CakNun.com

Sinau Bareng “Momong Generasi”

Reportase Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng, UTY, 16 April 2018
Muhammad Zuriat Fadil
Waktu baca ± 10 menit

Betapa Keras Usaha Mbah Nun Merajut Persatuan Persatuan

Sepasang sahabat kami (saya dan istri) juga saya kurang menyangka akan datang malam itu. Tapi kami terpisah tempat. Mas Indra dan Mbak Fitri, pasangan klop yang sama-sama melahirkan karya buku anak yang saya favoritkan isinya. Ada yang judulnya Lily Curly dan ada serial Rudy Si Kapal Kecil. Saya tidak endorse ini. Murni karena saya mengapresiasi isi buku yang menurut saya sangat bagus, isinya ditulis oleh Mbak Fitri sedang Mas Indra—yang selalu jadi teman diskusi peradaban saya karena kekayaan materi sejarahnya—menggarap ilustrasi buku. Mereka klop memang.

Mbak Fitri mengirim WA ke istri saya, cerita kalau dia menikmati berlangsungnya acara sambil tidur-tiduran di rumput, “Rasanya kayak piknik. Seru”. Belakangan saya meminta perspektif dari Mbak Fitri lewat WA, rupanya banyak dan salah satunya begini katanya, “Bersama orang yang penuh kedamaian, rasanya tuh aman gitu mas, semacam perasaan kalo aku bersama orang-orang baik and nothing bad will happen“.

Bukan berarti tak ada ilmu yang diserap. Seperti juga Debby, Mbak Fitri menyoroti betapa keras usaha Mbah Nun merajut persatuan kesatuan di tengah masyarakat yang terpecah adu domba, hoax, saling mengafirkan, me-wahabi-kan, membid’ahkan, melempar kesumat ke sana kemari. Seolah di luar sana penuh api panas kebencian sementara pada Sinau Bareng ada mata air yang sejuk menurutnya.

Mas Indra lain lagi titik fokusnya. Beliau kawan diskusi yang pemalu di balik tampang sangar gondrong brewokannya. Kaya akan data dari beragam bidang. Ini terbentuk dari—mungkin salah satunya—kebiasaan Mas Indra mengerjakan deadline ilustrasi sambil menyetel kuliah-kuliah sejarah, filsafat, sufistik, budaya, politik, sampai sains di youtube dan tak jarang juga video Maiyahan. Dari beliau saya pernah dengar wacana semacam bahwa fenomena Maiyah itu seperti fenomena ketika Isa As (atau Yesus) berhadapan dengan polarisasi masyarakat Judea. Penjelasannya bagaimana, nah itu silahkan ngobrol langsung saja. Beliau asyik kok orangnya. Di sini kita batasi ketika Sinau Bareng di UTY.

Mas Indra agak mudah terenyuh orangnya. Beliau agak iba dan khawatir pada mbah-mbah di sekitarnya, orang-orang desa yang biasa dengan pengajian umumnya. Kekhawatirannya datang ketika sesi tanya jawab, rata-rata pertanyaan yang muncul sangat menantang kognitif. Dari rasionalisasi astro-fisika fenomena Isra` Mikraj, kenapa malam? Mbok siang biar pada langsung percay. Juga pertanyaan soal belum adanya yang namanya Masjidil Aqso pada era Muhammad Saw (Mas Indra sudah pernah menjelaskan ini pada saya sampai tuntas, jadi saya yakin beliau punya jawaban versinya), sampai ranah makna kebatinan-tasawwuf isro` mikraj. Bagi Mas Indra, semua itu bernuansa “Star Trek” (maksudnya ndakik-ndakik, beliau selalu mengistilahkan sesuatu dengan spontan), dan orang-orang desa ini (bukan meremehkan) tidak butuh hal seperti itu.

Mas Indra justru sangat senang ketika pertanyaan berat-berat itu oleh Mbah Nun diserahkan pada Pak Tanto Mendut. Dan Mas Indra kemudian sangat mengapresiasi ketika Mbah Nun membawa semua itu “membumi”. Mas Indra tidak punya WA (dengan alasan prinsip, sama sekali bukan faktor ekonomi) jadi beliau cerita lewat WA istrinya ke saya. Bahwa cara Mbah Nun merangkum semua pertanyaan-pertanyaan “Star Trek” itu kembali ke konsep iman mengingatkannya pada kisah seorang imam yang sangat dikagumi oleh followers-nya, karena bisa menjelaskan 74 bukti keberadaan Tuhan. Sampai kemudian seorang ibu berkata pada sang imam bahwa kalau kamu punya 74 bukti keberadaan Tuhan, maka kamu sesungguhnya memiliki 74 keraguan. Sang Imam kemudian berdoa agar memiliki iman seperti yang dimiliki ibu itu.

