CakNun.com

Sinau Bareng Kompleksitas Persoalan Hidup

Reportase Sinau Bareng CNKK di Desa Sundoluhur, Kayen, Pati, 3 Juli 2018
Yunan Setiawan
Waktu baca ± 8 menit

Mbah Nun menceritakan mengapa panggung di sini setinggi lutut dan depan panggung tidak diberi pembatas sama sekali. Berbeda dengan konser musik yang harus diberi jarak sekitar tiga sampai lima meter dari panggung ke penonton. Ketiadaan jarak itu kata Mbah Nun, ”memanusiakan orang-orang yang di depan dan yang di atas panggung, karena jaraknya dekat sekali dengan yang di depan panggung, mau tidak mau ngomonge kudu diati-ati.”

”Kalau di depan ini saya kasih jarak lima meter kan panggung harus ditinggikan dan kepalamu harus mendongak.”

Bagi Mbah Nun, Sinau Bareng harus dilakukan dengan jarak yang dekat dan kalau bisa memang tidak ada sekat. Di pertemuan yang bertajuk ”Halal Bil Halal” warga desa Sundoluhur, kecamatan Kayen, kabupaten Pati, Mbah Nun mengajak anak-anak muda mencintai keabadian. Diibaratkan Mbah Nun bagaimana merasakan keabadian itu seperti kita makan nasi. Kalau kita makan nasi, rasa kenyang itu kita rasakan sehari. Tetapi kalau kita memberikan nasi itu kepada orang lain, rasa pahala itu bisa dinikmati selamanya.

Salah satu cara bagaimana kita mencintai keabadian adalah dengan bersholawat. Maka dari itu mengapa sholawat menjadi penting. Kata salah satu jamaah yang ditanya Mbah Nun tentang sholawat. Jawabnya, ”sholawat bisa membuat yang panas menjadi adem.” Entah panas dalam arti politik atau suasana hati. Jawaban itu ditambah Mbah Nun. Menurutnya mengapa kita bersholawat adalah karena, ”Kanjeng Nabi punya hak bilang kepada Allah untuk meminta ampun umatnya. Karena Kanjeng Nabi adalah kekasih Allah. Dan, Allah tidak tega kalau tidak mengabulkan permohonan kekasih-Nya.”

Pertemuan di Sundoluhur ini dijadikan Mbah Nun sebagai persiapan kita semua menuju keabadian. Karena jangan-jangan untuk merasakan keabadian saja kita belum siap. Maka dari itu terus mengumandangkan sholawat adalah cara menyiapkan batin, rohani, menuju keabadian. Di Sinau Bareng ini tidak ada tema khusus yang dibicarakan Mbah Nun. Semua hal dibahas mengalir menyesuaikan suasana dan irama acara. Karena judulnya bukan pengajian, melainkan Sinau Bareng. Mbah Nun memberi sesi kepada jamaah untuk mengajukan pertanyaan atau pernyataan. Bahkan kalau ada yang membantah pernyataan Mbah Nun juga dipersilakan.

Beberapa orang langsung berdiri dari tempat duduknya untuk menuju depan panggung. ”Tolong yang mau bertanya duduk di depan panggung,” pinta Mbah Nun. Semua yang bertanya pun sudah berhadapan dengan Mbah Nun. Ada bermacam-macam pertanyaan malam itu. Tidak hanya anak muda saja, orang tua juga tidak mau ketinggalan. Mereka mengajukan pertanyaan berdasarkan pengalaman pribadi, keluarga, dan pengalaman menimba ilmu.

Ada seorang bapak yang bertanya sembari tersedu menangis karena beliau suatu ketika ditanya putrinya tapi tidak bisa menjawabnya. Pertanyaan itu kemudian ditanyakan kepada Mbah Nun, “Mengapa ada Islam Rahmatan Lil’Alamin, Islam Arab, dan Islam Nusantara. Kalau ada Islam Arab dan Islam Nusantara berarti besok ada Islam Pati, Islam Semarang? Mohon penjelasannya Cak,” pinta si bapak sembari tersedu menahan tangis.

Mbah Nun meminta agar semua pertanyaan ditampung dulu baru kemudian dijawab satu per satu. ”Saya mohon nanti Pak Muzammil dan Habib Anis juga ikut membantu menjawab,” kata Mbah Nun. Selesai si bapak mengaturkan pertanyaan, berlanjut seorang anak muda yang bingung membedakan antara membudayakan agama atau mengagamakan budaya. ”Di antara dua itu,” katanya, “mana yang mesti didahulukan Cak?”

Dan, yang paling menyita perhatian adalah pertanyaan dari Mas Joko. Ada lebih tiga puluh menit yang dibutuhkan untuk menceritakan masalah hidupnya. Bahkan saking lamanya bercerita beberapa jamaah menimpali ”wis…wis…ngentekké pulsa.” Ada juga yang berkata, ”iku takon opo curhat.” Pernyataan-pernyataan bernada tidak simpatik itu ditanggapi Mbah Nun. ”Teman-teman sekalian, marilah kita belajar mendengarkan masalah orang lain”. Siapa tahu kita juga ketiban hikmah dari cara orang tersebut menyelesaikan masalah.

Suasana menjadi tenang. Yang menarik dari pertanyaan Mas Joko adalah jenis masalahnya. Ini bukan masalah remeh. Ini kaitannya dengan warisan, wasiat, dan makhluk gaib. Beliau dan keluarga kerap diganggu sosok jin di rumah. Kepada Mbah Nun beliau meminta bagaimana cara menghadapi masalah yang dihadapinya bertahun-tahun ini.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Exit mobile version