CakNun.com

Sinau Bareng yang Melipat Jarak

Liputan Sinau Bareng CNKK di Desa Ngelang, Magetan, 29 November 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 3 menit

Dalam kitab Sirr al-Alamayn, Al Ghazali berpendapat bahwa seorang ‘arifin billah seringkali diberi kemampuan melipat jarak, sehingga jarak yang jauh tertempuh dengan singkat. Seringnya saya mendengar hal semacam ini disampaikan dengan sedikit kesadaran magis. Tentu itu tidak salah, tapi bagaimana kalau kita menerapkan yang rasional saja dulu? Karena yang rasional-rasional saja kita seringnya belum tentu lulus.

Bagaimana kalau kita pahami mengesampingkan pemitosan magis, mungkin maksudnya Al Ghazali adalah seorang ‘arifin billah itu tentu orang yang sangat sibuk wira-wiri, mrono-mrene demi menebarkan kemanfaatan, mengobati kecemasan manusia, menegakkan tauhid, nandur benih keilmuan, serta menyirami kebahagiaan di mana-mana. Dia tentu sangat sibuk sebab dia tidak terikat dan tentu merdeka dari kejar profesi, gelar keulamaan formal, institusionalisasi kemursyidan, kungkungan ormas serta formalisme tarekat. Maka dia akan (di)bertemu(kan) dengan manusia sebanyak mungkin dari berbagai latar belakang. Bisakah begitu? Sebab Islam yang saya tahu, bukan sekadar agama dan bukan pula agama petapa belaka. Dia adalah dien, satu-satunya yang diakui oleh Allah sendiri sebagai dien.

Saya teringat elaborasi Al Ghazali tersebut ketika mendapati bahwa Mbah Nun dan KiaiKanjeng pada hari-hari belakangan tampak benar-benar seperti melipat jarak tanpa lelah. Setelah semalam bersama masyarakat Ponorogo dan pagi tadi membersamai para warga lapas kelas I Madiun, malam hari ini Mbah Nun dijadwalkan untuk membersamai para warga di Desa Ngelang dalam rangka acara Bersih Desa Ngelang, Kecamatan Kartoharjo, Kabupaten Magetan.

Andai Mbah Nun hanya seorang penceramah belaka, padatnya jadwal belum tentu sesuatu yang perlu kita akui. Karena toh sesibuk-sibuk kalau metode ceramah, seorang penutur telah punya bekal padat mengenai apa yang akan diomongkan pada khalayak. Artinya khalayak ya tinggal dengar, suka tidak suka, butuh atau tidak.

Tapi kita tahu, metode Sinau Bareng seperti yang digelar malam ini pada Kamis malam tanggal 29 November 2018 M tidak melulu sekadar ceramah atau tausiyah saja. Lihat itu poster yang melatari panggung ada tema dari panitia bertajuk “Ngengilang Sukerto”. Nah ini istilah apa? Saya yang kurang pandai berbahasa Jawa tidak paham. Tapi intinya dalam Sinau Bareng, Mbah Nun dan KiaiKanjeng mengolah sesuatu yang datang, apa yang dibutuhkan masyarakat itu sendiri.

Tanah lapang tempat Sinau Bareng digelar, masih lembek, basah karena diguyur hujan. Panitia acara yang rata-rata belia, mengenakan kaos dengan sablon bergambar wajah Mbah Nun dan gunungan wayang, simbol kesemestaan manusia Jawa. Warga berduyun-duyun mengalir dari berbagai penjuru menuju ke tanah lapang. Menuju ke kelapangan, ikhtiar menjadi ruang, menampung bukan sekadar perabot. Baik perabot negara maupun perabot ormas.

Setelah KiaiKanjeng menemani para warga bershalawat, Mbah Nun malam ini bersetelan hitam dengan peci coklat, tiba di lokasi dengan diantar rombongan warga, keamanan desa dan panitia. Jalan yang akan dilalui Mbah Nun, jalanan di tanah lapang yang basah dan lembek itu, disorot dengan lampu senter, blitz telepon seluler dan apa saja yang bisa mereka nyalakan. Mereka nyalakan. Mereka menyalakan cinta mereka.

“Bismillahirrahmanirrahim sedulur-sedulurku kabeh, mugo-mugo suk suk ndek swarga nanti keadannya seperti di sini nggih,” Mbah Nun langsung meminta bocah-bocah, dan memang banyak anak-anak yang hadir diantarkan orang tuanya, untuk membacakan surah-surah pendek.

Seorang bocah naik ke panggung, Mbah Nun sedang berbicara tiba-tiba bocah itu melantunkan, “Bismillahirrahmaanirrahim, Qulhuallahu ahad… Allahuu… Ahad? Lhoh, Lhoh? Allahusshomad…” Inilah Sinau Bareng, ketidakterdugaan itu langsung direspons oleh Mbah Nun, “Ndak apa-apa, teruskan, teruskan.”

Seketika kemesraan membuka, ceria. Gerimis tipis-tipis tetap menyenangkan rasanya malam ini. Saya masih terngiang-ngiang kriteria ‘arifin billah ala Al Ghazali di sebuah kitab itu. Entah kenapa saya teringat hal itu. Tapi saya tidak mau larut dalam perenungan belaka, saya ingin ikut merasakan kemesraan malam ini.

Dan melantun Shalawat Nariyah dan Shalawat Kamilah, malam semakin indah.

Lainnya

Topik