaku pada zaman kita.

Ketika para pejuang workshop telah selesai membabarkan hasil temuan mereka, Mbah Nun sampaikan bahwa yang ditunggu oleh Mbah Nun bukan sekadar jawabannya, tapi bahwa akan muncul pertanyaan kenapa Mbah Nun menanyakan hal-hal itu. Sekali lagi, kemampuan menemukan pertanyaan yang menjadi ukuran kualitas kita bukan? Ibrahim As Bapak peradaban tauhid itu kan memulakannya dari pertanyaan juga. Saya mungkin tidak masuk pada detail mencatat hasil-hasil dan kejadian ketika presentasi workshop para pemuda. Saya harap Mas Taufan yang tinggal lebih dekat dari daerah ini akan punya catatan sendiri mengenai itu dalam reportasenya. Pembaca yang budiman kalau punya catatan juga lebih baik, catat sebanyak mungkin. Jadi penyedia data sejarah di masa depan.

Senada dengan yang dibahas oleh Mbah Nun bahwa di Magelang ini banyak potensi pemuda, saya juga sedang agak terburu-buru janjian dengan seorang sahabat yang saya kenal lewat medsos. Mas Kury Yusuf namanya, dia punya produk (dan sekaligus nama akun IG) Propagandasmu. Saya sempat membeli produknya dan menjadi akrab, tapi baru malam ini berkesempatan bertemu. Mungkin karena kami sama-sama agak punya sisi anarkis walau tetap nasionalis dalam soal Nusantara-nya. Anarkisnya itu kalau sudah ketemu kalimat yang membosankan semacam NKRI Harga-Hargaan. Cukup terkejut saya ketika sudah ketemu, Mas Kury Yusuf ini ternyata pegawai BUMN dan rupanya sering mengikuti kajian Maiyahan lewat internet. Saya jadi sepakat sekali dengan kalimat Mbah Nun, bahwa Magelang punya potensi yang luar biasa.

Kita memasuki zaman baru sekarang ini. Sejarah dan kesadaran sejarah pun akan baru. Kelak, seratus atau seribu atau seratus ribu tahun dari sekarang, cara mengenang kejadian saat ini akan berbeda dengan cara kita sekarang mengenang kejadian di masa lalu. Yang paling dekat, urgensi negara pada diri manusia dalam kurang dari lima puluh tahun kedepan akan luntur. Bentuk negara sudah tidak akan bertahan lama lagi. Mitos dramatisasi nasionalisme seperti yang ada sekarang ini, layu sudah. Itu era pasca negara belum tentu akan sangat ideal, tapi hadapi saja. Berani.

Sebab cara data bekerja berbeda, setiap kita sekarang menjadi penyedia data. Dari catatan, dari akun social media dan dari apapun yang itu nanti bisa digali oleh sejarahwan (kalau masih ada istilah itu nantinya) di masa depan. Kelak mereka, manusia-manusia di masa depan, akan membaca dan mengenang satu ini bahwa ada yang terus berjalan, menelusup dari kota ke desa-desa, dari pusat ke pinggiran, dari bumi ke langit berlapis-lapis. Memfasilitasi kesadaran manusia untuk menemukan otentisitasnya masing-masing, yang terus berjalan ini namanya Sinau Bareng, Maiyah. Sejak sekarang dia sudah telihat tapi jauh lebih ke depan akan lebih tampak memancar-mancar, menjelma menggejala menjadi peradaban. Peradaban Sinau Bareng.

Lainnya

Maiyah Penangkal Petir

Maiyah Penangkal Petir

Memasuki tahun 2022, Kenduri Cinta kembali diselenggarakan secara offline.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta