Sinapih
Dua tahun lalu, apa yang terpikir di benak kita tentang Suluk Surakartan? Sebuah majelis ilmu yang mempertemukan manusia-manusia yang sama-sama ingin belajar untuk menjadi manusia. Ketika itu hanya beberapa orang berkumpul untuk memulai sebuah paseduluran yang diikat dalam perjumpaan rutin untuk melanjutkan upaya belajar dan berdaulat atas diri sendiri, seperti yang diajarkan oleh Cak Nun.
Kini, majelis ilmu itu sedang menggenapkan diri pada usia dua tahunnya. Kita semua tentu gembira atas keistiqomahan dari para jamaah setia untuk hadir dan saling belajar hingga hari ini. Dari yang awalnya tidak saling kenal, mulai saling berbagi hingga akhirnya saling bersaudara dalam ikatan cinta yang tulus. Di tengah situasi kehidupan yang penuh adu domba seperti sekarang, maka nikmat apa lagi yang lebih berharga dibandingkan nikmat persaudaraan ini?
Di usia dua tahun ini, Majelis Suluk Surakartan ibarat bayi yang sudah mulai disapih. Disapih dari apa? Dari “air susu” ibunya. Siapa “ibu” dari Suluk Surakartan? Tentu saja ini hanya perumpamaan, bahwa sudah saatnya Suluk Surakartan mengalami proses sinapih untuk menapaki fase berikutnya sehingga semakin dewasa.
Jadi, Majelis Suluk Surakartan harus mulai berproses untuk tumbuh, bergerak lincah, dan mencari tahu hal-hal baru, tetapi tidak ketergantungan dengan kehadiran “air susu ibu” lagi. Sebab “air susu ibu” itu telah merasuki dan menjadi energi kehidupan sang bayi majelis maiyah ini. Proses mencari, menggali, mendalami, dan menemukan makna atas pesan Tuhan semoga menjadi lelaku para jamaah majelis ini.
Apa makna dari proses sinapih? Selama ini kita berpikir bahwa proses disapih itu seperti terputus dari sesuatu yang sebelumnya demi memasuki hal baru. Apakah demikian? Jika melihat berbagai peristiwa kehidupan, sebenarnya proses nyapih itu bukan berarti memutus yang lama untuk memasuki keadaan yang baru. Tetapi lebih tepat jika dipahami bahwa disapih itu berarti kita memasuki keadaan baru dengan tetap menjadikan apa-apa yang telah lalu sebagai bekal bagi kita.
Anak yang disapih dari air susu ibunya, tidak berarti ia putus dengan air susu ibunya itu. Sesungguhnya ia akan terus “mengingat” air susu yang telah mengalir dalam dirinya untuk terus tumbuh menjadi anak dan kelak menjadi orang dewasa. Demikian pula ketika seorang perempuan disapih dari keluarganya karena menikah. Bukan berarti ia putus dari kedua orang tuanya, justru saat itulah ia menghadirkan orang tua dan leluhurnya dalam membangun peradaban baru bersama suaminya.
Bahkan orang yang dahulunya gemar melakukan kejahatan, ketika ia disapih dari masa lalunya itu bukan berarti ia putus dengan apa yang telah menjadi kejahatannya. Tapi bagaimana ia menjadikan pengalaman kejahatannya masa lalu sebagai bekal untuk menapaki kebaikan-kebaikan hidupnya di masa depan. Itulah hakikat dari disapih, menuju ke tahapan berikutnya dengan tidak menghilangkan apa yang sesungguhnya menjadi sejarah hidupnya.
Pada hakikatnya, proses menyapih adalah kegiatan harian. Setiap kejadian berhubungan dengan kejadian berikutnya adalah bagian dari kausalitas. Sehingga dalam menempatkan hubungan satu peristiwa dengan peristiwa berikutnya ibarat memainkan deretan tuts piano, akhirnya menjadi sebuah melodi yang enak didengar.
Sosok sinapih yang senantiasa belajar, menuliskan pengalaman, cerdas, mampu menempatkan diri dan bahkan mau mengorbankan diri disimbolkan sebagai Ganesha. Ganesha sebenarnya sesungguhnya bagian simbol asli budaya kita sebelum akhirnya lebih dikenal di negara lain. Nyapih ibarat mempartisi setiap kejadian, menata, meletakan dan mengambil mana yang dibutuhkan sehingga menjadi sebuah melodi, dimana kebenaran diletakkan sebagai acuan, dilakukan dengan kebaikan, sehingga menghasilkan keindahan.
Hidup tidak bisa hanya berpegang dengan apa yang kita yakini sebagai benere dhewe. Apalagi kebenaran lebih banyak berdasar asumsi dan buah pemikiran, penelitian seseorang. Akan menjadi keindahan jika kita olah dengan kebaikan, yang satu sisinya adalah tata krama adab sopan santun. Etika atau adab tidak hanya berlaku dari yang muda kepada yang tua, akan tetapi yang tua kepada yang lebih muda. Tentu saja lelakunya berbeda, namun keduanya sama-sama membutuhkan kebijaksanaan kita dan tergantung sejauh mana kita semua mengolah rasa.
Yang sekarang terjadi dalam kehidupan modern bukanlah peristiwa sinapih. Karena yang terjadi saat ini adalah mutilasi-mutilasi atas berbagai hal. Kita terbiasa melihat sesuatu dengan cara penggalan-penggalan tanpa mengetahui badan utuhnya. Kita terbiasa melewati sebuah perjalanan seperti potongan-potongan episode yang tidak saling bersambung. Jika memandang jauh ke leluhur kita, kita seperti bukan anak-anak mereka yang tumbuh dari air susu mereka. Tetapi entah tumbuh dari mana kita sekarang mengadopsi berbagai norma peradaban yang sedemikian materialistiknya.
Maka dari itu, dalam dua tahun usianya, Majelis Suluk Surakartan memanjatkan syukur atas proses yang terus berjalan ini. Semoga majelis maiyah ini tetap istiqomah dalam pertumbuhannya, serta tidak kehilangan ruhnya sebagai tempat yang memerdekakan akal manusia sehingga siapa pun yang bergiat di dalamnya tumbuh menjadi manusia seutuhnya.