CakNun.com

Si Peniup Ruh Musikal

Didik W. Kurniawan
Waktu baca ± 3 menit

Tetiba bapak keluar dari kamarnya sambil memainkan suling bambu. Jari jemarinya membuka dan menutup secara bergantian. Bersinergi dengan dinamika tiupan mesra dari mulutnya. Nada-nada melahirkan satu nomor tembang anthem di keluarga kami, Caping Gunung milik maestro keroncong Gesang. Ibu, memasak sambil pelan-pelan menyanyikan liriknya. Sedang melodinya digarap dengan hanya menggunakan suling bambu murah yang banyak dijual di pasar malam.

Itu terjadi lebih kurang dua puluh tahun silam. Dan itu memberikan guratan tajam di lubuk kenangan saya. Karena, setahu saya bapak tidak pernah memainkan satu alat musik apapun. Mayor beliau di pentas teatrika ludruk. Sebagai penari Remo merangkap comedian. Tentu lawakan khas ludruk Jawa Timuran. Kekagetan saya muncul karena saat itu saya sedang dalam tahap pamer-pamernya. Pamer kalau saya bisa bermain gitar sewaktu SD. Permainan gitar saya lebih baik daripada kakak pertama saya. Artinya di keluarga ini, saya satu-satunya yang yang bisa memainkan alat musik. Pikir saya begitu. Eh, tak tahunya bapak bisa nyuling. Penak meneh. Genah kalah merdu aku.

Saya tanya kepada bapak, namun tidak saya temukan asal muasal beliau belajar suling bambu. Sejak saat itu saya semakin klik dengan alat musik yang biasa dipakai untuk mengisi melodi-melodi musik dangdut. Iya, salah satu alat musik yang luput dari perhatian identitas musik dangdut. Suling bambu merupakan ciri menonjol kedua setelah penggunaan ketipung.

Bapak tidak banyak bercerita tentang kemampuannya memainkan suling. Kapan pastinya, yang jelas setiap saya mendengar alunan alat musik tiup itu, tetiba saja rasanya seperti berada di dimensi lain. Entah melayang, menyelam, mendaki, menggali, wilayah ‘rasa’ saya terlempar begitu saja. Diperkuat ketika film Titanic dirilis. Original Soundtrack-nya yang berjudul My Heart Will Go On menjajah pengalaman musikal saya sampai sekarang. Permainan flute dalam melodi intronya, tandas di kepala.

Karena keterikatan emosional itu, ketika hijrah ke Solo untuk menjemput gelar sarjana, saya membawa suling bambu milik bapak yang selalu disimpan di lemari kaca. Karena jelas saya tidak punya cukup uang untuk membeli flute. Saya ingin memberi kejutan kepada bapak. Nanti ketika saya pulang ke rumah Pati, saya akan memainkan lagu Caping Gunung. Saya akan tiup suling bambu itu dengan penuh penghayatan di hadapan bapak. Akan saya kalahkan kemerduan tiupan bapak. Dengan tekad sekuat titanium itu, akhirnya pelan-pelan saya belajar meniup suling di kamar kos.

Hasilnya, mengenaskan. Beberapa kali latihan saya tidak pernah menghasilkan tone colour yang jelas. Bunyi saja tidak. Malah seperti sedang meniup semprong untuk menyalakan api di kompor kayu. Ditambah setiap latihan, perut ini gampang lapar. Bisa merasakan betapa tersiksanya perut saya. Hidup di perantauan sebagai anak kos harus senantiasa melakoni hidup dalam kondisi iritasi, alias ngirit. Kalau bisa makan sehari sekali. Lha ini, gegara latihan main suling, perut menjadi rentan. Lapar mengintai setiap saat. Lalu saya putuskan untuk menghentikan belajar bermain suling bambu itu. Saya pajang di meja. Merdu nggak, lapar iya.

Namun hal itu tidak mengurangi kenikmatan hubungan antar dimensi antara saya dengan suling. Meski agak sedikit piawai memainkan gitar, tapi justru suara sulinglah yang saya gemari. Kalau saya mendengarkan musik, yang saya tunggu-tunggu adalah melodi-melodi sulingnya. Posisinya seperti mencuri perhatian indera pendengaran saya. Jadi kalau anda tahu saya sedang mendengarkan musik dangdut, jangan tuduh saya sebagai Vianisty atau Nella lovers. Saya tidak menggemari Via Vallen atau Nella Kharisma. Saya, menggemari keduanya. Tenang saja.

Dan jujur, sebagai orang yang sangat mengidam-idamkan bisa bermain suling bambu, tidak ada di dunia ini satu pun nama pemain suling dari sebuah grup musik yang saya tahu.

Kecuali, Pak Is KiaiKanjeng. Melalui permainan suling Pak Is, saya terhubung dengan musikalitas KiaiKanjeng. Setiap nomor yang dibawakan, saya menanti-nanti datangnya suara suling bambu Pak Is. Belakang saya baru tahu nama lengkap beliau kemarin. Melalui pesan whassap yang mengabarkan ‘kepulangan’ beliau.

Pak Ismarwanto, lahir pada tanggal 22 Maret 1957. Diajak bergabung bersama KiaiKanjeng lebih kurang sembilan belas tahun yang lalu oleh Pakdhe Totok. Pemain suling bambu (dangdut) yang mumpuni. Yang bisa beradaptasi dengan model, pola, metode, strategi, komposisi musik lintas benua. Timur Tengah, Tengah Timur, Barat, Barat Laut, musik Utara, ah, apapun itu, saya rasa panjenengan sudah dititipi kemampuan yang aduhai nikmatnya saat meniup suling bambu.

Yang lebih sering naik onthel, sebagai mana dituliskan oleh Mas Helmi Mustofa dalam reportase Maiyahan di UII Jogja, 3 April 2016 silam. Panjenengan ngonthel sejauh lebih kurang 22 km dari rumah ke lokasi Maiyahan. Sungguh sehat.

Pak Is, Pak Is. Cuma panjenengan pemain suling yang saya tahu namanya di dunia ini. Pemain sulingnya Soneta Grup yang terkenal itu, saya tidak tahu e. Saya beruntung tahu nama panjenengan. Setidaknya besok kalau di akhirat ditanya yang aneh-aneh sebagai pertanyaan selingan oleh Tuhan saya bisa menjawab.

“Kamu katanya penggemar suara suling?”

“Gusti lebih paham soal itu.”

“Kalau begitu, sebutkan nama pemain suling yang pernah hidup di dunia yang kamu tahu.”

“Pak Is. Cuma Pak Is. Pak Ismarwanto. Itu saja.”

“Oh, sudah aman bersamaKu. Nabi Daud, Bethara Khrisna lagi sharing sama Pak Is.”

Melalui suling Pak Is, ruh musikal KiaiKanjeng ditiupkan. Anda sangat boleh tidak sepakat dengan saya. Tetap, bagi saya pribadi, Pak Is berlaku sebagai Si Peniup Ruh Musikal. Karena setahu saya ruh itu ditiupkan, bukan dipetik, dipukul, dibetot, apalagi digenjreng. Suwun Pak Is. Matur sembah nuwun.

Lainnya

Fuadus-Sab’ah

Fuadus-Sab’ah

Qadla dan Qadar Menturo

Kalau kakak sulung kami bukan Cak Fuad, belum tentu kita punya kenikmatan Padhangmbulan dan Maiyah seperti ini.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Exit mobile version