CakNun.com

Sinau Bareng dan Pasar Bebas Ushul Fiqh

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 4 menit

Seorang pengkaji hukum Islam pernah menyatakan bahwa era kita ini dan kini ini adalah era pasar bebas ushul fiqh (free market of ushul fiqh). Pasar bebas ini ditandai oleh banyaknya orang yang dengan mudah bisa melontarkan pendapat atau pandangan hukum, atau tetiba memunculkan dalil buat mendasari opini (atau kepentingannya?) mengenai suatu hal.

Dalam keadaan pasar bebas ini, pendapat-pendapat ulama yang sebut saja untuk mudahnya terdidik dalam pendidikan Islam tradisional dan menempati otoritas yang mapan akan bisa saja terkontestasi oleh pendapat-pendapat “ulama” atau “ustadz-ustadz” baru. Termasuk, situasi pasar bebas ini juga diwarnai oleh banyaknya pendapat-pendapat hukum yang lahir dari orientasi keislaman dan politik yang intelektual Barat menyebutnya Islamis.

Era pasar bebas ini memang telah lama terbentuk benih-benihnya berkat, salah satunya adalah, kemajuan teknologi yang memungkinkan orang mengakses sumber-sumber tekstual Islam yang dulu hanya bisa diperoleh oleh jumlah orang yang lebih sedikit. Sebenarnya saja terbukanya akses kepada teks ini adalah peluang yang sangat baik bagi orang untuk banyak-banyak belajar. Selain itu, berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam modern yang melahirkan sarjana dan cendekiawam muslim modern juga ikut membentuk pasar bebas tersebut.

Tetapi, sejarah modern kini menujukkan gambaran yang berbeda di mana pasar bebas ushul fiqih ini lebih banyak diwarnai oleh gampang dan entengnya ustadz-ustadz kita melemparkan pendapat seraya merasa mantap menikmati posisinya sebagai ustadz. Media sosial dari FB hingga YouTube memfasilitasi pendapat-pendapat itu dan mengantarkannya hingga mendarat tepat di depan mata kita.

Ulama-ulama (termasuk yang muda-muda) dari latar belakang tradisional di era pasar bebas dan medsos ini tetap masih ada dan coba melakukan penyesuaian dan pemanfaatan atas fasilitas modern yang ada itu, dan selanjutnya berada dalam satu ruang pasar bebas di mana kontestasi-kontestasi berlangsung. Contoh yang paling gampang adalah kalau kita buka YouTube kita lihat ragam “pengajian” mulai dari yang kalem, moderat, sampai yang garang, serba penuh fatwa keharaman, pensyirikan, dan lain-lain semuanya ada. Dan bila kita rasakan lebih jauh, tampaknya pasar bebas tadi lebih merupakan ajang pertarungan berebut kuasa antar golongan, madzhab, aliran, gagasan politik, ideologisasi agama, dan lain sejenisnya.

Adakah kecenderungan lain dati masyarakat kita, yang coba berjalan tidak menuju ke medan ajang rebut-rebutan dalam pasar bebas ushul fiqh itu? Saya mendapatkan sketsa jawaban itu dalam Sinau Bareng Cak Nun dan KiaiKanjeng. Dalam era pasar bebas ushul fiqh ini, Cak Nun justru lebih banyak mengajak masyarakat untuk mau mendalami secara sungguh-sungguh berbagai hal dari bangunan keagamaan kita yang sifatnya bukan untuk politik dan orientasi cari pengikut pendapat, melainkan untuk makin mendapatkan pemahaman yang baik menyangkut bagaimana memahami agama, hukum Islam, dan ushul fiqh itu sendiri.

Sebagai contoh, dalam Sinau Bareng di Lapangan Trimulyo dua hari lalu, ada tambahan wawasan baru dari Cak Nun mengenai apa yang dalam matriks hukum Islam disebut ‘wajib’. Menurut Cak Nun, ada sesuatu yang wajib dan diwajibkan oleh Allah. Kemudian, ada sesuatu yang wajib, tapi tidak diwajibkan oleh Allah. Contoh yang pertama misalanya adalah ibadah puasa Ramadlan. Itu wajib, dan diwajibkan Allah. Kenapa Allah mewajibkan? Karena manusia cenderung nggak mau puasa, nggak mau lama-lama tak makan, dan suka menuruti keinginan makan. Maka perlu diwajibkan.