Menurut Mas Indra, Mbah Nun seperti itu. Saya akrab dengan Mas Indra, saya di sini akan merebut otoritas pemaknaan, bahwa sepertinya maksud Mas Indra begini: Mbah Nun bermain sebentar dengan dialektika, logika, menyapa rasio, mengaktifasi akal tapi kemudian tidak lena di situ. Semua lantas dibawa dengan ngemong-momong, keibuan, kembali pada kesadaran bahwa tidak semua dan segala hal bisa dipahami oleh otak kecil kita ini. Mensyukuri bahwa kita manusia, mensyukuri bahwa kita tidak tahu. Begitu kemudian menjadi manusia terasa asyik.

Mbah Nun sempat menjelaskan bagaimana kita berpikir kontinyu, tidak sepenggal-sepenggal saja. Analogi pertanyaan “Babi itu haram atau halal?”. Halal babinya, yang haram kalau dimakan. Najis beda bahasan. Begitupun “Jumatan apik po elek?”. Koor jamaah, “Apiik”. Oleh Mbah Nun, “Elek no, wong saiki mbengi kok jumatan”. Tiap versi kebenaran ada titik koordinat, panggonan konteks ruang waktunya. Jamu terasa pahit di lidah, tapi kalau kesadaran kita berkelanjutan, pahit itu jadi nikmat karena kita sadar efeknya pada kesehatan.

Sepulang dari acara, saya dan istri serta Mas Indra dan Mbak Fitri mengalaminya langsung. Ceritanya, saat datang ke acara tadinya saya dan istri menghindari yang saya sebut “jebakan tukang parkir” yaitu mengarahkan kendaraan pada lahan parkir terjauh. Itu taktik yang saya sudah hapal. Saya dan istri menerabas hingga dapat parkir di dalam. Sementara Mbak Fitri dan Mas Indra “terperangkap” parkir sehingga mereka mengeluh harus jalan jauh hingga ke lokasi acara. Namun tiba di akhir acara, Mbak Fitri dan Mas Indra yang harus jalan jauh ke parkiran, lancar jaya saja mengeluarkan motor dan pulang. Sementara saya dan istri di parkiran dalam, terpaksa ikut barisan antrian yang gerahnya melipatgandakan keimanan dengan ujian ketabahan.

Seketika kami berempat memaknainya, seperti yah, konsep kesadaran kontinuitas jamu dari materi Sinau Bareng tadi. Yang manis di awal, bisa-bisa kelegen dan bikin sakit gula. Tapi yang pahit di awal, bisa saja menyimpan khasiat pada waktunya. Hikmah Sinau Bareng membuat kami menertawakan keterbatasan pengetahuan kami. Nikmatnya jadi makhluk yang tidak maha tahu.

Sinau Bareng, pada beragam perspektif yang saya dapati, terutama yang berlangsung di UTY malam itu adalah kembali menikmati diri sendiri apa adanya dengan tetap berproses sebagai pembelajar, menjaga konsep kesadaran bahwa kita awam, bukan begawan-khos-intelek. Karena kalaupun iya, biar di dalam dapur saja buat bekal dignity dan kepercayaan diri. Menjadi manusia yang me-ruang sehingga perabot berupa ilmu atau apapun dan siapapun bisa ditampung di dalamnya. Bukan jadi perabot yang menuh-menuhin dunia dengan tingkah dan kepintaran. Tapi membijaksanainya, memesrai, menemukan iman pada tiap titik koordinat maqom diri. Sembari menemukan dan meng-update teknologi kemesraan, mengkhilafahi cara-gaya mencinta, dengan Sang Maha Cinta Gusti Allah swt dan kekasihnya Rosulullah Saw, setiap waktu. Ini perspektif yang saya dapat dari Sinau Bareng, anda pembaca yang budiman juga tentu punya. Yang saya temukan tidak lebih baik dari yang panjenengan temukan juga. Semua sudut pandang berharga, karena kita manusia bukan sekadar massa. (MZ Fadil)

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version