Sinau Bareng “Momong Generasi”
Allah ingin mesra-mesran dengan makhluk-Nya, terutama kepada manusia. Maka manusia dibekali potensi berupa akal-rasa, batin, indra dan segala macam perangkat untuk menuju kepada-Nya. Jadilah Stephen Hawking mendaki-daki Grand Design-Nya. Para aktivis tasawwuf berkhalwat merumuskan wahdatul wujud. Sufi Jawa mendemokrasikan-Nya dalam manunggaling kawula gusti.
Einstein meraba cahaya dalam relativitas, mungkin sudah berdebat dengan Newton sekarang di dimensi mana entah. Gregory Parelman menolak hadiah jutaan dollar dan kembali pada hidup zuhud di sebuah flat kecil merawat ibunya setelah memecahkan satu di antara tujuh misteri matematika dunia. Bobby Fischer menghilang dari dunia percaturan dan skeptis pada dunia setelah pertandingan terberat abad ini melawan Boris Spassky.
Dan para petani maupun pelaut Jawa-Nusantara dengan kelumrahan sehari-hari berkata “tan kinoyo ngopo” difilsafatkan sedikit jadi “Sastra Jendra”. Kaum Jedi di Star Wars bertarung dan berjuang demi kesimbangan dan penyatuan dengan The Force. Bangsa Vulcan di Star Trek meyakini konsep jiwa Kathra sejak revolusi spiritual-logika yang dibawa oleh Surak. Masih banyak lagi, saya harus rem sampai di sini.
Semua itu dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing adalah capaian manusia untuk merasai kemesraan dengan-Nya. Perihal, Hawking misal tidak menyebutnya sebagai “Tuhan”, itu hanya temuan bahasa yang berbeda. Semua berpotensi sama benar, sama bisa salah atau kurang jangkep.
Dan kalau kemudian temuan-temuan ilmu itu, capaian kemesraan itu tidak lagi dikontinuasi dan malah mengalami pembakuan-pembekuan, dramatisasi-ideologisasi, pengkotakan mazhabisme beku dan manusia selalu kembali jatuh pada kultus individu, mitologisasi sosok plus mental followers, itu persoalan kita bersama, dan dialami semua bidang. Dari yang paling saintifik sampai yang paling tasawwuf. Semua mengalaminya. Lagipula kata siapa sains itu tidak tasawwuf?
“Teknologi itu ya khilafah”, seru Mbah Nun malam itu di hadapan civitas akademika UTY dan warga sekitar kampus yang ikut hadir dalam kemesraan Sinau Bareng pada 16 April 2018 Masehi.
Sinau Bareng tidak melulu berurusan dengan konsep ilmu “benar-salah”. Mbah Nun tidak menampilkan diri sebagai sosok sumber primer kebenaran. Kita diajak untuk menjembar, meluas menampung segalanya dan mengalirkan pada Maha Asal. Mbah Nun lebih sering menjadi teman dialog bagi banyak kalangan, ragam lapis dan berbeda-bedanya kesadaran untuk giat menggali Tuhan dalam keseharian masing-masing.
Sederhananya, kalau anda pemain bola ya temukan Tuhan dari permainan sepak bola anda. Bukannya pemain bola lantas diajak ketemu Tuhan sekadar waktu wiridan saja. Tapi temukan Tuhan dalam keseharian dan kewajaran. Apa wiridan tidak perlu? Ya perlu juga, masa hidup tidak ada kontemplatifnya barang sedikit?
Gusti Allah Bermesraan dengan Hamba-Nya
Mbah Nun mengajak menggali satu ayat dan satu ayat itu sudah cukup mengurai tawa dan haru. Membawa pada pemaknaan, ke cabang keilmuan yang berbeda-beda, peningkatan kesadaran, hingga tentu kembali pada tauhid. Al-Qur`an Surah Al Isra` ayat pertama dibacakan oleh seorang mahasiswa UTY asal Makassar, kota kelahiran saya (kalimat terakhir setelah koma adalah info tambahan yang kurang penting).
Dari soal sudut pandang saja, dalam satu ayat Allah sudah berganti sudut pandang menjadi pihak pertama, pihak kedua, dan pihak ketiga. Dialektis, timbal-balik. Disampaikan oleh Mbah Nun bahwa ini adalah salah satu cara Gusti Allah untuk bermesraan dengan hambaNya. Tafsirkah ini? Rasanya saya belum mendapati ini di buku atau literatur. Kalau angle kamera tivi, saya pernah ikut pelatihan sedikit di TVRI lebih dari satu dekade lalu. Oh, jangan-jangan angle kamera juga sudah nyufi? Jangan-jangan saya sufi tanpa sadar? Wah gawat, karena saya sendiri tidak begitu hobi sama wacana spiritual dan sufisme.
Rasanya ini bukan tafsir, ini adalah kemesraan Sang Pecinta mengamati gejala nuansa bahasa kekeasihnya. Seperti Majnun yang mengamati Layla dengan rindu-rindu malu. Seperti Umbu yang cuma mau lewat depan rumah wanita yang dirindunya tanpa kehendak bersua (kisah mengenai Umbu saya dengar diceritakan Mbah Nun di majelis Mocopat Syafaat). Pengamatan sang kekasih, kata siapa harus benar? Asal mesra dan asyik-isyiq, begitu sudah cukup bagi Sang Maha Kekasih.