Sinau Bareng “Momong Generasi”
Paling Utama adalah Akhlaq
Malam itu saya harus menyelesaikan latihan dulu di kampus ISI dan menjemput istri di kantor menuju UTY tempat berlangsungnya acara Sinau Bareng. Cinta dan teknologi perjodohan memang punya logikanya sendiri. Di tengah jalan, saya dapati pesta nikah yang tendanya menutup jalan. Ini yang orang perlu ketahui, beberapa orang seperti saya terlahir dengan kecerdasan spasial (mengingat ruang) jauh di bawah rata-rata. Maka ketika saya putar balik, dari jalan yang tertutup itu, saya nyasar.
Otak orang seperti kami berjalan dengan prinsip “jalan yang sama dilihat dari sudut pandang berbeda, menjadi jalan yang beda”. Sampai 11 tahun di Yogya, bulan lalu saya masih nyasar ke Malioboro hanya karena ada pengalihan arus lalu lintas. Maka itu saya terlambat sampai ke lokasi. Jadi saya kurang bisa menuliskan persiapan menjelang acara. Ini saya ceritakan karena mau minta maaf pada pembaca yang budiman soal keterbatasan sajian dalam tulisan ini.
Veri, sahabat saya yang dua minggu lalu mengabarkan acara Sinau Bareng ini, sudah berstatus dosen di UTY. Dia sangat bersemangat waktu itu. Info tambahan, Veri ini juga dulu adalah orang yang pertama kali memperkenalkan dan mengajak saya ke majelis Mocopat Syafaat pada awal 2008. Juga ada sahabat saya juga Mas Bagus, yang dosen di Universitas Widya Mataram, waktu itu juga ingin hadir. Dua orang ini, malah tidak jadi datang ke acara Sinau Bareng.
Seorang kawan lagi yang juga dosen di kampus ini, Debby. Juga pemerhati film yang baik dan teliti. Dia merasa bahwa kultur pengajian dan wacana agama perlu penyegaran dan perspektif baru karena terlalu lama mengalami stagnansi. Orang seperti Debby tidak bisa disalahkan, ketika di luar sana yang disebut agama selalu tak lebih dari sekadar formalitas ibadah, hitung-hitungan pahala-dosa, resep ketemu Tuhan plus makrifat, bahkan belakangan jauh terdegradasi menjadi tak lebih dari sekadar ideologi politik yang urusannya kalau bukan keras berontak tanpa otak ya lembek nrimo kahanan demi meredam kritik; konfrontir atau konformis. Begitukah agama?
Lepas dari itu, elahdalah malah Debby yang datang ke acara Sinau Bareng, walaupun cuma bertahan sampai jam setengah 11 malam. Tapi Debby merasa nyaman dengan situasi-nuansa Sinau Bareng.
Kawan saya Debby sangat mengapresiasi usaha Mbah Nun dalam merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Menurutnya ini adalah hal paling urgent pada situasi sekarang. Selain itu, “Lagu-lagunya syahdu”, kata Debby melalui WA. Saya lupa jam berapa tepatnya dan apakah Debby masih di lokasi ketika KiaiKanjeng membawakan nomer Medley Era di mana hits-hits yang mewakili zaman old hingga ke zaman now dari beragam genre dibawakan.
Pada nomer itu ada bagian reffrain lagu “Putri” karya band Jamrud. Full distorsi dengan gebukan drum powerfull macam Lars Ulrich. Mungkin yang dimaksud syahdu adalah ketika puncaknya lagu “Sayang” ala Via Vallen yang aslinya mirip sekali sama lagu “Mirae” itu. Tapi saya salut padanya (Debby! Bukan Via Vallen). Dalam waktu singkat Debby sudah mendapat kunci logika soal tak berapa penting kebenaran, yang paling utama adalah akhlaq.
Ditambahkan olehnya yang biasa bergaul dengan mahasiswa-mahasiswi muda ini, bahwa konsep yang dibawa dalam Sinau Bareng berpotensi disenangi kaum muda karena ada filosofisnya tapi juga mudah dipahami. Saya sepakat, muda-mudi memang akan senang dengan wacana anti-mainstream. Dulu hippies sekarang hipster, kata Adam Conover dalam sebuah presentasi. Adam Conover? Iya yang komedian itu, presentasinya menarik dan lucu. Saya baru saja menonton presentasinya dalam sebuah konfrensi (pertemuan akademisi ekonomi kalau tidak salah) melalui youtube. Izinkan saya sarikan sedikit soal ini, dalam satu-dua paragraf. Dilangkahi bacanya juga tidak apa, saya hanya sedang merawat ingatan.
Adam Conover, pengagas ide dan bintang acara komedi “Adam Ruins Everything” di TruTv. Pada presentasinya yang dia beri tajuk “Millenials Don’t Exist” menggugat klasifikasi pembagian generasi (silent generation, baby boomer, video generation, millenial dlsb). Menurutnya, tidak ada batasan jelas dalam klasifikasi tersebut dan kemudian hanya menjadi legitimasi kaum tua untuk menuding generasi muda sebagai generasi manja, tidak hormat, dan tidak tahan banting.
Menurut data yang disajikannya, generasi tua yang mengeluhkan kemanjaan generasi muda sudah terjadi sejak zaman Yunani klasik dan direproduksi terus menerus. Majalah TIME misalnya, tiap dekade selalu punya edisi keluhan generasi old pada anak muda (terakhir cover majalah TIME bertajuk ME “ME ME GENERATION”). Dan ini tidak menyelesaikan apa-apa. Generasi muda memang begitu di setiap zaman. “The only problem is you’re old”, kata Adam.
Saya sepakat banyak hal di sini, tapi melihat celah bias budaya di dalamnya. Saya sendiri merasa bagi mereka yang berusia 50-an ke atas cukup wajar mengeluhkan dan sedikit menuntut pada generasi muda. Itu wajarnya memang masa sentimentil dan romantisme masa lalu. Hanya ada perkembangan di mana kita yang masih usia 30-an sudah merasa sangat senior sehingga meremehkan generasi zaman now. Ini, kurang sehat menurut saya.
Dalam presentasi itu, Adam mengajukan bahwa yang dibutuhkan adalah generasi tua yang siap dengan perubahan, tidak meremehkan generasi muda dan mau dengan sabar menemani mereka berproses. Bahasa kita, momong lan ngemong. Peran “momong generasi” atau “ndeder satrio” inilah yang belum tampak pada sistem sosial kita belakangan. Maka di sinilah kita bisa melihat optimisme ketika menyaksikan kaum muda menggembleng diri dalam acara-acara Sinau Bareng dan Ngaji Bareng termasuk di UTY. Mbah Nun pada tahap Abu Sittin, tampak masih sabar saja menemani kami yang muda-muda belia dan masih suka galau ini.
Juga tampak pada Sinau Bareng di UTY malam itu. Tua-muda, dari bayi dalam momongan, bayi yang baru akan lahir (maksud saya, ada ibu hamil besar itu lho mau lewat, jadi rokok saya matikan), balita sampai bapak-bapak dan Mbh-mbah dengan batik, peci, jagongan menikmati sajian kemesraan. Remaja awal sampai remaja akhir, sarungan sampai jeans sobek-sobek. Beberapa wanita jilbaban lebar, cadaran, ada juga yang berkaos casual saja. Beberapa kumpulan yang aromanya terasa sangat “kiri” (tolong jangan tanya, pokoknya begitulah) sampai yang rapi perlente.