Sedangkan untuk contoh yang kedua misalnya adalah makan itu sendiri. Dalam tanda petik makan itu wajib karena merupakan kebutuhan fisiologis manusia, tetapi Allah tidak mewajibkan. Mengapa? Karena tanpa diwajibkan pun manusia pasti akan (berusaha mencari) makan, karena kalau tak makan, badannya akan lemah dan seterusnya. Di situlah Cak Nun mengungkapkan satu pengertian bahwa wajib adalah sesuatu yang jika tidak dikerjakan akan menimbulkan mudarat atau kerusakan. Ini sebuah pemahaman mengenai ‘wajib’ yang dikembangkan terus, tidak berhenti statis pada pengertian wajib adalah sesuatu yang jika dikerjakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan akan mendapatkan dosa, meski pengertian ini juga benar adanya. Perkembangan pengertian dan penemuan akan dua jenis wajib tadi, saya rasa tak sulit buat kita pahami apa buah dan relevansinya dengan penghayatan keagamaan kita sehari. Perkembangan ini bermaqam filsafat hukum Islam yang mendekatkan orang pada kematangan memahami hakikat hukum Islam itu sendiri.

Dalam bahasa yang malahan di era pasar bebas ushul fiqih ini kurang begitu laku dan jarang dieksplorasi atau kurang dijadikan acuan moral utama, kesadaran baru mengenai dua jenis wajib tadi mengisi kekosongan pembelajaran mengenai hikmatut tasyri’. Bahwa disyariatkannya sesuatu mengandung hikmah dan kebijaksanaan bagi manusia. Bahkan tidak disyari’atkannya sesuatu juga mengandung kebijaksanaan dari Allah untuk manusia. Coba kalau Allah mewajibkan makan! Dalam penemuan Cak Nun, ada sesuatu yang Allah tidak mewajibkan, karena nanti manusia dengan akalnya, dengan nalurinya, dan dengan kalau mereka mau belajar berkebijaksanaan, akan melakukan sesuatu itu, sesuatu yang tak hanya dibutuhkannya, tapi baik dan bermanfaat bagi hidupnya, juga hidup bersama. Ini sejatinya ranah yang luas untuk didalami untuk melahirkan sikap beragama yang berkebijaksanaan, tetapi sayang kita jarang mau melakukan sesuatu yang bermula dari kebijaksanaan.

Bersama masyarakat di berbagai tempat, melalui Sinau Bareng diam-diam Cak Nun mengajak jamaah dan orang-orang itu untuk tidak masuk ke gelanggang pasar besar ushul fiqh yang saat ini keadaannya seperti digambarkan di atas, melainkan mengajak mereka mandiri dari konflik-konflik atau pertentangan antar aliran dan kelompok. Cak Nun ajak mereka masuk ke wilayah eksplorasi kebijaksanaan, termasuk dalam memahami hukum Islam. Ringkasnya, alih-alih ikut-ikutan pasar bebas, Cak Nun menawarkan Sinau Bareng.

Kemudian sekadar untuk sejenak diingat bahwa hikmatus tasyri’ adalah termasuk di antara pemahaman prinspil paling awal dalam mempelajari hukum Islam dan itu malah kini paling kita tinggalkan, paling tidak kita eksplorasi. Sahabat-sahabat yang concern pada disiplin Hukum Islam bisa mencatat dua kategori wajib dan pengertian wajib yang disampaikan Cak Nun itu dan kiranya bisa memantiknya mendapatkan ide-ide baru untuk melakukan kajian lebih mendalam yang berhubungan dengan ushul fiqh, hukum Islam, masyarakat, dan praktik berkebijaksanaan.

Demikian sedikit petikan dari Sinau Bareng di Lapangan Trimulyo Jetis Bantul.

5 Oktober 2018

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik